Bab 7. Sarapan Bersama

1062 Words
Mutiara keluar dari kamar mandi di dalam kamar Elfan. Tentu saja itu sudah menjadi kamar mereka berdua sekarang. Begitu Mutiara sudah berada di area kamar, ia melihat bi Sumi sudah berdiri menunggunya. "Pagi, Nona," sapa bi Sumi pada Mutiara. "Pa ... pagi, Bi," jawab Mutiara setengah terhenyak melihat bi Sumi. "Anda sudah ditunggu di ruang makan bawah, Nona." "A ... aku?!" "Iya, Nona. Tuan besar tidak mau sarapan kalau keluarganya tidak lengkap. Sekarang, Anda sudah jadi bagian dari keluarga ini, Nona," kata bi Sumi. Mutiara pun mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Iya, Bi. Kalau begitu aku turun sekarang, ya," jawab Mutiara. "Mari, Non." Bi Sumi kembali berjalan keluar kamar. Mutiara mengikutinya dari belakang. Saat berjalan, Mutiara memegangi leher bagian belakangnya yang terasa tegang. Meskipun ia tidur di sofa yang empuk, dan di kamar yang amat luas, tetap saja ia tidak bisa tidur pulas. Sehingga ia bangun kesiangan hari ini. Tentu saja karena ia masih susah beradaptasi dengan dirinya. "Silahkan, Nona," kata bi Sumi yang sudah sampai di ruang makan. Mutiara tercengang melihat meja makan yang sangat penuh. Padahal di meja makan hanya ada sang kakek dan Elfan. Namun, kenapa meja makannya banyak sekali hidangan yang beragam dan bervariasi? "Mutiara? Kamu sudah datang? Ayo, duduklah," pinta sang kakek dengan sabar. "I ... iya, Kek," jawab Mutiara canggung. Mutiara menempatkan diri duduk di depan Elfan. Saat baru duduk, Elfan melihat ke arahnya dengan tatapan sebal. Seperti meng-isyaratkan sebuah kekesalan. Membuat Mutiara heran dan penasaran apa artinya? Setelah itu, Elfan kembali memperhatikan ponselnya. "Dasar bocah! Kenapa lama sekali? Apa dia tidak tahu kalau aku harus bekerja pagi hari ini!" gumam Elfan pelan seolah sedang berbicara sendiri. Namun, tentu saja sangat kakek dan Mutiara bisa mendengarnya. "Oooh ...! Jadi ini yang membuatnya marah padaku? Karena aku bangun kesiangan? Lalu kenapa tadi malam tidak memberitahuku dulu?! Siapa yang tahu kalau aku juga harus mengikuti ritual sarapan bersama seperti ini di keluarga kaya?! Dasar egois! Apa jangan-jangan dia sengaja membuatku kelihatan jelek di mata Kakek?!" gerutu Mutiara dalam hati untuk Elfan. "Sudahlah. Kenapa kau buru-buru sekali ke kantor? Di kantor sedang tidak ada kerjaan, kok," kata sang kakek. "Tapi, Kek! Ini sudah sangat siang!" jawab Elfan. "Kalau begitu kenapa kau tidak membangunkan istrimu?" ujar sang kakek. Mutiara pun langsung menyalakan kedua mata. "Iya! Kenapa tidak membangunkanku?" ujar Mutiara mencari pembelaan. Elfan pun menoleh ke arah Mutiara. Ia hanya mendesah kasar. Ia lalu memutar kedua bola matanya sebal. Ia sadar kalau kakek berpihak pada Mutiara. Sehingga apa lagi yang harus diperbuatnya? "Dasar penjilat!" gumam Elfan dalam hati kesal. Elfan tidak akan lagi mampu berbicara apa pun kalau kakeknya sudah begitu. Hanya menahan emosi dan kembali melihat ponsel miliknya. Sang kakek lalu kembali menoleh ke arah Mutiara. "Mutiara?" panggil sang kakek. "Iya, Kek?" "Siapa nama panjangmu?" "Saya, Mutiara Mega, Kek." "Mulai sekarang, kamu sudah menjadi Mutiara Adiwijaya." "I ... iya, Kek," jawab Mutiara canggung dan salah tingkah. "Eeemm ... Kakek bisa memanggil saya, Mutia saja boleh, Kek," tambah Mutiara lagi. "Baiklah," jawab sang kakek sembari menganggukkan satu kepalanya. "Minumlah dulu. Baiknya minum sebelum makan," pinta kakek. "Baik, Kek." Mutiara lalu meminum minuman yang sudah tersedia di depannya. "Oh iya! Aku ingin bertanya pada kalian," ujar sang kakek. Membuat Elfan kembali menoleh ke arah kakeknya. "Bagaimana malam pertama