Bab 9 Dejavu

1162 Words
Karena permainan peran mereka, Angel dan Kriss jadi sering bertemu meskipun keduanya enggan dan hanya dalam dua minggu itu keduanya telah berkencan total sampai lima kali. Tidak banyak, tapi menguras tenaga dan pikiran dua kali lipat dari pacar-pacar Angel sebelumnya karena mereka sangat sering adu mulut. “Iya, iya aku tahu bu, aku akan datang tepat waktu." Angel membuka sepatu dan meletakkannya ke rak, kemudian masuk dan meletakkan tasnya ke sofa. Matanya seketika menangkap kotak besar di atas meja. "Bu, kotak yang ada di meja itu, apakah ibu yang meletakkannya?" "Ya, saat aku jalan-jalan ke mall hari ini, aku menemukan gaun yang terlihat cocok untukmu, jadi aku membelinya." Angel menjepit ponsel di telinganya dan menjatuhkan diri ke sofa. "Saat jalan-jalan untuk me time, ibu harusnya membeli untuk diri sendiri saja, tidak perlu memikirkan aku terus." "Memangnya kenapa?" Emilie mendengus pelan. "Hanya karena kau sudah dewasa, bukan berarti aku tidak boleh membelikan baju untukmu lagi kan?" "Tapi aku memberikan uang itu untuk ibu, bukan untuk dibelanjakan untukku kembali?" Seberang telepon hening sejenak sebelum suara Emilie terdengar lagi, namun tampak tertekan. "Apa kau sedang menolak hadiah dariku?" "Tidak, aku sangat senang ibu selalu memikirkan aku." Angel melembutkan suaranya. "Lagipula, ibu tahu seleraku dengan sangat baik, aku pasti akan suka." "Bagus, kalau begitu pastikan kau memakainya nanti malam." "Siap." Setelah memutuskan panggilan, Angel kemudian meraih kotak di meja dan membukanya. Isinya adalah gaun malam berwarna hitam yang elegan, dengan atas berbentuk V neck yang tidak terlalu rendah, aksen renda di lengan yang agak melebar dan transparan yang dipadukan dengan bawahan rok berbentuk A. "Bukankah ini terlalu berlebihan untuk makan malam saja?" Angel bergumam pelan. Dia menatap ke dalam kotak dan bahkan menemukan satu set perhiasan juga hiasan rambut, tidak lupa sepatu. Angel juga tidak begitu mengerti kenapa ibunya tiba-tiba mengajak makan malam di restoran mewah, dan hanya berdua dengannya. Padahal biasanya dia hanya akan melakukan itu saat merayakan sesuatu. Tapi hari ini tidak ada perayaan apapun, Angel bahkan sudah mengecek tanggal beberapa kali karena takut melewatkan hari penting. Meskipun merasa aneh dan curiga, pada akhirnya karena ini adalah ajakan sang ibu, Angel sama sekali tidak bisa menolak dan tetap memakai semua hal yang ada di kotak saat pergi ke restoran tempat mereka mengatur janji. "Nona Angelica?" Begitu masuk, seorang pelayan tiba-tiba menghampirinya. "Ya, itu aku." Pelayan itu tersenyum ramah. "Mari aku antar ke tempat duduk Anda." Angel balas tersenyum dan berterima kasih, tapi begitu tiba di tempat tujuan dan melihat siapa yang sedang duduk menunggu, senyumnya dengan cepat pudar. "Apa yang aku lakukan di sini?" Pertanyaan itu terlontar bukan dari Angel, melainkan dari Kriss yang saat ini duduk di tempat Emilie seharusnya menunggu Angel. Angel menatap Kriss dari atas ke bawah sebelum melihat penampilannya sendiri yang terlihat sangat jelas matching dengan pria itu, mulai dari pakaian hingga perhiasan. "Aku seharusnya menebak kalau hal seperti ini akan terjadi," bisiknya lemah. "Apa?" Kriss mengerutkan kening. "Dan kau belum menjawab pertanyaanku tadi." "Aku datang untuk makan malam tentu saja," jawab Angel, kemudian menarik kursi didepan pria itu untuk duduk. "Apakah ibuku juga mengundangmu?" tanya Kriss lagi. "Tidak, yang mengundangku adalah ibuku." Angel menopang dagu. "Lihat saja penampilan kita, sudah jelas mereka sengaja melakukannya." Setelah diberi petunjuk, barulah Kriss mengamati gaun Angel dan jasnya, kemudian dengan cepat mengerti. Melihat raut pria itu yang berubah tak enak dipandang, Angel dengan cepat menegur. "Jangan menekuk wajah, mereka pasti mengawasi tak jauh dari sini." Kriss menatap sekeliling, sebelum mengecek beberapa cctv yang terlihat di beberapa sudut. "Aku hanya tidak mengerti, padahal mereka bisa langsung mengatakan kalau makan malam ini denganmu, tidak perlu berbohong dan aku akan tetap pergi." Angel mengangkat bahu. "Mungkin saja semacam kejutan." Dia ikut menatap sekitar dan menyadari bahwa beberapa pelanggan meninggalkan meja mereka begitu dia masuk, kemudian para pelayan datang dan membersihkan meja. Membersihkan dalam hal ini bukan hanya piring dan gelas di meja, tapi dengan meja dan kursinya juga. Hanya dalam sekejap, ruangan itu hanya tersisa Angel dan Kriss. Dan karena meja mereka terletak tepat di tengah-tengah ruangan, seluruh ruangan tampak begitu lenggang dan kosong. Setelah itu, barulah makanan diantarkan ke meja mereka. "Sebenarnya apa yang mereka rencanakan?" "Jangan banyak bertanya-tanya, aku juga tidak tahu jadi tidak bisa menjawab apa-apa." Angel menggoyang-goyangkan wine di dalam gelas dan menegaknya. "Nikmati saja." "Kenapa kau begitu santai?" Angel melirik. "Lalu haruskah aku pergi sekarang? Meninggalkanmu sendiri di sini." Kriss berdecak. "Bisa tidak sehari saja kau menjawab beberapa pertanyaanku tanpa kalimat sarkastik, aku lelah bertengkar." Angel tersenyum tipis. "Oke." Dia meraih botol dan menuangkan wine ke gelas Kriss yang sudah kosong. "Jadi makan saja dan berhenti mengeluh." Pada akhirnya wajah Kriss tetap semakin kesal. Angel dan Kriss mengira, setelah makan malam, mereka akan dibiarkan berbicara berdua saja, siapa yang tahu tak lama kemudian sekelompok pemain musik mulai memainkan lagu romantis. Untungnya, sama sekali tidak ada vokalis, jadi yang diperdengarkan hanya instrumen. "Bagaimana kalau kita berdansa?" tanya Kriss tiba-tiba. Angel yang saat itu sibuk bermain ponsel mendongak, dengan tatapan yang tampak tidak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba mengusulkan dansa. "Seperti katamu, Ibuku dan ibumu pasti memperhatikan kita di suatu tempat, jadi kita harus memperlihatkan sesuatu agar mereka percaya kita berkencan." "Ide bagus." Angel meletakkan ponselnya ke dalam tas kembali dan menoleh untuk memberitahu para pemain musik untuk memainkan lagu yang cocok untuk dansa. Kriss kemudian berdiri dan menghampiri sisi tempat duduk Angel, menekuk satu kaki dan mengulurkan salah satu tangan. "Please dance with me, Lady." Angel tertawa pelan dan menyambut uluran tangan pria itu. "Gladly, sir." Ujung bibir Kriss terangkat, kemudian dengan lembut dia menarik Angel ke hadapan, meletakkan tangan di pinggang gadis itu hingga tubuh mereka hampir menempel sepenuhnya. Tapi, di saat Angel meletakkan satu tangan di bahunya, gerakan Kriss tiba-tiba terhenti, disertai kerutan kening yang sulit disembunyikan. "Ada apa?" tanya Angel. Karena berpikir Kriss tak nyaman, dia bermaksud untuk sedikit membuka jarak, tapi pria itu justru mengeratkan pegangan di pinggang dan tangannya. "Dejavu." "Apa?" "Aku merasa pernah melakukan ini sebelumnya." Kriss menjelaskan. Angel berkedip beberapa kali, mengamati raut Kriss dan berkata, "kau pasti pernah berdansa dengan seorang gadis sebelumnya, jadi pasti merasa familiar." "Hanya dengan Rachel." Angel tertawa. "Jawabannya ditemukan." Meski begitu, kerutan di dahi Kriss masih tidak menghilang. "Tapi ... "Kau mau berdansa atau tidak?" Angel memukul pelan bahu pria itu. "Para pemain musik mulai menatap kita dengan aneh." "Oh, maaf." Kriss dengan cepat menarik Angel ke dalam alunan musik, berdansa mengikuti setiap melodi dan melangkah sesuai ketukan nada. "Kau berdansa dengan sangat baik," puji Kriss sambil memegangi pinggang gadis itu dan membawanya berputar. "Sering melakukannya?" "Hanya beberapa kali," jawab Angel pelan. "Kau juga cukup mahir." "Interaksi pertamaku dengan Rachel adalah saat berdansa, jadi sampai sekarang aku suka mengajaknya berdansa jika ada waktu. Tapi dia tidak begitu suka." Kriss tertawa pelan. "Mungkin karena itulah dia suka berakting tidak bisa dansa dan menginjak kakiku terus menerus padahal saat pertama kali, dia sepertinya cukup mahir." Angel ikut tertawa, tapi tidak menjawab dengan kalimat apapun. Untuk pertama kalinya mereka tinggal di satu ruang yang sama cukup lama tapi tidak ada banyak pertengkaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD