Akhirnya Ayana Menangis Juga

1150 Words
Ayana sudah sampai dirumah. Gerbang masih terbuka, bahkan terlihat ayahnya sedang duduk di teras depan sambil minum kopi. "Belum tidur Yah?" tanya Ayana karena sekarang sudah pukul sepuluh lewat. "Belum. Motornya langsung dimasukin," suruh Ayah. "Iya, Yah." Ayana langsung memasukkan motor dari pintu samping. Melihat anak gadisnya sudah pulang, ayah juga memilih untuk masuk ke dalam rumah. Ayah sudah sering melakukan hal ini jika Ayana terlambat pulang. Meskipun acara tempatnya bekerja, tetap saja ayah khawatir. Apalagi Ayana perempuan. "Mana makanannya?" tanya Fajar yang sedang duduk di sofa keluarga. Televisi menyala, tapi di depannya juga ada laptop. Entah kemana fokus sang abang, Ayana juga tidak tahu. "Makanan apa?" Ayana mengerutkan kening. Seingatnya, sang abang atau kedua orang tuanya tidak ada yang menitip makanan. "Bukannya kamu dari acara makan malam bersama?" Ayana mengangguk. "Kok nggak bawa makanan?" "Beli sendiri," jawab Ayana. Mana mungkin ia membawa makanan pulang jika ada yang tersisa. Apalagi acara makan malam bersama. "Ck, pelit amat." Ayana mencoba untuk lebih sabar. Sudah jelas seharian ini moodnya buruk, tapi sang abang malah mencari-cari masalah. Ayana yakin abangnya tidak kekurangan uang. Bahkan dia berencana untuk membeli rumah dalam waktu dekat setelah menabung selama beberapa tahun. Ayana memilih untuk melangkah ke dalam kamar. Dia tidak akan peduli dengan apa yang dikatakan sang abang. "Sudah pulang?" tanya Ibu yang baru saja keluar kamar. "Sudah, Bu." "Langsung mandi. Setelah itu istirahat," suruh Ibu. Sebenarnya ibu khawatir melihat wajah Ayana yang tampak kelelahan. Tapi mau bagaimana lagi, Ayana punya tanggung jawab sendiri dalam pekerjaan. Ayana mengangguk. Ia masuk ke dalam kamar. Meletakkan tas di atas ranjang. Tubuhnya terasa sangat lelah sekali. Tapi tampaknya Ayana tidak bisa untuk beristirahat langsung karena ada pekerjaan yang haru dikerjakan. Ayana masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya juga sudah terasa lengket. Beberapa menit membersihkan diri, Ayana keluar dari kamar mandi. Ia menggunakan pakaian tidur. Ayana menghela nafas panjang. Laptop yang ada di dalam tas harus dikeluarkan. Dia juga mengeluarkan dokumen rancangan. Banyak hal yang harus Ayana perbaiki dalam rancangan yang ia buat sebelumnya. Tapi lebih tepatnya ia memulai dari awal. Halaman depan saja sudah salah menurut sang atasan. Ayana duduk di depan laptop. Tok tok tok Ayana langsung membuka pintu kamar. "Kenapa, Bu?" tanyanya setelah melihat sang ibu. Ibu memberikan gelas yang berisi s**u. Ayana menerima dan mengucapkan terima kasih. Ibu melihat laptop Ayana menyela. Lantas ia bertanya, "apa masih ada kerjaan?" Ayana tersenyum. Ia tidak ingin membuat sang ibu khawatir. "Sedikit, Bu." "Jangan begadang lagi. Harus tidur sebelum jam dua belas." "Siap, Bu." Ayana memberikan gerakan hormat kepada sang ibu. Ibu hanya tertawa. Ibu tidak melarang bukan karena tidak perhatian. Tapi Ayana bukan tipe orang yang mengerjakan sesuatu kalau tidak penting. Ibu tidak ingin mengganggu Ayana lagi. Dia masuk ke dalam kamar. Anak nomor tiganya masih menonton di ruang keluarga. Sepertinya Fajar juga ada pekerjaan. Ibu juga mengingatkan Fajar untuk tidak tidur terlalu malam. Ayana mulai mencari referensi warna dan perpaduan warna dari berbagai macam aplikasi yang sudah ada. Baik aplikasi dari dalam negeri maupun di luar negeri. Apa kemampuan Ayana memang buruk? Ia tidak merasa ada yang salah dari warna sebelumnya. Warnanya juga tidak mencolok. Ayana mengacak rambutnya frustasi. Jika dia tetap tidak bisa memenuhi ekspektasi sang atasan, mungkin Ayana akan digantikan oleh orang lain. Ayana tidak mau. Jika sampai ia digantikan, maka kemampuannya memang buruk. Tidak ada peningkatan dan yang ada hanyalah kemunduran. Ayana aktif berkomunikasi dengan Zane. Dia menyuruh Zane untuk mencari referensi icon terbaru. Tapi jujur saja kadang Ayana