kalian? Apa berjalan lancar?" tanya kakeknya. Mutiara yang sedang menyeruput air itu langsung tersedak. Ia terbatuk-batuk karena pertanyaan kakeknya itu. Sedang Elfan hanya mendengus pelan melihat tingkah istrinya itu. "Dasar bocah!" gumam Elfan dalam hati lagi. "Ah! Maaf, kakek seharusnya tidak bertanya soal itu, ya. Tidak mungkin juga kalian menceritakannya pada kakek, kan?" kata kakeknya lagi dengan senyum menggoda. Mutiara semakin tercekat mendengarnya. Ia semakin melebarkan kedua matanya dan wajahnya semakin memerah. Bagaimana kakeknya bisa bertanya hal demikian?! Membuat Mutiara semakin terdiam dan sangat malu dibuatnya. "Dia tidak ingat apa-apa. Dia hanya tidur seperti babi. Bahkan, dia terdengar mendengkur tadi malam," sahut Elfan. Mutiara pun langsung menatap ke arah Elfan cepat dengan menautkan kedua alisnya. "Apa?! Tidak mungkin! Aku tidak pernah mendengkur saat tidur!" balas Mutiara. "Kamu mana tahu? Kamu, kan sedang tidur!" "Sudah ... sudah. Kalian tidak perlu beradu mulut. Kakek senang kalau memang kamu sudah betah di sini, Mutia," ujar kakeknya. Mutiara pun hanya kembali tersenyum canggung menanggapi kalimat kakeknya. "Betah apanya? Sehari saja sudah membuatku stres! Apalagi berada dalam satu ruangan bersama Om-om tidak tahu diri seperti dia!" umpat Mutiara dalam hati, tertuju ke arah Elfan. "Oh iya, Mutia. Biarkan kakek lebih mengenalmu lagi. Sebelumnya, kegiatanmu apa di rumah?" tanya sang kakek. "Saya hanya bekerja di restoran om dan tante saya, Kek." "Bekerja?! Apa maksudmu? Bukankah kamu keluarga mereka? Apa kamu digaji?" "Tidak, Kek. Justru karena saya dari kecil sudah ikut om dan tante saya, jadi saya membantu bekerja di restoran mereka sebagai balas jasa," jelas Mutiara. "Oooh ... begitu rupanya," kata kakeknya mengangguk-anggukkan kepala pelan. "Sekarang kamu tidak perlu bekerja lagi. Oh iya! Ini, kartu kredit untukmu. Kamu gunakanlah untuk keperluanmu, ya." Sang kakek memberikan sebuah kartu kredit untuk Mutiara. "Tidak, Kek! Tidak perlu. Saya masih bisa memenuhi kebutuhan saya sendiri, kok!" sanggah Mutiara sopan. "Tidak apa-apa. Lagi pula, ini tidak seberapa. Kalau kurang bilang lagi saja sama Kakek, ya." "Tidak, Kek. Tidak perlu! Saya—" "Sudahlah! Ini perintah, Mutia!" potong kakeknya. "Lagi pula, kamu sudah menjadi bagian keluarga ini. Jadi, ini untukmu. Kakek memaksamu," kata kakeknya dengan nada sabar. Mutiara jadi bingung dengan permintaan kakek. Ia lalu melihat ke arah Elfan. Elfan menyantap sarapannya dengan masih berfokus pada ponselnya. Ia nampak tidak peduli sama sekali. Membuat Mutiara menautkan kedua alis. "Entah apa yang dipikirkannya sekarang ini?" gumam Mutiara tertuju pada Elfan. "Mutia?!" panggil kakeknya lagi. Membuat Mutiara terhenyak dan kembali fokus pada kakeknya. "Kenapa kamu malah melamun? Ambillah kartu kredit itu," pinta kakeknya sekali lagi. Mutiara kembali menghela nafas kembali. Mau bagaimana lagi? Ia pun tidak bisa menolak kebaikan dari kakeknya itu. Sehingga ia pun mengambil kartu kredit yang disodorkan sang kakek untuknya. "Terima kasih, Kek," kata Mutiara. Ia kemudian kembali mulai memakan makanannya. "Kek, aku pergi dulu!" kata Elfan membuat kakeknya dan Mutiara kembali melihatnya. "Mau ke mana kau?" tanya sang Kakek. "Ke mana lagi? Tentu saja aku akan bekerja, Kek!" "Sudah! Hari ini kau tidak perlu bekerja." "Apa maksud Kakek?! Hari ini aku harus mengawasi para staff di produksi." "Tadi aku sudah bilang pada Sam untuk mengurusnya." "Kenapa memangnya?" "Karena kau harus pergi bulan madu dengan Mutia," jawab kakeknya. Elfan dan Mutiara sama-sama langsung terkejut mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD