Tetangga Baru
“Rere ...!!!”
“Rere ... main yuk!”
Rere terbangun karena suara teriakan yang terus memanggil namanya. Dia bangkit menuju jendela kamar, lalu membuka jendela itu dengan mata menyipit karena silau cahaya matahari. Setelah itu Rere mengucek-ucek matanya lalu kembali membukanya pelan. Dia mendengus melihat Adit dan Airin di bawah sana yang sedang melambaikan tangan padanya.
“Re ... ayo buruan!” teriak Airin.
“Gue baru bangun Airiiiiiiin.” Rere menghela napas panjang.
“Ya udah, lo mandi dulu deh,” timpal Adit.
Rere hanya mengangkat jemarinya membentuk tanda OK lalu kembali menutup jendela kamarnya. Aksi cueknya itu membuat Adit dan Airin saling pandang lalu kompak menelan ludah.
“Bisa-bisanya dia nggak nawarin kita buat masuk atau gimana kek,” dengus Adit.
“Perasaan aku jadi nggak enak ... dari kemaren Rere udah nolak soalnya. Apa kita nggak terlalu memaksa dia?” tanya Airin dengan raut wajah cemas.
Adit terdiam sebentar. Setelah itu dia kembali menatap jendela kamar Rere yang sudah tertutup itu.
“Kok kamu malah diem sih,” ujar Airin.
“Hmm ... kita harus bisa bikin Rere balik kayak dulu lagi.” Adit berucap pelan.
Airin mengangguk tanda mengerti. Dia menatap Adit yang kini masih terpaku menatap ke atas sana. Airin bisa melihat binar kekhawatiran mendalam dari sorot mata itu. Kepedulian Adit terhadap Rere membuatnya merasa senang dan sedih secara bersamaan. Dia terus menatap Adit dengan jemari yang memegang tali tas miliknya lebih erat. Airin termangu dalam perasaan aneh yang kini mulai menjalar di hatinya.
“Lo kenapa bengong, Rin”
“Ah ... nggak kok.”
Airin merasakan kedua pipinya mulai terasa panas. Dia segera memalingkan wajahnya dan mulai terlihat gelisah. Adit pun menangkap reaksi tak biasa itu. Dia menatap Airin lekat-lekat. Airin pun menyadari hal itu dan langsung menelan ludah.
“Rin ...” panggil Adit pelan.
Airin terkesiap, detak jantungnya kini berdegup lebih cepat. Apa dia sudah terlalu jelas menunjukkan rasa sukanya? Airin memaki dirinya sendiri di dalam hati. Bagaimana bisa dia bersikap terlalu kentara dan sekarang bagaimana caranya dia bisa lolos dari situasi yang mengerikan ini.
“I-iya ... ada apa?” tanya Airin.
Adit melangkah lebih dekat dengan tarus menatap Airin. Yang ditatap pun semakin grogi lalu refleks mundur selangkah ke belakang. Saat ini wajah Adit begitu dekat dengan wajahnya. Airin menelan ludah. Pembuluh darahnya terasa hendak meledak saat ini.
“A-ada apa?” Airin kembali mengulangi pertanyaannya.
“Lo kentut ya?”
Sepersekian detik Airin terpaku dengan wajah bodohnya. Hingga kemudian kesadarannya kembali dan langsung menyerang Adit dengan membabi buta. Fitnah keji itu terasa begitu menyakitkan hati. Airin tidak henti memukul Adit dengan perasaan kesal, malu dan lega yang kini bercampur aduk di hatinya.
***
“Yah ... kok lo gitu sih, Re.” Adit menampilkan raut wajah kecewa.
“Hmm ... padahal aku udah seneng banget karena mau pergi main hari ini,” timpal Airin.
Rere menggoyangkan jari telunjuknya pelan. “Pokoknya gue nggak mau pergi kemana-mana sekarang. Jadi kalau kalian tetep mau main sama gue ... kita main di sini aja.”
“Gaya lo nggak asyik. Bete gue,” dengus Adit.
“Yah ... Rere, padahal aku udah seneng banget mau pergi main sama kamu hari ini,” sambung Airin.
Rere memejamkan matanya sebentar. “Oke kalau nggak suka kalian pulang aja!” Rere langsung memutar badannya.
“TUNGGU ...!!!” Adit dan Airin berteriak kompak.
“Apa lagi?” tanya Rere.
“Oke deh kita main di sini aja,” ucap Adit.
“Iya ... kita ngikutin kemauan kamu deh,” timpal Airin.
***
Mereka bertiga lalu beralih ke halaman samping rumah Rere. Di sana terdapat sebuah ayunan yang terbuat dari ban bekas yang digantung pada dahan pohon di atasnya. Rere menggelar sebuah tikar di bawah pohon itu lalu sibuk bolak balik mengambil stok makanan dari rumahnya. Sementara Adit kini sedang bermain ayunan dengan memaksa Airin untuk terus mendorongnya dari belakang.
“Aku capek, Dit,” keluh Airin.
“Baru segitu doang. Dorong lebih kuat dong,” sergah Adit.
“Lo jangan nyiksa Airin kayak gitu deh.” Rere membelalakkan matanya menatap Adit.
Airin pun langsung berlari menjauhi Adit dan bersembunyi di balik punggung Rere.
“Huuu ... anaknya udah ngadu sama emaknya,” ledek Adit.
“Udah ah ... yuk makan dulu. Ini gue udah bikinin burger ala kadarnya buat kalian,” ucap Rere.
Pandangan Adit dan Airin langsung tertuju pada seonggok burger berpenampilan seram itu. Cipratan saus di sana terlihat seperti percikan darah. Tumpukan sayur dan daging yang hancur itu terlihat sedikit menjijikkan. Adit dan Airin saling pandang lalu menatap Rere dengan tatapan penuh keraguan.
“I-ini buat di makan?” tanya Adit dengan jemari bergetar menunjuk burger itu.
“Ya iyalah,” jawab Rere.
“Tapi aku nggak suka burger,” kilah Airin.
Rere langsung melayangkan tatapan sengitnya kepada Airin. Itu adalah kebohongan paling bodoh yang pernah dilakukannya. Rere sudah tahu bahwa sejak kecil Airin yang rakus itu sudah menjadikan burger sebagai makanan favoritnya.
“Apa ...? lo nggak suka burger?” tanya Rere dengan tatapan berkilat-kilat.
Rere tersenyum canggung lalu mulai mengambil salah satu burger itu. “C-Cuma becanda kok.”
“Lo kenapa nggak mau makan?” Rere beralih menatap Adit.
“Tau nggak, ngeliat burger ini jadi ngingetin gue sama salah satu episode film Spongebob Squerpants yang berjudul Born Again Krabs,” ucap Adit sambil menelan ludah.
“Lo mau bilang burger gue ini mirip krabby patty? Bagus dong ... semua warga Bikinni Bottom pada suka, iya kan?” tanya Rere.
“Tapi burger lo ini terlihat seperti Rusty Patty yaitu krabby patty yang udah terinfeksi bakteri,” jawab Adit.
“Apa? terinfeksi bakter?” Airin ikut penasaran.
“Iya ... jadi di episode itu, si Spongebob mencoba membuang krabby patty yang sepertinya udah nggak layak buat di konsumsi. Tapi si pelit tuan Krabs nggak ngebolehinnya. Dia takut rugi. Akhirnya si tuan Krabs mencoba sendiri rasa rusty patty itu dan akhirnya ...”
Adit menggantung kalimatnya sambil menatap Rere dan Airin secara bergantian.
“Akhirnya apa?” desak Rere.
“Iya ... terus gimana?” sambung Airin.
Adit menghela napas sejenak. Setelah itu dia menggerakkan jarinya meminta Airin dan Rere untuk lebih dekat. Keduanya pun patuh dan langsung memajukan wajahnya.
“Akhirnya tuan Krabs langsung keracunan dan di bawa ke rumah sakit.”
Pupil mata rere langsung bergetar. Burger yang ada di tangan Airin jatuh ke tanah. Adit pun menyembunyikan senyumnya. Setelah itu Rere langsung bangkit dan mengambil kembali burger buatannya dengan gusar.
“Jangan ngambek dong, Re. Gue cume becanda.” Adit berusaha menahan Rere yang hendak membawa burger fenomenal itu pergi.
“I-iya Re ... aku mau kok makan burger itu,” sambung Airin.
Rere meniup poninya dengan kesal lalu menatap mereka berdua dengan tatapan tajam. “Kalian itu bener-bener nggak bisa ngehar—”
Ucapan Rere terhenti. Mata ketiganya langsung beralih pada rumah yang berada tepat di sebelah rumah Rere. Terlihat sebuah truk memasuki pekarangan rumah itu. Rere mengernyit dan melangkah lebih dekat diikuti oleh Adit dan Airin di belakangnya.
“Rumah itu udah ada yang penghuninya?” tanya Adit.
“Kemaren Mama bilang sih, gitu,” jawab Rere.
“Yah ... kita nggak punya markas lagi dong buat tempat seru-seruan,” ucap Adit.
“Husstt ... emangnya rumah itu dibikin buat tempat mainnya kamu,” ledek Airin.
Mereka terus memerhatikan orang-orang yang mulai sibuk mengeluarkan satu persatu barang dan mengangkutnyake dalam rumah. Setelah itu terlihat seorang pemuda berparas manis keluar dari mobil yang baru saja datang. Rere dan Airin langsung terkesima melihat sosok yang tampan itu.
“Gila ... ganteng banget woy,” ucap Rere histeris.
“Wah ... kamu beruntung Re, punya tetangga mirip oppa korea,” sambung Airin.
Adit mulai jengah melihat tingkah kedua perempuan yang terlambat puber itu. Dia bermaksud untuk meledek mereka berdua. Namun tiba-tiba lidahnya tercekat. Dia menatap nanar pada sosok yang baru keluar dari pintu belakang mobil itu. Airin pun juga langsung terkesiap lalu menutup mulutnya. Sementara Rere terpaku lalu menggeleng tidak percaya. Ketiganya menatap sosok itu lekat-lekat, lalu dengan kompak menyebut namanya.
“RAKA ...!!!”
.
.
.
Rere menjinjit langkah super pelan di balik pagar rumahnya. Kemudian dia bersandar di balik tembok itu sebentar sambil menghirup napas sejenak. Rere masih belum percaya bahwa yang menempati rumah itu adalah Raka. Dia ingin memastikannya sekali lagi. Ini sudah yang ke empat kalinya dia mengintip dari balik tembok pagar pembatas rumahnya. Namun sejauh ini Rere masih belum melihat sosok Raka kembali. Karena itulah dia ingin menengok sekali lagi. Rere mulai menaikkan wajahnya pelan, bersiap untuk memantau situasi di rumah Raka.
“WOAAAA ...!!!”
Rere langsung terkejut dan terjengkang ke belakang. Dia meringis merasakan sakit di bagian bokongnya. Setelah itu Rere kembali menatap sosok yang kini menyembunyikan senyumnya itu. Rere segera memalingkan wajahnya. Dia benar-benar terkejut karena sosok itu tiba-tiba juga muncul menampakkan wajahnya. Sosok itu kini menatap Rere dengan sebelah alis dinaikkan. Rere pun menjadi salah tingkah dan merasa malu karena sudah tertangkap basah.
“Hai ...!” sapa sosok itu ramah.
Rere tidak menjawab dan hanya tersenyum canggung.
“Seharian ini lo udah ngintip sebanyak lima kali,” ucap sosok itu.
Rere tertegun lalu kembali bangkit berdiri. “A-apa ? lima kali? enak aja ... baru empat kali tau,” bantah Rere.
Rere tersadar dan langsung menampar bibirnya. Sementara sosok itu kini tertawa pelan lalu memalingkan wajahnya. Rere pun kini merasa mati gaya. Dia ingin segera pergi dari sana. Namun kedua kakinya terasa bagai terpaku ke tanah. Rere mulai mengipasi wajahnya yang terasa panas dengan telapak tangan. Sementara sosok itu kini tersenyum sambil melipat tangannya.
“Gue David,” ucapnya kemudian.
Rere tertegun lalu berdecak pelan. “Emangnya gue ada minta kenalan?”
“Lalu ngapain lo terus ngintipin gue?” tanya David.
Rere makin shock menghadapi manusia super pede itu. Mulut Rere bersiap untuk memaki. Namun kemudian dia kembali mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Rere tidak ingin terlibat lebih jauh dengan sosok David yang menurutnya terlihat menggelikan itu. Rere hanya menatapnya sekilas lalu segera berbalik badan. Dia terus melangkah pergi. Sementara David masih berteriak-teriak memangginya.
“Hei ... kok lo malah pergi?”
“Nama lo siapa ...?”
Rere bergidik ngeri dan tidak menghiraukan pertanyaan itu. Dia mempercepat langkahnya dan langsung masuk ke dalam rumah. Setelah menutup pintu rapat-rapat, barulah dia menghela napas lega. Rere menyentuh dadanya yang masih berdegup kencang. Kemudian dia kembali mengintip dari balik tirai kaca jendela rumahnya. Rere kembali terkejut. Sosok David masih berdiri di sana dan langsung melambaikan tangan padanya. Rere segera menutup tirai itu dan langsung terpaku dengan mata terbelalak.
“Siapa sih, dia ...?” bisiknya pelan.
***
David sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Sementara Raka kini duduk bersila di hadapannya. David terlihat enggan meninggalkan Raka sendirian. Dia terus menatap sepupunya dengan mata sendu. David masih ingin berlama-lama bermain dengannya, menghiburnya, dan juga mengawasinya.
“Lo pasti lagi natap gue dengan wajah cemberut sekarang?” ucap Raka.
David terkejut. “K-kenapa lo bisa tau?”
Raka tertawa pelan. “Tau dong,” jawabnya.
“Lo bisa ngelihat gue?” pekik David histeris.
“Nggak dodol! itu kan udah kebiasaan lo selama ini,” jawab Raka.
“Eh ... iya ya.” David tersenyum malu.
“Udah nyantai aja ... gue nggak apa-apa kok.” Raka seakan tau isi pikiran David.
David tersenyum tipis. “Besok kalo udah liburan ... gue bakalan dateng ke sini lagi,” ucap David.
“Okeh Brother,” jawab Raka.
Keduanya pun lalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu dengan kembali berbincang panjang lebar. David berjanji akan rajin-rajin menelepon Raka. Namun tawaran mulia itu langsung ditolak Raka mentah-mentah sehingga membuat David kini merasa terluka. David kini merajuk dan tidak bersuara lagi. Sementara Raka masih sibuk memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa.
“Lagian lo ngapain sih nelpon-nelpon gue? emangnya kita ini pasangan yang lagi LDR?” Raka kembali tertawa lebar.
David juga merasa geli, namun dia terus menggoda Raka untuk membuat dia terus tertawa.
“Apa lo udah nggak punya rasa lagi ke gue?” tanya David dengan nada memelas.
Raka langsung mengusap bulu kuduknya yang berdiri lalu melempar David dengan pakaian yang ada di depannya. Gelak tawa mereka pun terdengar riuh. David lega karena bisa melihat Raka tertawa. Raka pun senang karena kekonyolan David membuatnya lupa akan kesedihannya.
“Tapi ini serius lo ... nanti kalo gue udah pergi dan Nyokap lo juga udah berangkat kerja ... lo mau main sama siapa coba?” tanya David.
“Ya elah ... gue bukan anak kecil lagi tau,” jawab Raka.
“Oh iya, lo bisa ngajak temen-temen sekolah lo buat sering-sering main ke sini.” usul David.
“Nggak! gue bahkan nggak mau mereka tau keberadaan gue,” jawab Raka.
David terdiam. Dia mulai merasa tidak enak melihat raut wajah Raka yang berubah murung. Situasi pun mulai terasa canggung. David kebingungan mencari cara untuk mencairkan suasana. Namun kejadian tadi siang kembali membuat ujung bibirnya tertarik. Dia teringat pada sosok Rere yang merupakan tetangga Raka.
“Oh iya, gue lupa cerita sama lo ... kalo di rumah sebelah ada anak cewek yang kayaknya seumuran sama lo,” ucap David.
“Anak cewek? siapa?” tanya Raka dengan kening mengernyit.
“Kalo itu gue belum sempat tau namanya,” jawab David.
“Ya elah, lagian gue nggak butuh temen kok,” ucap Raka.
“Tapi anaknya lucu lo! gue suka tipikal cewek kayak dia.”
“Ya udah, lo aja yang temenan sama dia,” dengus Raka.
David mulai meracau dan menyerang Raka dengan sumpah serapahnya. Sementara Raka kini terdiam memikirkan sosok yang dikatakan oleh David barusan. Walaupun dia mengatakan tidak tertarik, namun sebenarnya dia mulai memikirkannya. Raka tersenyum tipis dan mulai membayangkan jika nanti sosok itu memang menjadi temannya.
***
Rere masih tertegun dalam pekatnya lamunan. Dia masih gelisah di tempat tidurnya. Berbagai posisi tidur sudah dicoba, namun matanya masih belum bisa terpejam. Kenyataan bahwa Raka kini menjadi tetangganya masih menghantui pikirannya. Rere merasa senang dan takut secara bersamaan. Dia senang karena bisa melihat sosok Raka kembali dan dia takut jika Raka mengetahui bahwa mereka sekarang ini bertetangga.
“Gue harus gimana sekarang?” ucap Rere lirih.
Seketika dia langsung bangun dari tempat tidurnya. Rere kembali menatap keluar jendela. Perasaannya saat ini kembali berkecamuk. Keinginan untuk mengakui kesalahannya kembali menggebu-gebu. Rere ingin mengakhiri siksaan batin yang sudah lama di rasakannya sejak menghilangnya Raka. Dia mengangguk pelan sambil mengepalkan telapak tangannya. Mungkin inilah jawaban atas segala tanya. Sekarang adalah waktunya untuk mengungkapkan kenyataan.
Telinga Rere menangkap suara aneh dari lantai bawah. Dia segera menempelkan telinganya ke lantai kayu itu untuk bisa mendengar suara lebih jelas. Suara itu berasal dari kamar Revan yang terletak di lantai bawah kamarnya. Rere kembali menajamkan pendengarannya. Kemudian bola matanya membulat dan langsung menghambur ke kamar Revan dengan hentakan kaki yang kuat.
BRAAAK
Rere mendobrak pintu kamar Revan dengan tendangan mautnya. Sang abang langsung terkejut dan terpaku di kursi tempat dia duduk. Rere kemudian melangkah masuk dengan wajah garang. Tanpa basa-basi dia langsung menatap layar laptop Revan yang masih menyala dan langsung mengotak atik laptop itu dengan tatapan ganas.
“K-kenapa sih, Re?” tanya Revan dengan suara bergetar.
“Gue denger suara aneh barusan dari kamar lo,” jawab Rere.
“Suara aneh apaan?”
Rere menyipitkan matanya lalu meraih kerah baju Revan dengan kasar. “Lo nonton film p***o kan?” tuduh Rere.
Revan langsung terperanjat dan menatap Rere dengan wajah linglung. Dia jelas ingin membantah, namun lidahnya malah terasa kelu. Hal itu membuat kecurigaan Rere semakin menjadi-jadi. Rere kini mulai menyinsing lengan bajunya. Matanya menatap liar mencari benda tumpul yang cocok digunakan untuk mengeksekusi abangnya Revan. Tatapan Rere terhenti saat melihat sebuah tongkat golf di belakang pintu. Dia tersenyum sinis lalu segera mengambil tongkat golf itu lalu mengayun-ayunkannya pelan.
“T-tunggu tunggu! Tunggu dulu ... lo harus dengerin dulu penjelasan gue.” Revan langsung berusaha menyelamatkan dirinya.
“Penjelasan apa, ha?” tanya Rere dengan suara gesekan geraham yang terdengar keras.
“G-gue nggak nonton apa-apa. Gue cume diem aja sambil ngerjain tugas,” jawab Revan.
Rere tersenyum sinis dan langsung mengangkat tongkat golf di tangannya. “Lo pikir gue percaya, ha? Gue denger sendiri kok, suara cewek merintih-rintih.”
“BUKAN GUE RERE ...!” teriak Revan histeris.
“Kalo bukan elo siapa lagi?” bentak Rere.
Revan memicingkan matanya sejenak lalu langsung membuka tirai jendela. Seketika itu juga Rere langsung terdiam, tongkat di genggamannya pun jatuh ke lantai begitu saja. Matanya kini terpaku menatap pemandangan di seberang sana.
“Nah ... dia yang lagi nonton TV dengan volume keras. Udah gitu jendela kaca jendela kamarnya dibuka lagi ... jarak jendela kamar gue sama jendela tetangga itu kan deket.” Revan menjelaskan panjang lebar dengan rasa dongkol yang teramat sangat.
Rere membisu tak bersuara. Dia terus menatap sosok Raka yang terlihat dibalik bingkai jendela kamarnya. Revan masih terus menggerutu, namun Rere sama sekali tidak mendengar ucapannya.
“Ternyata dia lagi nonton film horror,” bisik Rere.
“Makanya jangan asal nuduh ... eh tapi kok aneh ya, TV nya ada di mana ... eh, dianya malah ngehadap ke mana.” Revan menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
.
.
.
Bersambung …