kesal sendiri karena Zane terlalu banyak bertanya. Seharusnya dia bisa memutuskan sendiri sebagai seorang UI/UX designer. Ayana pusing sekali. Dia seperti kehilangan kemampuan sendiri. Begitu banyak warna yang ada. Ada berbagai macam perpaduan warna yang tampak menarik. Ayana harus memilih yang mana sesuai dengan target users? Padahal dia bisa menjadi salah satu users karena sesuai dengan rentang usia yang menjadi target users. Tok tok tok "Apa, Bu? Masuk saja." Tidak ada jawaban dan ketukan pintu masih terdengar. "Ayah ya?" ujar Ayana lagi. Tidak ada jawaban. Tidak mungkin di rumahnya ada makhluk halus yang iseng. Ayana bangkit dari kursi dan melangkah untuk melihat sendiri siapa yang mengetuk pintu. Pintu sudah terbuka, tapi Ayana tidak melihat siapapun. "Ayah." Ayana melangkah sedikit ke ruang keluarga. "Ayah," panggilnya lagi. "Kenapa, Nak?" Ayah keluar dari kamar. "Tadi Ayah ketuk pintu kamar aku ya?" tanyanya. Ayah mengerutkan kening. "Tidak ada, Ayah dan Ibu di dalam kamar." Ayana langsung menatap sang abang. "Abang ya?" "Orang dari tadi disini." "Nggak usah bohong!" "Terserah," balas Fajar. Ayah menyuruh Ayana untuk istirahat saja. Mungkin Ayana kelelahan sampai berhalusinasi. Ayana kembali masuk ke dalam kamar. Apa dia salah dengar? Sepertinya tidak. Ayana kembali melanjutkan pekerjaannya. Baru lima menit berlalu, pintu kembali diketuk. Ayana benar-benar terganggu. Dia tidak bisa fokus sama sekali. Ayana mencoba untuk tidak menghiraukannya. Pintu kamarnya juga tidak terkunci. Ia memasang headset agar tidak terganggu dengan suara ketukan pintu. Benar saja, ia tidak mendengar suara ketukan pintu lagi. Ayana bisa melanjutkan pekerjaannya. Baru juga beberapa menit, lampu kamar tiba-tiba mati. Ayana terkejut. Apa mati lampu? "Ayah..." Ayana kembali memanggil ayahnya. Tapi ada cahaya di luar kamar. Pintunya kamarnya juga terbuka. Ayana ingin menghidupkan lampu kamarnya lagi. Tapi siapa sangka Fajar bersembunyi dan langsung mengagetkan Ayana. Ayana berteriak saking kagetnya. Fajar yang sejak tadi menjahili sang adik langsung tertawa. Berhubung sudah banyak yang terjadi hari ini. Ayana yang tidak biasa menangis malah menangis. Bahkan suara tangisnya tidak main-main. Tentu saja Fajar langsung panik. Dia sudah sering menjahili Ayana, tapi kenapa kali ini Ayana sampai menangis? Biasanya Ayana akan membalas Fajar bahkan menghajar dirinya. Ayah dan Ibu langsung keluar kamar. "Ada apa?" Mereka tampak khawatir ketika mendengar suara tangis Ayana. "Bang Fajar, Bu...." Ayana mengadu. Dia bahkan seperti anak kecil. "A-aku cuma matikan lampu kamar dia, Bu." Fajar langsung menjelaskan. Ibu dan Ayah marah besar. Bahkan Ibu langsung menjewer telinga Fajar sampai merah. Kalau ayah yang turun tangan, bisa-bisa besok Fajar tidak bisa masuk bekerja. "Sakit Bu..." rengek Fajar. Dia juga seperti anak kecil. "Kamu sudah besar tapi masih aja ganggu adik sendiri," omel Ibu. "Besok nggak usah kasih makan, suruh dia makan diluar saja." "Jangan dong, Yah." Fajar lebih suka makanan yang dibuat sang ibu daripada beli di luar. Ayana masih menangis. Sebenarnya sejak diperusahaan tadi Ayana menahan tangisnya. Tapi baru bisa dilakukan sekarang. Sungguh Fajar menjahili Ayana diwaktu yang tepat. Ibu menyuruh Fajar untuk meminta maaf kepada Ayana. Tentu saja Fajar tidak bisa menghindar. Kali ini untung hanya jeweran saja. Kalau tidak, Ibu bisa memukulkan dengan tangkai sapu. "Dasar cengeng," ujar Fajar dengan suara pelan setelah meminta maaf kepada Ayana. "Ibu... Bang Fajar bilang aku cengeng." Ayana kembali mengadu. "Kamu ya?" Ibu ingin mengambil tangkai sapu, tapi Fajar langsung lari masuk ke dalam kamar. "Buka pintunya," pinta Ibu. "Aku minta maaf, Bu." Fajar menjawab tanpa membuka pintu. "Minta maaf bukan sama ibu, tapi sama adik kamu." "Tadi udah." "Tapi setelah itu kamu bilang dia cengeng." "Maaf, Bu. Enggak lagi." Ibu hanya bisa menghela nafas panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD