Ganjaran
Pagi ini Rere bangun dengan wajah senyum merekah. Dia bahkan sudah terbangun sebelum alarmnya berbunyi. Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, Rere langsung berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Dia sudah tidak sabar untuk mengetahui keadaan Raka. Dia sudah tidak sabar untuk mengejek dan menertawakannya. Rere melangkah riang sambil memegangi tali ranselnya. Dia terus bersenandung ria sampai-sampai tidak sadar bahwa ada Adit yang kini sudah mengikutinya dari belakang.
Adit terus tersenyum melihat tingkah konyol Rere. Kali ini dia bahkan mulai menggoyangkan bokongnya dengan gerakan yang lucu. Adit menutup mulutnya dan terus mengikuti langkah Rere. Dia terus terkikik menahan tawa sampai akhirnya langkah Rere tiba-tiba berhenti. Adit menyadari hal itu dan langsung bersembunyi di balik pohon.
Setelah cukup lama bersembunyi, Adit pun kembali mengintip keberadaan Rere. Dia menatap jalanan yang kosong itu dengan dahi berkerut. Tiba-tiba saja Rere sudah menghilang dari pandangannya. Adit pun keluar sambil menggaruk kepalanya. Dia merasa heran sampai tiba-tiba dia merasakan sebuah cubitan maha dahsyat di lengannya.
“Aaah ... aaa ... sakit!”
Rere mencubit lengan itu dengan wajah garang. Adit pun meringis sambil mengusap lengannya yang sudah terzholimi itu.
“Jadi maksud lo apa sembunyi-sembunyi gitu?” tanya Rere.
“G-gue nggak sembunyi kok. Tadi itu gue ngerapiin seragam gue di sana.” Adit langsung beralasan.
Rere menatapnya dengan mata menyipit. Setelah itu dia langsung memeriksa ranselnya dengan seksama.
“Wah ... maksud lo apaan sekarang Re?” tanya Adit.
“Gue mau meriksa siapa tau ada barang-barang gue yang hilang,” jawab Rere.
Jawaban Rere sukses membuat Adit sakit hati. Adit terus menatap Rere dengan mulut menganga. Sedetik kemudian dia menggeleng pelan karena telah di tuduh sedemikian hina oleh sosok Rere sahabatnya.
“Lo pikir gue ini copet?” tanya Adit dengan suara lirih.
“Kelakuannya mirip.” Rere menyandang kembali ranselnya, lalu segera melangkah pergi.
_
Rere memasuki gelasnya dengan d**a membusung. Hari ini tingkat kepercayaan dirinya kembali pulih. Dia masuk dengan santai lalu segera duduk di kursinya. Tatapannya lalu beralih ke kursi Raka yang masih kosong.
“Tumben dia telat,” bisik Rere.
Rere terus menunggu sambil membaca komik Doraemon kesukaannya. Hingga kemudian dia mulai menyadari bahwa ada yang aneh dengan sikap teman-teman sekelasnya. Hari ini mereka semua terlihat murung. Sebagian asik bercerita pelan dengan wajah rusuh. Padahal sebelumnya mereka begitu beringas saat balas mengerjai Rere.
“Well ... kenapa hari ini kalian semua pada diem?” tanya Rere sambil menghempaskan komik miliknya.
Tidak ada seoran pun yang menjawab. Semua hanya diam dengan muka ditekuk.
Rere tersenyum pelan. “Apa karena panutan kalian belum datang? Jadinya kalian nggak berani gangguin gue lagi kayak kemaren?”
“Stop Re ... lo nggak usah bawa-bawa Raka.” Ayu yang merupakan salah satu teman dekat Raka langsung berdiri dari kursinya.
“Kenapa? lo nggak suka?”
Ayu memlih diam dan kembali duduk.
“By the way kenapa nih, hari ini student of the year kita belum datang juga? Tanya Rere lagi.
Tidak ada jawaban,sanggahan,ataupun perlawanan dari mereka yang biasanya membela Raka. Rere terus bercoleteh membahas keburukan-keburukan Raka dengan ekspresi yang berlebihan. Dia sengaja ingin memancing keributan. Dia ingin membalas dendam atas perlakuan mereka yang sebelumnya sudah berani menganggunya.
Seisi kelas kini hening. Ayu yang sedari tadi sudah menahan diri segera bangun dari kursinya lalu melangkah mendekati Rere.
“Nah ... gitu dong! masa iya gara-gara nggak ada Raka kalian semua jadi ciut gini,” ledek Rere.
Ayu yang sudah berdiri di hadapannya menghela napas sejenak.
“Please Re ... gue mohon sama lo ... untuk saat ini berhenti ngomongin Raka,” ucap Ayu dengan suara lirih.
“Kenapa?” tanya Rere dengan wajah cuek.
Ayu memejamkan matanya sejenak. “Kemaren Raka mengalami kecelakaan lalu lintas...”
Rere langsung tersentak.
Ayu menghela napasnya sejenak, lalu kembali menatap Rere perlahan.
“Dan kecelakaan itu membuat matanya menjadi buta.”
_
Rere bergegas pulang ke rumahnya dengan perasaan kacau. Derap langkah kakinya menghentak kuat. Dia berlari dengan sangat cepat seperti tengah dikejar hantu. Kata-kata Ayu tadi pagi masih terngiang-ngiang ditelinganya. Rere memang ingin memberi Raka pelajaran. Namun dia tidak menyangka semua akan separah ini.
Langkah Rere terhenti seiring suara napasnya yang terdengar sesak. Matanya menatap nanar, kemudian sebening air matanya mulai mengalir pelan. Rere terhenyak dan jatuh ke tanah. Dadanya kini terasa sesak sehingga membuat dia kesulitan untuk bernapas.
“Nggak! semua ini nggak mungkin terjadi ... semua nggak mungkin seperti ini ...”
Rere menggelengkan kepalanya sembari terus mengulang-ulang kalimat yang sama. Rasa bersalah dan takut kini berpadu sudah. Rere benar-benar dihantui oleh perbuatannnya yang berakhir petaka. Dia terus terisak sambil mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat.
“Re ....” tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya pelan.
Rere lekas menyeka air matanya lalu menoleh ke arah suara.
“A-adit?”
Adit langsung membantu Rere berdiri dan membersihkan sisa-sisa tanah yang kini melekat di lutut dan dan tangannya. Kemudian dia membawa Rere ke pinggir trotoar lalu mendudukkannya di sana. Setelah itu keheningan kembali menyebar. Adit terlihat kesulitan untuk mulai berbicara. Sementara Rere masih menyeka air mata yang terus mengalir.
“Lo nangis gara-gara Raka, ya?” tanya Adit dengan nada hati-hati.
Rere hanya diam.
“Gue juga nggak nyangka dia mengalami musibah seperti itu,”desis Adit.
Bola mata Rere tersentak seiring rasa sesak yang kembali menikam dadanya.
“Gue tau lo ikut prihatin ... tapi lo juga nggak harus sampai seperti ini Re. Lo harus inget apa yang udah diperbuat sama lo,” ucap Adit mengingatkan.
Bibir Rere bergetar mendengar kalimat itu. Dia menatap Adit sejenak dengan mata yang masih berkaca-kaca. Bibirnya perlahan terbuka, namun sedetik kemudian Rere kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak mungkin menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dia belum siap untuk mengakui kesalahannya. Rere mencoba bersikap tenang lalu segera bengun dari tempat itu.
“Udah ah, gue mau pulang dulu,” ucap Rere.
“Mau gue anter?”
“Nggak ... nggak usah.” Rere menolak tawaran Adit dan langsung mempercepat langkahnya.
_
Berita mengenai kecelakaan Raka menjadi topik hangat di sekolah. Seluruh warga sekolah ikut bersedih atas kemalangan yang menimpa murid kebanggaan sekolah itu. Raka ternyata mengalami kecelakaan yang cukup tragis. Dia kehilangan kendali sepedanya saat melaju di penurunan. Tiba-tiba sebuah truk yang juga melaju kencang muncul dari arah persimpangan jalan.
Raka tidak bisa mengelak dan akhirnya terpelanting keras. Dia mengalami cedera dibagian kepala yang juga merusak saraf matanya. Berita itu tentu saja mengejutkan semua pihak. Mereka tidak menyangka kecelakaan itu bisa berakibat fatal dan membuat raka menjadi kehilangan penglihatannya.
“Re ... lo nggak mau makan, nih?” Revan yang sudah tiga kali bolak-balik menjemput Rere ke kamar mulai merasa penat.
Rere menatapnya sekilas lalu menggeleng lemah.
“Ayo dong ... gue bete nih disuruh Mama terus-terusan buat manggil lo.”
“Gua nggak mau makan,” jawab Rere.
“Lo kenapa sih?” tanya Revan.
Rere tidak menjawab dan menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Revan pun hanya bisa menhela napas lalu segera pergi dari sana. Setelah suara langkah kaki Revan terdengar menjauh, Rere kembali membuka selimutnya. Setelah itu dia kembali menatap nanar dengan air mata yang masih menetes pelan.
_
Hari ini semua teman-teman sekelas memiliki agenda untuk menjenguk Raka ke rumah sakit. Kedatangan mereka dikawal oleh bu Silvi selaku wali kelas. Rere pun ikut bergabung bersama mereka semua. Namun sesampai di sana, Ayu langsung mencegat Rere sesaat sebelum dia melangkahkan kaki memasuki kamar tempat Raka dirawat. Dengan kasar Ayu langsung menyeretnya pergi sana. Rere mencoba berontak dan melepaskan tangannya dari cengkeraman Ayu.
“Lo apa-apaan sih, Yu?”
Ayu tidak menjawab dan terus menarik Rere menjauh dari sana.
“Lepasin tangan gue!” Rere manarik tangannya sekuat tenaga hingga terlepas.
Rere menatap Ayu dengan tatapan sadisnya. Sementara Ayu hanya menatapnya sekilas lalu langsung membuang muka.
“ Sorry Re ... tapi lo nggak boleh masuk ke ruangan itu,” ucap Ayu.
“M-maksud lo?”
“Raka udah ngasih perintah khusus buat ngelarang lo masuk ke sana. Jadi lebih baik sekarang lo pulang aja.” Ayu berkata ketus lalu pergi dari tempat itu.
Rere terdiam dengan wajah tertunduk. Segenap rasa bersalah kembali menjalar dihatinya. Dia ingin melihat keadaan Raka. Dia ingin tahu tentang keadaannya. Lebih dari itu, dia ingin melakukan sesuatu sebagai bentuk permintaan maafnya.
Rere melangkah gontai menuju gerbang rumah sakit. Namun sedetik kemudian dia kembali balik kanan. Rere kembali melangkah menuju ruangan Raka sambil mengendap-ngendap. Setelah itu dia mulai berjinjit untuk melihat keadaan di dalam sana dari balik jendela kaca.
“Nggak keliatan apa-apa,” dengus Rere.
Rere kembali menurunkan tumitnya dengan rasa kecewa. Dia tidak bisa melihat sosok Raka sama sekali karena banyaknya anak-anak yang kini sedang mengerumuninya. Setelah itu Rere beralih ke taman yang yang berada di depan kamar Raka, lalu duduk menjuntaikan kakinya di sana.
_
Rere terbangun setelah sempat tertidur sambil memeluk lututnya. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali sambil menguap lebar. Setelah itu pandangannya terpaku pada kamar Raka yang kini sudah terlihat sepi. Tanpa pikir panjang, Rere pun kembali mendekat ke sana.
Rere kembali mengintip melalui kaca jendela. Terlihat sosok Raka sedang tiduran di kasurnya. Setelah itu Rere mulai membuka pintu itu pelan-pelan lalu masuk ke dalam sana. Dia terus melangkah pelan dengan napas yang kini juga ikut tertahan.
Rere mengernyit karena dia tidak sengaja menginjak sampah plastik yang akhirnya menimbulkan suara.
“S-siapa itu?” Raka langsung bangun dari tidurnya.
Rere terpaku ditempatnya berdiri sambil menutup mulut rapat-rapat. Sementara Raka kini masih mengarahkan pandangannya yang kosong ke segala penjuru. Rere manatap mata Raka lekat-lekat. Seketika dia terhenyak dengan rasa bersalah yang kembali memuncak.
“Ayu ...?” ucap Raka tiba-tiba.
Rere yang kini panik hanya menelan ludah.
“Itu lo kan, Yu? Ambilin gue air minum dong. Gue haus nih,” pinta Raka.
Tatapan Rere beralih pada segelas air putih yang terletak di atas meja. Setelah sempat merasa ragu, akhirnya dia mengambil gelas itu lalu menyerahkannya ke tangan Raka.
“Thanks ya,” ucap Raka.
Rere hanya diam.
“Nih, gelasnya taro lagi.” Raka kembali mengangkat gelasnya yang sudah kosong.
Rere mengambil gelas itu kemudian bermaksud untuk pergi dari sana. Namun tiba-tiba Raka tidak sengaja menyentuh tangannya dan lekas menangkap tangan itu.
“Pinjem MP3 lo dong, gue bosen nih,” ucap Raka.
Rere terkesiap. Dia membelalak menatap tangannya yang kini sudah digenggam Raka. Rere mencoba menarik tangannya. Bersamaan dengan itu raut wajah Raka mulai berubah tegang.
