Untungnya, semua peralatan dan bahan makanan di dapur sangat lengkap, bahkan tersedia sayuran dan berbagai macam daging dengan jumlah yang seharusnya cukup untuk satu minggu.
"Setidaknya kita tidak perlu repot-repot berkendara beberapa kilometer hanya untuk membeli bahan makanan di supermarket." Kriss menatap peta yang terbuka di layar ponselnya, yang menunjukkan bahwa supermarket terdekat berjarak lima kilometer dari tempat tinggal mereka sekarang.
"Kita harus tetap pergi, sepertinya ibuku lupa menyetok es krim untukku." Angel mengeluarkan sebotol air es dari kulkas dan meletakkannya ke meja makan.
"Huh?" Kriss mengalihkan tatapan dari ponselnya. "Kau masih sangat suka es krim?"
"Masih, siapa yang tidak suka es krim?"
"Aku tidak suka," jawab Kriss. Selagi menuangkan air ke gelas, dia menemukan bahwa lawan bicaranya berhenti bergerak dan menatapnya dengan alis terangkat. "Apa?" tanyanya bingung.
"Tidak ada." Angel tersenyum miring. "Aku hanya senang karena itu artinya tidak ada yang bisa berebut es krim denganku."
Sebuah memori tiba-tiba melintas di kepala Kriss, yang langsung membuatnya memegang telinga sambil meringis. "Tidak ada yang pernah mau merebut es krim darimu, kau hanya terlalu pelit dan tidak mau membaginya!"
Angel tertawa pelan. "Kau bisa memasak?" Matanya menembak tajam ke arah Kriss.
Menyadari situasinya, Kriss cepat-cepat mengubah raut wajahnya dan tersenyum cerah. "Aku hanya bercanda, tentu saja kau tidak pelit, kau orang paling dermawan yang pernah aku kenal."
Angel mendengus. "Kau mau makan apa?"
"Umm ... " Kriss menatap punggung Angel, yang saat itu hanya memakai kaos oversize berwarna mint dan celana pendek yang hampir tersembunyi sepenuhnya di dalam baju, rambut dikuncir dan ikatan apronnya yang tersampul rapi di punggung.
Pemandangan yang sangat familiar.
"Hum? Kau mengatakan sesuatu?" Angel menoleh.
"Ayam katsu saus kari, aku mau makan itu."
Angel terdiam, menatap senyum yang sedang Kriss perlihatkan dan mengerutkan kening. "Kau yakin?"
"Ya, memangnya kenapa?"
Setahu Angel, Kriss memang suka menu itu. Tapi beberapa saat yang lalu Emilie mengirimkan pesan padanya, yang mengatakan bahwa Kriss sama sekali tidak suka kari dan Sharon bilang, bahkan jika dia tidak memakannya, selama ada menu itu di atas meja, Kriss akan kehilangan nafsu makan.
Jadi Emilie secara khusus memperingatkan Angel untuk tidak memasak kari.
"Kenapa?" Melihat Angel melamun, Kriss mendekat dan melihat beberapa bahan yang belum mulai dikerjakan. "Kau sudah lupa cara membuatnya?"
"Tidak, aku masih ingat." Angel meletakkan pisau dan membawa beberapa potong ayam untuk di cuci sebelum dimarinasi.
Kriss mengekor. "Ada yang bisa aku bantu?"
"Ya, kupas dan potong-potong wortel dan kentangnya."
Selanjutnya, tidak banyak percakapan lagi yang terjadi di dapur hingga semua makanan siap dan dihidangkan di meja makan.
Dan berbanding terbalik dengan apa yang Emilie katakan, Kriss justru memakan masakan yang Angel buat dengan sangat lahap, tidak terlihat sedikitpun jejak tidak suka pada ruat wajahnya.
"Kau sudah kenyang?"
Angel tersadar dari lamunannya dan melihat Kriss sedang menatap piringnya yang masih terisi setengah. "Ya, mungkin karena terlalu lapar, aku kalap dan membuat terlalu banyak."
"Kalau tidak bisa kau habiskan, berikan padaku."
Angel terkejut. "Tapi ini makanan sisa ...
"Lalu kenapa?" Kriss tidak menunggu lagi dan langsung menarik piring itu dari hadapan Angel. "Lagi pula kau tidak meludah di dalamnya kan?"
Angel terdiam, hanya bisa melihat Kriss benar-benar menyantap habis makanan di piringnya juga sebelum bersandar penuh kepuasan.
"Wah, luar biasa. Aku merasa belum pernah sekenyang ini sebelumnya." Kriss menepuk perutnya dan mengacungkan jempol. "Seperti biasa, menu buatanmu tidak pernah mengece ... wakan."
Kriss mematung begitu menyadari apa yang baru saja dia ucapkan, tak berani menatap ke arah Angel yang tidak memberikan reaksi apa-apa.
Pria itu berdehem pelan dan cepat-cepat mengumpulkan peralatan makan di meja. "Aku akan cuci piring."
Angel ikut berdiri. "Biar aku saja."
"Tidak, tidak. Kau sudah memasak, jadi ini tugasku." Kriss mencoba untuk tertawa, tapi yang keluar justru tawa yang terdengar canggung. "Ehm, bukankah kau mau pergi beli es krim?"
"Ya."
"Kalau begitu, pergi ganti baju."
Angel mengangguk lagi, tapi belum beranjak meski Kriss sudah memunggunginya dan mulai menyalakan keran.
"Kriss."
Panggilan tiba-tiba Angel menyebabkan piring yang sedang Kriss cuci terlepas, untungnya tidak jatuh terlalu tinggi dan pecah. Pria itu berbalik. "Kau belum pergi? Ada apa?"
Angel mengembangkan senyumnya. "Aku senang kau masih suka masakanku."
Kriss mematung dengan mulut sedikit terbuka.
"Karena kita sekarang terjebak dalam pernikahan seperti ini, aku harap kau tidak terlalu canggung selama hidup denganku."
"Aku ... " Kriss mengalihkan tatapan ke buah di atas meja makan. "Tidak canggung."
"Syukurlah kalau begitu." Angel kemudian berbalik. "Aku akan turun secepatnya setelah ganti baju."
Kriss menatap punggung Angel yang menghilang dibalik sekat dan menyusul untuk memastikan gadis itu sudah benar-benar naik ke lantai dua.
Barulah dia menghela napas keras. "Tidak canggung? Dasar bodoh!" Kriss menutup wajahnya. "Memalukan sekali."
Dua puluh menit kemudian, Kriss sudah selesai cuci piring saat Angel turun dan sedang memanaskan mesin mobil.
"Waow, seriously? Bentley bacalar? Di pedesaan seperti ini?" Angel menatap Supercar tanpa atap berwarna putih mengkilap itu dengan takjub. "Bukankah kita hanya akan menjadi pusat perhatian?"
Kriss menghela napas lelah. "Mau bagaimana lagi, yang tersedia di garasi selain ini hanya sepeda gunung."
Angel tertawa. Demi memastikan Kriss dan Angel tidak melarikan diri dari bulan madu mereka. Tentu saja Sharon dan Emilie hanya akan menyediakan mobil tanpa atap seperti ini alih-alih menyediakan mobil dengan atap yang bisa digunakan berkendara jarak jauh, "Tidak apa-apa, menjadi pusat perhatian juga tidak begitu buruk," ujarnya penuh canda, kemudian naik ke mobil lebih dulu.
Kriss menyusul dan langsung memasang sabuk pengaman.
"Kenapa kau tidak naik dan ganti baju juga?" tanya Angel.
Saat ini, Kriss masih memakai setelan tuxedonya dan hanya melepaskan jas dan dasinya, sedangkan kameja putih yang tersisa digulung hingga ke siku agar terlihat lebih simpel.
"Nanti saja, setelah barang-barangku dipindahkan," jawab Kriss.
Gerakan Angel memasang sabuk pengaman terhenti. "Mau dipindahkan ke mana?"
Saat mereka datang, semua keperluan mereka di dalam villa telah diatur sedemikian rupa, dan karena mereka adalah pasangan yang sudah menikah, otomatis Sharon dan Emilie mengatur agar semua pakaian dan barang-barang pribadi Angel dan Kriss berada di kamar yang sama.
"Ke kamar lain."
"Kenapa?" Angel mengerut kening. "Kau keberatan sekamar denganku?"
Kriss terkejut karena Angel tiba-tiba bertanya seperti itu, dan kesulitan menjawab dengan benar. "Tidak, bukan begitu, hanya saja ...
"Hanya apa? Atau mungkin kau ... Tidak mau tidur dengan wanita lain selain Rachel meskipun kalian sudah putus."
Kriss semakin kelabakan.
"Tapi jika memang seperti itu, kau seharusnya tidak menciumku di atas altar dan membuatku salah paham." Angel menghela napas dan kembali memasang sabuk pengamannya. "Tapi jika kau mau seperti itu juga tidak apa-apa, setelah pulang dari beli es krim, kita akan memindahkannya, ayo jalan."
Tapi hingga beberapa menit kemudian, mobil masih tidak jalan dan Kriss juga tidak bergerak.
Angel mengangkat alis dan menoleh. "Kenapa tidak jalan?"
"Aku tidak keberatan," kata Kriss pelan, dengan tatapan sepenuhnya ke wajah Angel.
"Apa?"
"Aku ... Ingin tidur di kamar yang sama denganmu, tapi khawatir kau akan keberatan."
Mendengar itu, Angel langsung tertawa pelan dan kembali menatap ke depan. "Kita akan membahas itu lagi saat pulang, cepet jalan, aku mau makan es krim."
Melihat tawa lepasnya, Kriss menghela napas lega dan ikut tersenyum sebelum menjalankan mobil.
Begitu keluar dari jalan setapak menuju villa, yang menyambut mereka adalah jalanan mulus yang diapit pepohonan dan pantai, berkelok dan menuruni beberapa bukit hingga pemandangan berganti menjadi ladang bunga yang luas.
Angin musim semi berhembus, membawa serta bau khas dan kelopak bunga dari ladang berwarna-warni yang mereka lintasi.
Angel menopang dagu dan memejamkan mata, menikmati hari yang sangat jarang dia dapatkan meski sedang libur kerja.