Pagi-pagi sekali, Zakki dan Nayyara berangkat menuju ke sungai, di temani oleh Pak Bahar dan Bu Halimah. Mereka akan pergi ke desa sebelah, dengan menggunakan perahu ketek berukuran kecil milik almarhum pak Wijaya.
Butuh waktu hampir dua jam, untuk bisa sampai di desa tersebut.
Sepanjang perjalanan, Zakki tidak henti mengagumi keindahan alam yang masih sangat alami, yang membentang di sepanjang sisi sungai.
Pria itu pun tidak pernah melepaskan genggaman tangannya pada Nayyara. Sesekali ia membenarkan hijab istrinya yang berantakan tertiup angin.
"Pakai ini, sayang, biar tidak dingin," ucap Zakki sambil menyelimuti tubuh Yara menggunakan jaket miliknya.
Pria itu lalu membawa tubuh Yara ke dalam pelukannya, agar semakin hangat.
Menyaksikan hal tersebut, Pak Bahar dan Bu Halimah tersenyum bahagia. Mereka sangat yakin, jika perhatian dan kasih sayang Zakki kepada Yara sangatlah tulus.
Sesampainya di desa, Pak Bahar segera membawa mereka menuju rumah salah satu penduduk , yang ternyata merupakan teman dekatnya dulu.
"Ini Pak Wawan dan Pak Yanto, mereka berdua yang akan mengantar kalian ke tepi jalan utama. Bapak dan Ibu hanya bisa mengantar sampai di sini, untuk selanjutnya kalian harus melakukan perjalanan berdua," ucap Pak Bahar, sambil menepuk pundak Zakki pelan.
"Berangkatlah, mumpung hari belum terlalu siang," imbuh pak Bahar.
"Baik, Pak. Terima kasih, atas semua bantuan dan perhatian Bapak dan Ibu kepada saya dan Yara selama ini, dan maaf, jika kami banyak merepotkan Bapak dan Ibu," ucap Zakki dengan tulus, lalu menyalami Pak Bahar dengan takzim.
"Jangan berkata seperti itu, kalian berdua adalah anak-anak kami, sudah sepantasnya kami melakukan semua itu," sahut Pak Bahar sambil memeluk Zakki penuh kasih sayang.
"Bapak dan Ibu hanya minta satu hal, tolong jaga Nayyara dan ingat pesan yang Bapak sampaikan kemarin, jangan pernah melupakannya," lanjut Pak Bahar.
Sementara Nayyara, wanita itu menangis sesenggukan di dalam pelukan Bu Halimah. Ia merasa sangat sedih dan terpukul, harus berpisah dengan kedua orang yang begitu sangat menyayanginya selama ini, selain bapaknya sendiri.
"Ingat pesan Ibu, jadi istri yang baik dan penurut, jangan membuat suamimu bersusah hati." Nasehat Bu Halimah, saat tangis Yara sudah mulai lega.
"Nayyara akan selalu ingat nasehat ibu. Ibu dan Bapak jaga diri baik-baik, nanti kalau Nayyara sudah pandai mengaji, Nayyara akan mengajak Mas Zakki pulang melihat Bapak dan Ibu," sahut Yara dengan polosnya.
Bu Halimah tersenyum, di belainya puncak kepala Yara dengan penuh kasih sayang sambil sesekali menciumnya.
"Sekarang berangklah. Do'a bapak dan ibu menyertai kalian," ucap wanita tua itu dengan lembut.
Yara mengangguk lemah, wanita itu lantas mengurai pelukannya di tubuh Bu Halimah, lalu naik ke atas motor berboncengan dengan Zakki.
Pak Bahar dan Bu Halimah melambaikan tangannya, melepas kepergian Zakki dan Yara, sampai motor yang mereka kendarai menghilang di tikungan jalan.
***
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam menggunakan sepedah motor, akhirnya mereka sampai di sebuah desa yang sudah cukup ramai, yang kebetulan di desa tersebut sedang ada pasar mingguan.
Pak Wawan lalu membawa mereka ke sebuah tempat yang tidak jauh dari pasar, yang biasa digunakan oleh warga sekitar untuk menunggu mobil angkutan penumpang.
Sembari menunggu mobil datang, Pak Wawan membawa mereka untuk beristirahat di sebuah warung bakso di pinggir jalan.
"Nak Zakki, tunggu di sini saja sekalian beristirahat dulu, saya dan pak Yanto akan mencarikan mobil yang akan membawa kalian ke kota," ucap Pak Wawan dengan ramah, Zakki mengangguk setuju, setelah itu Pak Wawan dan Yanto meninggalkan mereka untuk mencari mobil tumpangan.
Sepeninggal Pak Wawan dan Pak Yanto, Zakki buru-buru mengajak Yara untuk mencari tempat duduk dan meminta izin kepada pemilik warung untuk mengisi daya baterai ponsel miliknya.
"Alhamdulillah," ucap Zaki dengan penuh rasa syukur, ketika melihat ponsel miliknya masih bisa hidup, meskipun layarnya sudah retak seribu.
Dengan cepat, Zakki segera mengirim pesan kepada seseorang, yang langsung di balas dengan cepat oleh orang tersebut.
Hingga beberapa saat lamanya, Zakki masih terus fokus berbalas pesan dengan orang tersebut, membiarkan Yara asyik menikmati pemandangan di sekitar jalan yang tentu baru pertama kali ini dilihatnya.
Setelah urusan berbalas pesannya selesai, Zakki kemudian meletakkan benda pipih tersebut dan kembali menghampiri istrinya.
"Capek, sayang?" tanya Zakki dengan lembut. Yara menggeleng, lalu kembali asyik melihat lalu lalang warga yang melintas. Bola mata indah berwarna hazel itu, terus bergerak ke sana kemari, mengikuti sudut pandang yang ingin di lihatnya.
Yara benar-benar terlihat begitu menikmati pemandangan ramai di depannya, banyak hal asing yang tidak ia ketahui namanya, wanita cantik itu lantas berfikir, inikah yang namanya 'kota' itu?
"Sudah, sayang, nanti pegel lehernya," tegur Zakki dengan lembut, serayak menahan senyum geli melihat perilaku istrinya itu.
Yara tersenyum malu, wanita itu buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah bersemu merah.
Zakki mengusap-usap punggung istrinya, lalu membawa Yara agar bersandar di bahunya.
"Nanti kalau kita sudah sampai, Yara boleh belajar mengenal dunia luar dan tentang perkembangan teknologi saat ini bersama Mas, untuk sekarang Yara harus menjaga pandangan, tidak boleh jelalatan melihat ke sana kemari, bisa?" tanya Zakki lembut.
Wanita itu mengangguk patuh, lalu meraih tangan Zakki, menggenggamnya dengan erat.
Pria itu tersenyum, lagi-lagi sikap polos Yara membuncahkan rasa bahagia di dadanya. Gadis polos dari wilayah pedalaman itu telah berhasil membuat seorang Rafa Fauzan Muzakki ingin selalu berada di sampingnya.
Dari arah belakang, terlihat seorang pelayan warung bakso menghampiri tempat duduk Zakki dan Yara, sambil membawa nampan berisi semangkok bakso dan dua gelas teh hangat. Zakki sengaja memesan porsi besar dalam satu wadah, untuknya dan untuk istrinya.
"Silahkan, Mas, Mbak," ucap pelayan tersebut dengan ramah, mempersilahkan Zakki dan Yara untuk menyantap pesanan mereka.
"Cantik sekali adiknya, Mas, bola matanya indah seperti orang luar," puji pelayan warung bakso tersebut, sambil menatap kagum ke arah Yara.
Adik?
"Dia istri saya," sahut Zakki dengan cepat. Ia sungguh tidak rela jika ada yang menyangka jika Yara bukanlah istrinya.
"Oh, maaf, saya kira adiknya," ucap pelayan tersebut meminta maaf dengan wajah malu.
"Tidak apa-apa, namanya juga tidak tau," ucap Zakki ramah.
Setelah pelayanan tersebut undur diri, Zakki kemudian mengajak Yara untuk makan bersama, namun ujung-ujungnya Yara makan di suapi oleh Zakki, karna pria itu terlalu gemas melihat cara makan istrinya.
"Makanan ini namanya bakso, sayang. Terbuat dari—"
"Daging sapi, di campur tepung, di beri bumbu rempah, ini mie, ini kecap dan ini saos," potong Yara cepat, serayak menunjuk ke arah benda yang di sebutkannya.
"Waah, pintarnya istriku. Siapa memberitahu?" tanya Zakki tersenyum senang.
"Bu Halimah. Waktu itu bapak pulang dari kota membawa beberapa bungkus bakso, terus Yara bawa ke tempat bu Halimah, sama ibu di kasih tau, lalu di suruh mencatat, dan mengingat" terang Yara panjang lebar.
Hampir satu jam berlalu, setelah mereka selesai makan, barulah Pak Wawan datang dan memberitahu jika ia sudah mendapatkan mobil tumpangan yang akan membawa mereka ke terminal kota.
"Mobil yang biasa membawa penumpang ke kota akan datang sekitar jam satu siang katanya, Nak. Bapak kuatir nanti kalian akan kemalaman di jalan kalau menunggu, lebih baik kalian menumpang mobil barang yang akan ke kota sekarang," terang Pak Wawan serayak mengantarkan Zakki dan Yara menuju sebuah mobil truk pengangkut barang.
"Kalian bisa duduk di depan, kebetulan Bapak bawa mobil sendiri sekarang," ujar sopir truk tersebut dengan ramah, lalu mempersilahkan Zakki dan Yarra untuk naik setelah Pak Wawan memberi sejumlah uang kepada supir tersebut sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Wawan dan Pak Yanto, Zakki kemudian mengajak Yara untuk naik ke atas mobil.
Akhirnya, mereka kembali melakukan perjalanan menuju terminal yang ada di salah satu kota kecamatan di kabupaten Musi Banyu Asin.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang satu jam, akhirnya mereka tiba di tempat tersebut.
"Pak Zakki!" panggil dua orang pria bertubuh tegap berpakaian rapi secara bersamaan, seraya melangkah cepat menghampiri Zakki dan Yara yang belum lama turun dari mobil.
"Assalamualaikum, Pak Zakki!" ucap kedua pria tersebut bersamaan.
"Waalaikum salam," sahut Zakki tersenyum ramah.
"Alhamdulillah, Pak Zakki benar-benar selamat," ucap salah satu pria tersebut dengan wajah bahagia.
"Alhamdulillah, semua berkat do'a kalian juga," sahut Zakki ramah.
Mereka lalu saling bersalaman dan berpelukan, layaknya seorang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Padahal kedua orang tersebut tidak lain adalah asisten dan pengawal pribadi Zakki. Yaitu Rangga dan Wahyu.
"Apakah ini ...." Rangga menggantung kalimatnya tatkala pandangan matanya tertuju pada Yara yang masih diam di tempatnya sambil menunduk.
Pria itu terlihat menatap kagum ke arah Yara, begitu juga dengan Wahyu.
"Jaga pandangan kalian dari istriku, atau aku akan mendonorkan kedua mata kalian kepada orang yang lebih membutuhkan," ancam Zakki, serayak menyembunyikan Yara di balik bahunya.
Rangga dan Wahyu buru-buru mengalihkan pandangan mata mereka, tatkala mendengar ancaman Zakki, yang sudah berubah mode ke mode Tuan Muda.
"Kita langsung pulang, Pak? Atau Pak Zakki ingin beristirahat sebentar di hotel?" tanya Rangga saat mereka sudah berada di dalam mobil.
"Bilang saja kalian yang ingin beristirahat, bukan begitu?"
Rangga dan Wahyu saling pandang, lalu tersenyum lebar memamerkan gigi Pepsodent mereka.
"Butuh waktu berapa lama?" tanya Zakki kemudian.
"Empat sampai lima jam, Pak," jawab Wahyu, sambil mulai melajukan mobil Alphard berwarna putih tersebut.
"Dua jam, tiga jam, satu jam, lima jam," ucap Zakki menghitung.
Rangga dan Wahyu yang tidak paham dengan apa yang diucapkan bos mereka, hanya bisa diam dan saling pandang, heran.
"Masya Allah. Padahal tempat di mana aku tinggal selama ini tidak terlalu jauh, tapi dengan kuasa Allah, mereka yang ditugaskan untuk mencariku tidak dapat menemukan aku selama ini. Sungguh besar kuasa-Mu, ya Allah," ucap Zakki dalam hati.
"Pak Zakki, bagaimana?" tanya Rangga tidak sabar.
"Apa Yara ingin beristirahat dulu, sayang? Kalau iya, kita akan mencari tempat beristirahat," tanya Zakki dengan lembut serayak membelai puncak kepala istrinya yang sejak tadi hanya diam.
Bukanya menjawab pertanyaan Rangga, Zakki justru bertanya kepada istrinya, membuat Rangga hanya bisa melongok.
"Yara mau tidur sama Mas Zakki di rumah," jawab Yara setengah berbisik.
"Oh ... baiklah kalau begitu," sahut Zakki dengan gemas, lalu membawa Yara ke dalam pelukannya.
"Istriku ingin beristirahat di rumah, jadi bergegaslah, aku akan memberi bonus spesial buat kalian nanti," ujar Zakki kepada dua orang kepercayaannya itu.
"Siyaap, Bos!" sahut Rangga dan Wahyu dengan cepat dan bersemangat.
"Tancap gas preen!" seru Rangga.
"Oke, besteeh!" sahut Wahyu tidak mau kalah.
Di belakang, Zakki tersenyum penuh arti melihat tingkah konyol dua orang kepercayaannya tersebut. Mereka tidak tau, jika Zakki sudah memiliki rencana tersembunyi untuk mereka berdua.