Penyambutan Ketua Divisi Yang Baru

1052 Words
Ayana ingin pulang. Hari ini ia butuh waktu sendiri setelah mengalami berbagai macam hal. Tapi Ayana tidak bisa pulang sekalipun ia ingin. Apalagi semua karyawan yang ada di divisi TI mengikuti acara makan malam bersama tersebut. Jam pulang sudah datang, Ayana tidak bersiap-siap untuk pulang. Ia malah memejamkan matanya sebentar sambil kepalanya disandarkan di atas meja. Jika Ayana tiba-tiba memutuskan untuk tidak ikut, maka Ayana takut orang-orang berpikir bahwa dirinya tidak menyukai sang ketua baru. Apalagi rancangan Ayana ditolak sang ketua yang baru. Tanpa Ayana mengatakan kepada yang lain, rekan kerjanya sudah tahu. "Aya." Ayana membuka mata secara perlahan. Ternyata sudah ada Lusi dan Indra yang berdiri di depan meja kerjanya. Bahkan mereka tersenyum begitu manis kepada Ayana. Jelas saja mereka tampak senang karena mendapat makanan gratis di restoran yang cukup mahal. Lusi sudah membayangkan makanan apa saja yang nanti ia pesan. Rasanya sangat tidak sabar sekali. "Kamu sakit atau gimana?" tanya Lusi. Mungkin Lusi mengira dirinya sakit karena seharian ini dia memilih menghemat energi dibanding biasanya yang tampak bersemangat sekali. "Nggak kok. Cuma lelah," jawab Ayana. Dia mengangkat kepala dan melihat ke sekeliling. Hanya beberapa karyawan yang ada di dalam ruangan. Tampaknya yang lain sudah mulai pergi ke restoran yang akan menjadi tempat mereka makan bersama. "Apa kamu tidak bisa ikut acara penyambutan Pak Alfi?" tanya Indra. Kalau memang Ayana lelah dan tidak ingin ikut, maka ia akan mengatakan kepada Pak Rohman sebagai pembuat acara. "Bisa kok." Ayana menjawab dengan cepat. "Sayang banget kalau nggak ikut," sahut Lusi. Ayana memaksa diri untuk tersenyum. Ia tidak mau rekan kerjanya khawatir atau berpikir yang tidak-tidak. "Iya dong. Aku harus ikut. Makanan gratis mana mungkin ditolak." Ayana berdiri. Dia memasukkan laptop dan beberapa barang-barang ke dalam tas ransel. "Mas Arsel mana?" Ayana tidak melihat keberadaan Arsel. "Udah duluan. Dia kalau soal makanan ya paling cepat," jelas Indra. Ayana tertawa. Selain Lusi yang tampak semangat, ternyata Arsel juga semangat. "Mau bareng kita nggak?" tawar Lusi. Dia akan numpang ke mobil Indra. Ada satu lagi rekan kerja mereka yang juga ikut yaitu Mbak Tias. "Aku bawa motor." Ayana memasang wajah sedih. "Tinggalin aja disini. Aman kok." "Nggak usah. Aku pakai motor sendiri aja." Ayana menolak. Nanti kalau dia tidak membawa motor sendiri, Ayana akan kesulitan untuk pulang. Dia tidak ingin merepotkan siapapun. "Kamu yakin?" Lusi sedikit ragu apalagi tadi Ayana mengatakan dirinya lelah. "Yakin dong." Ayan dan yang lain turun ke lantai bawah. Parkir motor dan mobil berbeda sehingga Ayana berjalan sendiri. Sebenarnya ada beberapa karyawan yang menggunakan motor sendiri, tapi tampaknya mereka sudah pergi lebih dulu. Jumlah karyawan di divisi Ti ada 25 orang. Dua puluh lima orang dibagi beberapa tim dan memiliki pekerjaan dan tanggung jawab masing-masing. Sebelum Ayana meninggalkan area perusahaan. Dia mengirim pesan kepada grup keluarga terlebih dahulu. Tentu saja ia harus melaporkan kepada keluarga bahwa hari ini ia akan pulang terlambat karena ada acara penyambutan ketua tim yang baru. Respon keluarga Ayana juga hangat. Mereka menyuruh Ayana untuk hati-hati. Jika acara selesai terlalu malam, maka Fajar akan menjemputnya untuk pulang. Ayana terjebak macet. Pantas saja rekan kerja yang lain memilih untuk pergi lebih dulu. Ternyata mereka menghindari macet. Ayana hanya bisa menghela nafas panjang. Ayana baru sampai ke restoran sekitar pukul enam kurang lima belas menit. Dia langsung bertanya dimana meja yang direservasi oleh divisinya. Pegawai restoran membawa Ayana ke ruangan yang sudah direservasi. "Aku kira kamu kenapa-kenapa dijalan," ujar Lusi yang ternyata lebih dulu sampai. Mereka cepat karena melewati jalan tol. "Kejebak macet," jelas Ayana. "Syukurlah. Ayo sini..." Lusi membawa Ayana untuk duduk disampingnya. Belum semua yang datang, ada beberapa rekan kerja yang belum sampai. Tapi agar menghemat waktu, yang datang akan memesan makanan terlebih dahulu. Ayana tidak melihat keberadaan Alfi. Padahal dia yang menjadi bintang utama acara kali ini. Ternyata dia juga bisa terlambat. Ayana kira hidupnya menerapkan sistem kesempurnaan sehingga tidak boleh ada yang melenceng sedikit saja. "Ternyata Pak Alfi bisa terlambat juga," ujar Ayana tanpa sadar. "Terlambat gimana?" Lus mendengar apa yang Ayana katakan. "Dia belum datang tuh. Padahal ini akan acara untuk menyambut dia." Lusi tertawa. "Nggak boleh berpikir negatif. Pak Alfi udah datang kok." "Kenapa dengan saya?" Tiba-tiba suara muncul di belakang Ayana. Tentu saja Ayana sangat sangat tahu pemilik suara itu. "Ti-tidak ada apa-apa, Pak." Ayana buru-buru menjawab daripada timbul kesalahpahaman. Alfi kembali melanjutkan langkahnya. Dia duduk di depan bersama petinggi divisi Ti yang lain. Ayana yang masih karyawan biasa tentu saja duduk di paling ujung bersama lusi. Sebenarnya tidak ada aturan seperti itu, silahkan duduk dimanapun. Tapi tetap saja para karyawan sadar diri. Ayana bernafas lega, begitupun dengan Lusi. Ternyata dia sudah salah paham karena Alfi sudah datang lebih dulu. Pembukaan acara makan malam bersama dimulai setelah waktu magrib. Bagi karyawan yang beragama islam, dipersilahkan untuk shalat lebih dulu. Setelah itu barulah acara dimulai. "Saya mengucapkan banyak terima kasih untuk semua yang sudah menyiapkan acara ini. Saya sangat terharu sekali." Alfi mengatakan dengan wajah datar. Padahal saat kuliah dia bukan tipe orang yang minim ekspresi. "Mari kita nikmati acara ini bersama-sama." Semua orang bertepuk tangan. Makanan juga datang. Ayana mengambil apa yang ia pesan yaitu ramen. Ada juga sushi dan lainnya. Meja terlalu penuh. Suasana ramai dan dipenuhi gelak tawa. Ayana hanya ingin segera pulang. Dia benar-benar merasa lelah karena acara kali ini terlalu banyak menguras energinya. Acara selesai pada pukul sepuluh malam. Ada yang memilih pulang dan ada yang masih berada di dalam restoran. Tapi Ayana memilih untuk pulang saja. Ayana berpamitan dengan rekan kerja yang lain. Dia tidak sengaja melihat Alfi masuk ke dalam mobil. Perbedaan mereka memang cukup besar. Ayana menggunakan motor sedangkan Alfi menggunakan mobil yang cukup mahal. Alfi memang berbeda, dan mereka seperti orang yang tidak kenal sama sekali. Saat mobil Alfi melewati Ayana, dia tidak membunyikan klakson atau bahkan membuka kaca. Ternyata Ayana berharap terlalu banyak. Dia merasa sangat bodoh. Bisa saja Alfi sudah menikah dan memang menjaga jarak dengan perempuan. Siapa yang tidak mau dengan pria seperti Alfi? Wajahnya tampan, pesonanya juga tidak main-main. Apalagi Alfi mendapat pekerjaan yang baik. Sepertinya Alfi memang sudah menikah. Jujur saja dia merasa sedih, tapi mau bagaimana lagi. Jika memang tidak berjodoh maka tidak akan bisa bersama. Ayana mengendarai motor dengan perasaan yang tidak nyaman. Ia lebih memilih untuk tidak bertemu dengan Alfi daripada bertemu tapi ternyata Ayana masih memiliki perasaan kepadanya. Jujur saja, hari ini cukup berat untuk Ayana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD