Bagian 1

1209 Words
Laporan tes laboratorium menunjukkan jika hormon kehamilan dalam darah seorang perempuan begitu rendah. Ia merasa ini adalah harapan terakhir baginya, tapi semua tampak sia-sia. “Aku masih belum hamil juga ...,” ujarnya dengan lirih sembari menatap terus alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan hasil tersebut. Dia tidak bodoh, bagaimana bisa dia hamil sementara ia tak pernah tidur dengan sang suami? Perempuan itu duduk di sebuah ranjang rumah sakit. Tirai dan seprai semua serba putih, aroma khas dari obat-obatan juga tercium, dia menatap jendela dari tempatnya. Perlahan, tatapannya memudar. “Bu Nadira?” panggil seorang perawat padanya. Segera ia mengusap air mata dan membetulkan kembali penampilannya. “Iya.” “Dokter telah menunggu Anda.” Nadira pun berdiri, ia menyingkap tirai lebih lebar dan keluar dari bilik tersebut. Perlahan ia mengikuti perawat menuju sebuah ruangan lain. Di sana ia berhadapan dengan seorang pria mengenakan jas putih yang tersenyum hangat padanya. “Jadi bagaimana keadaannya, Dok!” “Tidak ada jalan lain, kita harus segera melakukan kemoterapi untuk bisa menyelamatkan Anda,” jawab sang dokter yang juga menunjukkan jika dirinya iba pada Nadira. Akan tetapi, Nadira menggelengkan kepala. “Tidak! Jangan kemoterapi, Dok! Itu ... itu akan sangat ....” Dia tak sanggup melanjutkan lagi kata-katanya. Sang dokter menghela napas. “Saya mengerti, kemoterapi memang memiliki efek samping yang menyakitkan. Tapi tak ada jalan lain, kecuali Anda mendapatkan donor tulang belakang seperti yang sudah kita bahas!” Nadira berusaha menghentikan tangis, ia selalu mencoba untuk tegar atas semua cobaan ini. Namun kali ini ia begitu sesak, napasnya tersendat, dan sesekali ia juga terbatuk. “Jika Anda setuju, kita akan segera membuat jadwal kemoterapinya,” tutur dokter tersebut lagi. Tapi Nadira tetap menggeleng. “Apakah Anda serius ingin hamil saat ini?” tanya sang dokter dengan wajah sedikit melas sekarang. Nadira mengangguk dengan mantap. “Saya ingin segera hamil, Dok! Permisi!” “Tapi ....” Tanpa menunggu jawaban dari sang dokter, Nadira berjalan pergi meninggalkan ruangan. Ia menyusuri lorong rumah sakit sambil membaca beberapa jurnal kesehatan dari ponselnya. Perempuan itu begitu serius, dia berjalan merapat tembok, menggigiti ibu jari kanannya sesekali sambil menggeser-geser layar. [TERAPI SEL PUNCA UNTUK PENYEMBUHAN SEL KANKER] [SEL PUNCA DARI TALI PUSAT BAYI BARU LAHIR DIPERCAYA BISA MENYEMBUHKAN PENYAKIT MEMATIKAN SEPERTI CANCER] “Tali pusat bayi baru lahir,” gumamnya sambil melepas gigitan pada kuku di ibu jari kanan. Kali ini dia sampai di bagian registrasi dan ruang tunggu pasien rumah sakit. Beberapa meter lagi ia keluar dari bangunan tersebut. Hiruk pikuk orang-orang dengan wajah lesu sambil menunggu panggilan dokter kini ada di mata Nadira. Tapi perempuan itu, berbalik. “Aku harus menemui dokter fertilisasi sekarang!” ** “Suntikan ini adalah hormon untuk memecahkan sel telur Anda yang sudah matang, jadi agar Anda bisa lekas hamil, maka sebaiknya Anda dan suami agar segera melakukannya nanti malam. Kalau bisa, dua sampai tiga hari ke depan sebaiknya kalian tetap melakukannya.” Nadira kini duduk di bangku belakang taksi. Dia melamun sambil menatap rintik-rintik hujan yang membasahi jendela mobil tersebut. Perkataan sang perawat saat ia bertemu dengan dokter ahli fertilisasi itu teringat lagi dalam benaknya. “Huuft,” keluhnya sambil mengembuskan napas. “Apa terlalu dingin? Saya akan matikan AC kalau begitu?” tutur sang sopir taksi. Dia menafsirkan keluhan dari Nadira itu karena perempuan tersebut sedang kedinginan. Nadira tidak menjawab apa-apa. Tapi dia merasakan jika embusan udara dingin dari arah depan dan atasnya kini berhenti. “Cuacanya memang sedang dingin, di luar hujan. Maaf saya tidak matikan AC-nya sejak awal,” tutur sang sopir. Mendengar hal tersebut, Nadira hanya menunjukkan senyum simpul. “Bahkan sopir taksi pun meminta maaf saat suhu dalam mobil terlalu dingin, tapi kenapa dia tak pernah merasa bersalah atas sikap dinginnya padaku selama ini?” batin Nadira. Dia mengeluarkan ponsel dari tas, lalu segera mencari sebuah kontak dengan nama ‘Rangga’. ‘Tuuut ...! Tuuut ...!’ Nada dering terdengar. Panggilan tersambung, tapi tak diangkat. Nadira mencobanya sekali lagi. ‘Tuuut ...!’ Masih dengan respons yang sama. Ia coba lagi! Sekali lagi! Tak peduli apa yang akan dikatakan pria tersebut. Tapi Nadira tetap akan terus mengganggunya dengan satu tujuan. “Aku akan hamil! Aku harus dapatkan sel punca itu!” tekad Nadira dalam hati. Dia pun memanggil pria itu sekali lagi. Dan kini .... “Halo?” Suara bas terdengar dari seberang. “Rangga ....” “Kenapa kau menelepon lagi padaku? Aku tidak mau mendengar kau menolak untuk hadir di persidangan besok!” Nadira menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya. “Malam ini ... tidurlah di rumah,” ucapnya dengan nada yang tenang. Ia seakan tak peduli dengan ucapan meremehkan yang keluar dari mulut pria tersebut. “Kau gila?” Nadira sudah bisa mengira reaksi dari suaminya, tapi ia tak menggubris itu. Apalagi saat ia sadar jika taksi yang ia naiki telah berhenti pada titik tujuan. Nadira segera keluar dari mobil tersebut dan berlari kecil untuk menghindari gerimis. “Halo?” Pria di seberang memanggil lagi. Nadira kini telah berada di depan rumahnya. Bajunya sedikit basah karena gerimis, lalu ia mengarahkan lagi telepon ke telinga. “Rangga! Tidurlah denganku atau aku akan menggagalkan sidang perceraian kita!” ancam Nadira. Suaranya agak bergetar, tapi dari sana ia menunjukkan ketegasan dan kesungguhan. “Berani-beraninya ka ....” Nadira langsung mengakhiri panggilan. Dia tampak tegas di saat hati yang sesungguhnya sedang rapuh. Dia bisa memberi ancaman, walau sebenarnya ia sedang menahan air mata. Dia harus melahirkan anak dari sang suami, di saat pria tersebut ingin bercerai darinya. ** Malam itu Nadira langsung membersihkan diri. Dia mengeringkan rambut yang habis ia cuci menggunakan pengering sebelum nantinya dia mengganti bathrobe dengan baju tidur. Perempuan itu menatap pada jam beker di atas nakas. 20:00 “Masih pukul delapan,” gumamnya sambil terus mengarahkan pengering ke rambut dan menyisir setiap helai panjang tersebut. ‘Tok! Tok! Tok!’ Samar, suara dari ketukan pintu kamar terdengar. Nadira masih belum bisa mendengarnya, karena suara pengering rambut yang berdengung dekat telinga. Kemudian suara ketukan itu terdengar lagi. “Siapa?” jawab Nadira sambil mematikan alat tersebut dan menyimpan di atas meja rias. Tak ada jawaban, tapi sekali lagi suara ketukan pintu terdengar. Kali ini dia pun berdiri dan menghampiri pintu untuk membukanya. ‘Klek!’ Bunyi tuas pintu yang ia putar. Sedetik kemudian, Nadira merasakan tubuhnya didorong dengan keras oleh sebuah kekuatan ditambah ciuman yang mendadak menabrak bibirnya dengan cara yang kasar. “Emmmh!” Nadira meronta ingin mendorong pria tersebut, tapi sayang tenaganya kalah. ‘Blam!’ Pria yang menggagahi Nadira dengan kasar itu menendang pintu kamar menggunakan kaki hingga tertutup dengan suara yang keras. Sementara perempuan tersebut ingin kembali meraih gagang untuk kabur. “Diam kau!” ujar pria tersebut sembari menahan kedua tangan Nadira di atas. “Rang ... ga ....” Nadira menggumam lirih menyebut nama pria tersebut. “Bukankah ini yang kamu mau?” tanya Rangga sambil menciumi seluruh tubuh Nadira dengan brutal. Nadira menggeleng, karena ia tak mau diperlakukan secara kasar oleh sang suami. Tapi tiba-tiba .... ‘Breeeek!’ Kimono handuk yang ia kenakan tersobek dan menampilkan tubuh indah perempuan tersebut tanpa sehelai benang pun. Rangga menggauli istrinya tanpa ampun walau perempuan tersebut menangis tersedu. Sambil melakukan itu, pria tersebut membisikkan sebuah kalimat menyakitkan di telinga Nadira. “Kautahu, ini adalah cara rendahan untuk mengemis cinta dari seorang pria.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD