1

1016 Words
Elias Kermitt bergeming menatap pemukaan meja. Gelas kopi ketiga yang tergeletak di atas sana dibiarkan terbengkalai. Uap-nya hilang sejak beberapa menit yang lalu, menyisakan air dingin yang enggan untuk disentuh. Keheningan mendominasi seisi ruangan, satu-satunya suara yang terdengar hanya suara berderak ranting yang mengetuk permukaan kaca jendela. Angin berdesau keras sore itu seolah sedang berebut masuk melewati lubang ventilasi udara di atas jendela. Beberapa daun kering yang berguguran menyelimuti pekarangannya. Pagar kayu di luar sana mengeluarkan suara deritan yang aneh ketika mengayun terbuka dan suara lolongan anjing terdengar dari balik pagar rumah bercat putih milik tetangga. Elias baru menempati rumah itu selama kurang dari dua belas jam. Ia belum sempat mengeluarkan sejumlah barang dari dalam kardus dan membersihkan debu yang menyelimuti setiap sudut tempat. Akibatnya, kardus-kardus itu dibiarkan tergeletak begitu saja di tengah ruangan. Beberapa barang dari dalam kardus yang terbuka kini berserakan di atas lantai. Elias sengaja mengeluarkan barang-barang itu untuk menemukan cangkir dan mesin pemanas kopinya. Setelah petugas pengakut barang selesai mengangkut kardus terakhir dan berpamitan untuk pergi tiga jam yang lalu, Elias hanya duduk di dapur, membuat kopi sembari melamun memandangi jarum jam. Ketika hawa dingin mulai menyergapnya, Elias menekuk tubuh di atas meja kemudian memejamkan mata. Sempat terpikir olehnya untuk tidur. Kedua matanya kelelahan, Elias tidak tertidur selama hampir dua malam. Tapi kemudian dengungan yang samar kembali muncul kembali di kepalanya. Ketika mendengarnya, Elias berusaha untuk tidak terganggu. Ia hendak mengusir suara itu dengan mengabaikannya, namun bukannya hilang dengungannya justru semakin keras sebelum berubah menjadi suara lengkingan aneh yang memekakan telinga. “Sial! Pergi..” Lengkingan itu hilang dalam sekejap bersamaan dengan kemunculan suara deringan ponselnya di atas meja. Tubuhnya tersentak di atas kursi karena kaget. Butuh beberapa detik baginya untuk memulihkan diri. Kemudian Elias menatap layar ponsel dan memutuskan untuk menerima panggilan itu. “Ty?” Elias sempat berpikir bahwa itu adalah panggilan salah sambung, tapi kemudian teringat kalau wanita yang meneleponnya suka memanggilnya dengan nama itu. “Ini aku,” sahut Elias akhirnya. Dalam beberapa detik, Elias berhasil mengendurkan bahunya. Ketegangannya pergi begitu saja, tapi satu-satunya hal yang mengganggunya sekarang adalah suara wanita di seberang telepon itu. “Kenapa kau tidak menghubungiku?” “Aku sedang sibuk saat ini.” “Kau bercanda? Kapan kau tidak sibuk?” “Aku sudah bilang aku akan menghubungimu nanti.” “Ya, dan kapan itu?” Wanita itu suka menuntut. “Aku tidak tahu, saat semua urusanku sudah selesai.” “Urusan apa?” Merasa kesal, Elias memejamkan matanya sembari mengatur nafas. “Dengar, aku tidak bisa menjelaskannya padamu. Aku hanya..” “Kenapa tidak mencoba?” Wanita itu bersikeras, namun berbicara dengannya adalah hal terakhir yang ingin dilakukan Elias saat itu. Meskipun tidak yakin apa yang hendak dilakukannya pagi itu, Elias tidak berencana untuk berbicara dengannya. “Aku bilang nanti. Kurasa kau tidak mengerti..” “Aku memang tidak mengerti, berengsek! Ini sudah tiga hari! Tiga hari kau tidak menghubungiku. Kau bilang kau mau menghubungiku kemarin, tapi kau bilang kau ketiduran. Sekarang aku menghubungimu dan kau bilang kau tidak bisa bicara sampai urusanmu selesai..” “Hei.. hei..” potong Elias, “pelankan suaramu, oke? Ini tidak akan berhasil jika kau..” “Diam! Kau berengsek!” sela wanita itu dengan kasar. “Mungkin Mary benar, mungkin kau memang gila.” Mendengar kalimat itu disebutkan, Elias merasakan darahnya berdesir cepat. Jantungnya terpompa kuat. Kini punggungnya menegak dengan kaku di atas kursi kayu yang mulai terasa mengecil. Lengannya bergeser di atas meja hingga menyikut gelas kopi yang tergeletak di sana. Akibatnya, gelas itu nyaris jatuh ke atas lantai sebelum Elias berhasil menangkapnya dengan cepat. Namun demikian, ia tidak dapat mencegah cairan kopi tumpah membasahi permukaan meja, kemudian mengalir jatuh ke atas jinsnya. “Sialan!” “Apa?” teriakkan itu terdengar dari seberang telepon. “Tidak, aku tidak bisa bicara denganmu sekarang.” “Kau pikir aku ingin bicara denganmu lagi? Dengar..” Darahnya mendidih. Ia naik pitam. Elias tidak dapat menoleransi satu kalimat kasar lagi. Pikirnya hari itu sudah cukup melelahkan, ia tidak membutuhkan hal lain untuk merusak harinya - terutama wanita itu. “Persetan denganmu!” “Ty..” Elias memutus sambungan telepon itu dengan cepat, bergerak menuju wastafel untuk membersihkan noda kopi pada pakaiannya hingga suara deringan ponselnya kembali terdengar, kali ini seseorang dari rumah sakit yang menghubunginya. Karena terburu-buru, Elias belum sempai mengeringkan tangannya yang basah hingga ponsel nyaris terjatuh dari genggamannya, tapi kemudian suara keras seorang pria yang menyapanya muncul di seberang telepon. “Elias Kirmett?” pria itu terdengar ragu-ragu. Ada sesuatu yang aneh dari cara pria itu menyebutkan namanya. Mungkin karena aksennya yang terdengar asing, pikir Elias. Pria ini memiliki aksen spayol yang khas. “Kermit, ya..” Elias membenarkan. “Ini aku.” “Maaf ejaanku salah.” “Tidak masalah.” “Amos Santiago. Aku menerima pesanmu sejak kemarin, maaf aku belum sempat membalasnya, agak sedikit sibuk, jadi kuputuskan untuk menghubungimu saja.” “Tidak apa.” Hening sejenak. Keheningan itu terasa mencekam selagi ia menunggu. Elias terpikir untuk mengucapkan sesuatu, tapi kemudian suara pria itu menyerbu dengan cepat. “Jadi, kau bisa datang hari ini? Jadwalnya seharusnya besok, tapi besok ada kebijakan baru. Sebagian pasien akan dipindahkan ke bangsal lain dan para perawat akan sibuk..” “Tentu saja,” sela Elias dengan cepat. “Aku bisa datang hari ini.” “Bagus.” “Pukul berapa aku bisa datang?” “Lebih cepat lebih baik. Sekarang – jika kau bisa?” Elias menatap kekacauan di sekitar ruangan: tumpahan kopi masih menggenang di atas lantai, belum lagi pakaiannya yang kotor, barang-barang di dalam kardus yang menunggu untuk dirapikan, dan ia baru teringat mesin air yang meski di perbaiki. Baru terpikirkan Elias menghabiskan tiga jam yang sia-sia dengan duduk melamun di dapur tanpa melakukan apa-apa. Tapi ia telah menunggu satu tahun lamanya untuk mendapat kesempatan itu. Tepat ketika momen itu tiba di hadapannya, Elias tidak dapat menyia-nyiakannya begitu saja. “Tentu saja. Aku akan kesana sekarang,” Elias melirik arlojinya. “Dua puluh menit lagi aku sampai.” Amos menghela nafas, seolah-olah mengetahui hal itu membuatnya lega. “Baik, berhati-hatilah.” Sambungan telepon diputus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD