Dari jendela tampak bintang yang bertabur menghiasi malam, cukup indah, tapi tetap gelap. Nadira meringkuk sambil melihat darah yang menempel di punggung tangannya, sisa saat ia mengelap ujung bibir yang terluka.
“Kau sudah puas?” tanya Rangga dengan sinis.
Pria tersebut menyimpan kebencian yang teramat sangat pada perempuan yang berpredikat sebagai istrinya itu. Dia bahkan telah tinggal di apartemen dan tak pernah pulang ke rumah dalam lima tahun terakhir.
Dalam memori Rangga, hanya kebencian dan kebencian yang selalu tersimpan setiap ia melihat Nadira.
Sesekali Nadira terbatuk, hal itu membuat Rangga menoleh ke arahnya. Dia mengerutkan kening, karena tiba-tiba saja batuknya Nadira sama sekali tak mau berhenti dan terus menerus.
Dengan sekali gerakan, Rangga meremas dagu Nadira hingga perempuan itu batuk tanpa sengaja di depannya.
“Lepas,” ujar Nadira sembari memalingkan wajah dan mengusap lagi bibirnya.
Rangga malah tersenyum miring dan tetap memegangi dagu perempuan itu. “Kau sakit?” tanya pria tersebut.
Nadira menatap nanar ke arah suaminya.
Tapi beberapa detik kemudian, Rangga berkata lagi sembari mencibir istrinya. “Apa kau berharap aku percaya dan peduli padamu? Kau ingin aku mengkhawatirkan dirimu?” tanya Rangga sekali lagi.
‘Uhuk!’ Kali ini Nadira benar-benar batuk dengan keras. Dia menepis tangan Rangga dengan paksa.
Jangankan menimpali ucapan pria yang merendahkannya, Nadira benar-benar tak bisa menahan batuk yang begitu menyakitkan.
Dia terus menerus batuk, sampai Rangga melihat bercak merah di atas selimut mereka.
“Kau bahkan sampai menyiapkan semuanya agar aku kasihan padamu, ya?” cibir pria itu lagi.
Tapi saat itu, Nadira tak merespons. Perempuan tersebut malah berbalik membelakangi Rangga dan dia meredakan batuknya dengan mengusap-usap area rusuk yang terasa sakit.
Pria yang penuh kebencian itu merasakan sesuatu saat melihat punggung polos yang membelakanginya tersebut sedang berusaha menenangkan batuk. Dia pun mendekat dan tangannya hampir menyentuh bahu Nadira.
“Sebenarnya ... aku ....” Mulutnya terbuka dan ia hendak menceritakan pasal penyakit yang ia derita.
Namun ternyata sebuah panggilan telepon membuat ponsel di atas nakas berdering.
Raut wajah Rangga kembali berubah, dia melihat foto profil seorang pria yang muncul dalam panggilan tersebut. Rasa setitik iba yang tadinya muncul langsung menguap begitu saja dan kebencian itu kembali merasuk dalam hati.
“Besok kau harus datang ke sidang perceraian kita di pengadilan agama. Kau harus menepati janjimu!” tutur Rangga yang langsung berdiri dari ranjang dan meninggalkan sang istri.
Nadira yang belum sempat berkata apa-apa pada sang suami itu merasakan sedikit sesal. Tapi ia juga berpikir, jika bicara pun tak ada gunanya.
Dia menengok pada ponselnya yang berhenti berdering dan juga punggung sang suami yang pergi secara bergantian.
Dalam hatinya, dia menyesal karena tak bisa menjelaskan apa-apa pada Rangga dan pria itu pergi dengan banyak kesalahpahaman terhadap Nadira.
*
“Apa kau menangis?” tanya seorang anak lelaki dalam ingatan Nadira.
Anak lelaki itu seumur dengannya dan dia menawarkan sesuatu untuk menghibur Nadira yang baru saja terjatuh dari sepeda.
“Aku tidak menangis! Mataku terkena debu, aku hanya berair mata! Tapi tidak menangis!” Nadira kecil bersikeras menyangkal.
Si anak lelaki itu menatap Nadira dengan penuh senyum. Lalu ia menyodorkan sesuatu. “Permen ini untukmu!” Dia menawarkan sebuah permen jeli rasa stroberi dengan bentuk hati berwarna merah muda.
“Untukku?”
Anak lelaki itu mengangguk.
“Terima kasih, Rangga!” jawab Nadira kecil dengan senyumnya yang lebar.
Nadira tak pernah melihat Rangga sebagai seorang pria. Rangga hanyalah seorang anak lelaki kecil yang sebaya dengannya dan selalu menghadiahi Nadira dengan sebuah permen hati rasa stroberi.
Entah sudah berapa kali Nadira menerima permen itu, hingga akhirnya camilan dengan warna merah muda tersebut menjadi favoritnya.
“Kau tidak ingin membeli ini? Bukankah kau sangat menyukainya?” tanya Rangga menunjuk pada bungkus permen hati tersebut saat keduanya berada di sebuah minimarket.
Tapi Nadira menggeleng.
“Aku pikir kau menyukai permen ini, tapi kau malah membeli yang lain,” ujar Rangga lagi.
“Aku tidak akan pernah membeli permen itu! Karena jika aku punya permen jeli tersebut, maka kau tidak akan memberi lagi permen padaku.” Saat itu, Nadira menimpali dengan cara menggemaskan.
Rangga pun tertawa, lalu ia membeli banyak permen yang sama. “Kalau begitu, biar aku yang membelinya!”
Dari mulai mereka dengan seragam putih-merah, hingga akhirnya mereka mengisi tahun putih-abu. Keduanya adalah teman yang sangat dekat, saling membantu, saling menghibur, dan saling mengisi.
Tapi entah kenapa, takdir yang menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan, membuat keduanya semakin jauh dan saling membenci.
*
“Apakah menikah denganmu adalah pilihan yang salah,” gumam Nadira sambil menitikkan air mata saat ia membayangkan masa kecil mereka. Saat ini sudah tak ada lagi Rangga yang akan memberinya permen jeli bentuk hati rasa stroberi saat ia menangis. Karena pria itulah justru yang selalu menjadi sebab sumber tangisnya.
Nadira merasakan dadanya sesak lagi, dia mengusap-usap bagian rusuk kanan yang sakit.
‘Uhuk! Uhuk!’ Dia kembali batuk dengan cukup keras. Tapi kali ini, Nadira kembali mendapati ponselnya berdering sekali lagi.
Sebuah panggilan video dari orang yang sebelumnya.
Namun Nadira masih terus batuk, tangan kirinya meraba nakas dan berhasil mengambil ponsel itu. Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk menutup mulut yang sedang batuk-batuk.
Dengan sebelah tangan, Nadira pun menolak panggilan dari kontak yang ia beri nama ‘Dokter Danish’ tersebut.
Akan tetapi, saat itu juga dia mendapatkan sebuah pesan.
[Angkat telepon dariku, Nadira! Rio masuk ruang ICU!] ~ Dokter Danish.
Walau ia sedang batuk parah, tapi akhirnya Nadira berlari ke arah kamar mandi. Dia segera mengangkat panggilan video yang ia terima.
Dari seberang tak terdengar suara apa pun, tapi layar panggilan video menunjukkan pemandangan seorang anak kecil yang berbaring di ruang ICU.
Hal tersebut membuat Nadira menangis dan putus asa. “Rio ....” Nadira mengucapkan dengan lirih sambil mengusap layar ponselnya.
Air matanya kembali mengalir sambil terus menatap bagaimana selang dan kabel-kabel dari mesin kesehatan itu terhubung pada tubuh anak kecil itu.
“Kita pasti bisa menyembuhkan Rio! Kau yang tabah, ya!” pinta pria dari seberang panggilan tersebut yang tak lain adalah seorang dokter spesialis.
“Terima kasih, Dok!”
“Nadira, aku menyarankan agar kau segera memberikan sel punca untuk anakmu jika kau tak ingin dia menjalani kemoterapi.”
Mendengar itu Nadira hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Kau dan suamimu ... pasti bisa melakukannya,” timpal sang dokter dengan suara yang agak ragu. Dia menguatkan Nadira, tapi dia juga sebenarnya tahu bagaimana hubungan perempuan Nadira dengan suaminya.
Saat Nadira sedang bersedih melihat nasib sang anak di ruang ICU melalui panggilan telepon. Mendadak pintu kamar mandi pun didobrak.
‘Brak!’
Mata yang merah menyala menatap Nadira dengan penuh kemarahan.
“Ra ... Rangga ...,” lirihnya.
Saat itu juga pria tersebut mencibir. “Kau dan pria itu, ternyata ....”