“Yu ... lo kok diem sih?” tanya Raka.
“Ayu ... lo Ayu, kan?” ulang Raka.
Rere berusaha menarik tangannya kembali. Namun Raka langsung menggenggam pergelangan tangannya itu lebih kuat.
“I-ini siapa?” tanya Raka dengan suara bergetar.
Napas Rere mulai memburu karena takut.
“GUE TANYA LO ITU SIAPA ...!?” bentak Raka dengan keras.
Rere menelan ludah. Setelah itu dia menatap wajah Raka yang kini sudah memerah menahan emosi.
“G-gue—”
Raka langsung menghempaskan tangan Rere begitu dia mendengar suara itu.
“Rere?” Raka mendesis pelan.
“I-iya ... ini gue Rere.”
Napas Raka langsung memburu. Urat-urat di leher dan keningnya kini menyembul keluar. Suara gemeretuk giginya bahkan terdengar jelas.
“KELUAR LO DARI SINI ...!” hardik Raka.
“Ngapain lo ke sini, ha? Apa lo mau nertawain gue? Apa lo seneng sekarang ngelihat gue hancur kayak gini?” Raka berucap dengan bibir bergetar.
“Bukannya gitu Raka ... gue cuma—”
“KELUAR ...!!!”
Raka terus berteriak-teriak menyuruh Rere untuk segera keluar. Tangannya membabi buta dan melemparkan semua yang di raihnya. Rere bahkan menutup telinganya di saat Raka melempar gelas kaca itu ke dinding. Rere hanya terhenyak menyaksikan Raka yang sudah mengamuk.
Setelah lama kemudian, helaan napas Raka mulai melambat. Tatapan kosongnya mencoba mencari keberadaan Rere. Dia menajamkan pendengarannya untuk memastikan bahwa Rere sudah pergi. Setelah itu Raka menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Suara napasnya mulai terdengar kembali. Tidak lama kemudian suara helaan napas itu mulai berganti dengan suara isak tangis. Raka tak mampu lagi membendung air matanya. Dia terus menangis meratapi kemalangan yang sudah menimpanya. Dia menumpahkan segala kesedihan yang sudah tertahan. Tanpa sadar bahwa Rere masih berdiri di sana dan ikut menahan isak tangis menyaksikan semua kesedihannya.
_
Rere sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Sesekali dia tertawa pelan menyaksikan adegan lucu dari film kartun kesayangannya itu. Matanya terus terpaku ke layar televisi hingga terdengar suara ketukan pintu dari luar sana. Rere pun bersikap cuek dan berpura-pura tidak mendengar karena malas membuka pintu.
“Itu tolong buka pintunya, Re,” ucap sang mama dari dapur.
Rere pun bangkit dari kursinya dengan malas lalu segera membukakan pintu.
“Ya ... mau nyari sia—”
Rere langsung terkejut melihat dua orang polisi yang sudah berdiri di hadapannya. Tanpa basa basi mereka langsung memasangkan borgol ke tangan Rere dan segera menyeretnya pergi dari sana. sang mama dan abangnya Revan pun segera berhamburan keluar dengan raut wajah cemas.
“Ada apa ini Pak? Kenapa Bapak membawa Rere?” teriak Revan sambil berusaha pencegah polisi itu.
“Apa yang terjadi Pak? Kenapa Bapak menangkap anak saya?” tanya sang mama dengan wajah rusuh.
“Anak Ibu ditangkap karena sudah terbukti bersalah mencelakakan teman sekolahnya. Bahkan tindakannya sudah bisa masuk dalam kategori pembunuhan berencana.”
“P-embunuhan?” Rere menggeleng pelan. “Nggak! gue bukan pembunuh! Gue bukan pembunuh!” teriaknya.
Rere terus menggelinjang dan berteriak histeris. Tapi kedua polisi itu segera menyeretnya masuk ke dalam mobil. Sang Mama kini sudah menangis berurai air mata. Sementara Revan masih berupaya merauh tangan Rere yang masih menggapai-gapai padanya.
“Aaaah ... aaah ... haaah ....”
Rere terbangun dengan sekujur badannya sudah basah bermandikan peluh. Dia memijit keningnya perlahan dengan napas yang masih memburu. Mimpi buruk barusan benar-benar terasa nyata. Kedua tangannya bahkan kini masih menggigil. Rere benar-benar dihantui rasa bersalahnya terhadap Raka. Perlahan Rere memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan diri. Namun kemudian air matanya kembali jatuh lagi dan lagi.
_
Bersambung …