Hari itu, Puput mengenakan pakaian yang menurutnya paling sederhana, celana panjang kain bermodel Bootcut berwarna khaki, dipadu dengan blouse pink samar. Tapi, tetap saja terlihat modis bahkan justru cenderung elegan.
"Mau kemana kamu? Bukannya sudah tidak bekerja?" tanya sang ibu dengan tatapan melas. Jika putrinya tidak bekerja, bukankah beban hidup akan lebih berat?
"Mau cari kerja, Ma," jawab Puput sambil menarik kursi meja makan dan duduk di atasnya.
Di atas meja hanya terhidang nasi putih dan tiga telur ceplok serta sebotol kecil kecap. "Ma, cuma ini sarapannya?" tanya Puput merasa tidak berselera.
"Mama buatin nasi goreng ya, dipakein telur, mau?" Wanita itu menawarkan pilihan lain.
"Gak usahlah, Ma. Tak apa, ini saja," sahutnya sambil menyenduk nasi dan mengambil telur ceplok.
Perasaan Puput tidak enak. Rasa bersalahnya mulai timbul. Kehidupan orang tuanya sangat sederhana dalam keterbatasan mereka. Sedangkan dirinya terus menerus membelanjakan uang yang harusnya bisa untuk menopang hidup orang tuanya dengan layak. Selama empat bulan terakhir, dia selalu dijamu dengan makanan enak dan mewah di mansion Aldi.
Ia segera menghabiskan sarapan paginya agar tidak menjatuhkan air mata di sana.
"Kok buru-buru? Pelan-pelan, Nak. Nanti keselek loh," tegur wanita itu.
"Puput harus dari pagi, Ma. Jalan dulu ya, sampaikan pamit pada Papa," ujar Puput sambil beranjak tergesa meninggalkan rumah.
Ia melangkah cepat-cepat menyusuri trotoar menuju ujung jalan. Di sana ada konter ATM yang mungkin saja masih ada saldo yang bisa ditariknya. Ia membutuhkan uang untuk pegangan dan ongkos angkutan kota atau sekedar membeli minuman
Beruntung baginya karena ia masih memiliki saldo enam puluh ribu, Puput segera mengambilnya satu lembar lima puluh ribu. Uang terakhir yang dimilikinya saat ini.
Ia pun kembali menelusuri jalan sejauh dua kilometer dan menemukan area yang kiri kanan jalannya penuh dengan toko-toko. Mulailah dirinya memasuki toko-toko tersebut satu per satu. Tidak ada satu pun toko yang membutuhkan tenaga disainer untuk iklan. Puput dilanda putus asa.
Jelas ia tidak mungkin melamar pekerjaan di kantor periklanan kalau tidak mau ditemukan oleh Aldi. Dunia periklanan cukup sempit dan setiap pemilik saling kenal satu sama lain. Dia tidak mau menanggung resiko bertemu Aldi. Sudah pasti, dirinya akan dipekerjakan kembali untuk membayar utangnya tanpa upah sama sekali.
Bagi Puput itu tidak adil. Harusnya, dia tetap menerima gaji dan dipotong cicilan utang. Bagaimana pun, manusia hidup jelas membutuhkan uang. Terlebih, kedua orang tuanya butuh makan lebih layak. Mengingat hal itu, kembali ia merasa sedih.
Sudut matanya menangkap sesuatu yang menarik perhatian. Langkah Puput terhenti saat melihat sebuah bros yang tersemat di baju pesta pada manekin. Benaknya langsung berinteraksi dengan bros tersebut.
'Ah, makhluk mungil, menggemaskan sekali kamu! Sepertinya kamu tidak layak berada di sana, harusnya kamu ikut aku, bukankah lebih cantik kalau tersemat di blouseku ini?' Wajah Puput nenatap sendu bros berwarna perak dengan butiran mutiara pink di atasnya. Kemudian ia masuk ke dalam toko tanpa sadar jika dirinya sudah tidak mempunyai alat p********n dalam bentuk apapun.
"Mbak, bros mutiara yang di sana berapa harganya?" tanya Puput bersemangat sambil menunjuk ke arah manekin di depan kaca etalase yang menghadap ke jalan raya.
"Oh itu koleksi khusus kami, tapi kebetulan sedang ada diskon, Mbak. Harganya dua ratus ribu," sahut pelayan dengan mata berbinar. Pagi itu, baru Puput yang memasuki tokonya.
"Ok, wait," ujar Puput sambil mengambil dompetnya dari dalam tas dan membukanya. Ia terkejut karena ketiga kartu kreditnya tidak ada di dompet. "Hah? Kartu-kartuku mana?" geramnya panik.
Tiba-tiba dia teringat kalau dirinya tidak lagi memiliki kartu kredit karena Aldi telah mengguntingnya hingga berbentuk potongan-potongan kecil dan saat itu berada di dalam kamarnya terbungkus plastik.
"Ah! Aldiii!" pekik Puput tertahan sambil kekuar dari toko dengan mata berkaca-kaca. Ia melewati etalase dan berkata, "Maafkan aku." Pada bros itu tanpa melihatnya. Puput melanjutkan langkah yang entah mau ke mana dengan perasaan galau.
"Mbak Puput?" Tiba-tiba, ia mendengar suara yang samar-samar diingatnya memanggil namanya. "Hei, kau! Ah, Mbak Puput! Senang jumpa lagi!" seru suara seorang lelaki.
Otak Puput mencerna warna suara tersebut, tanpa menghentikan langkahnya, ia membelalakkan mata sambil mengumpat, "Sialan! Dakocan raksasa ... aaaa .... lariii!" Puput berlari tunggang langgang setelah ingat suara siapa yang menegurnya tadi.
"Hei, jangan Lari, Mbak! Jangan lari!" Lelaki itu malah mengejar Puput. Seakan tidak rela jika ada orang yang ketakutan atau menghindarinya.
Puput berbelok tajam ke kiri tanpa melihat situasinya. Malang baginya karena ternyata itu adalah area bongkaran bangunan yang menyisakan dinding bagian belakang. Puput segera berbalik hendak keluar lagi dari sana, tapi lelaki berperawakan tinggi besar tersebut telah sampai di hadapan Puput.
"Da-dakocan, please! Aku lagi cari kerja, aku gak punya uang, please!" Puput memelas tapi kedua matanya melotot.
"Bah! Sejak kapan namaku jadi Dakocan?" Lelaki itu menggelengkan kepalanya dengan wajah sedih. "Jangan buat mamak bangkit dari kubur karena anaknya jadi Dakocan. Siapa pula yang meminta uang? Kau sudah bikin napasku senin-kamis. Kenapa pula kau lari-lari kaya dikejar setan. Bah, sial kali nasib awak ni," omelan lelaki itu cukup panjang sambil tersengal-sengal hingga ia butuh menyandarkan punggungnya pada dinding.
"Ti-tidak minta uang?! Lalu kenapa kamu mengejar-ngejar aku?" Puput menjadi emosi.
"Hei ...." Lelaki itu kepayahan untuk bicara karena napasnya masih ngos-ngosan. "Baru kau lah satu-satunya orang yang kukenal di sini, janganlah kau anggap musuh. Kalau kau lari maka kukejar." Napas lelaki itu sudah mulai normal sekarang. Ia melihat kesekeliling dan kembali menggelengkan kepalanya. "Kebiasaan mencari tempat yang pojok-pojok dan hiii serem," tukasnya.
Puput menghentakkan kakinya dengan kesal sebelum melangkah kembali ke trotoar.
"Hei, hei, Mbak Puput, jangan tinggalkan abang ni, mau ke mana?" Dia menjejeri langkah Puput yang kini tidak mempedulikannya. "Tadi bilang lagi cari kerja? Ah, abang ada kawan lagi butuh orang yang bisa komputer. Tapi, usahanya cuman toko henpon. Kalau mau--," ucapan lelaki itu terhenti karena gerakan Puput yang tiba-tiba berhenti tepat di depannya. "Di mana?!" seru Puput.
"Bah, galak kali perempuan ini. Belikan abang teh botol dululah, haus kali abang ni," ujarnya memelas.
Puput mendengus sambil menyeringai sinis, ia pun berbalik dan melanjutkan langkah cepat-cepat.
"Mbak Puput! Abang antar ke sana tapi bayarin ongkosnya, cuma sekali naik angkot dari sini," ujarnya sambil melangkah mendekati Puput yang menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap kembali pada lelaki itu. "Ayo!" seru Puput dengan wajah serius.
"Tapi, abang beneran haus. Air putih, satu botol saja," rengeknya.
Wajah memelas dari lelaki yang berwajah seram itu membuat Puput kebingungan. Apakah dia harus merasa tidak tega atau malah tertawa? Tidak sempat bereaksi, lelaki itu telah menyambar satu botol air mineral dari kios rokok yang berada di sana. Ia mengacungkan botol itu ke hadapan Puput yang mau tidak mau membuatnya bergerak ke arah kios untuk membayar minuman itu. Satu lembar lima puluh ribu, dalam sekejap sudah terpecah dengan lembaran yang nilainya lebih kecil dan berbonus recehan.
"Tuh angkotnya ayo," ajak lelaki itu yang telah mengosongkan isi botol dalam sekejap.
Puput mengikutinya menaiki angkutan kota. Ternyata jaraknya tidak begitu jauh dari tempat mereka membeli minum tadi. Puput pun mengomel, "Dasar manja! Deket gini doang kudu naik angkot!" Sambil mengikuti langkah-langkah lelaki itu.
Seorang deb collector bernama Bob, adalah deb col yang sangat rajin mengejar Puput kemana-mana. Hari itu ia harus menagih beberapa nasabah yang menunggak p********n kartu kredit di wilayah di mana dia bertemu Puput.
"Ini toko henponnya. Tunggulah, abang masuk dulu," ujarnya kepada Puput.
Jarak dari jalan raya hanya sekitar dua puluh meter saja. Toko itu cukup besar yang merupakan distributor berbagai merk telepon genggam dan ramai oleh pengunjung.
Menunggu sekitar sepuluh menit, Puput dihampiri seorang sales wanita. "Mbak Puput ya? Di suruh masuk sama bos. Mari ikut saya," ujarnya dengan ramah.
Puput mengikuti wanita muda yang tampak energik tersebut ke dalam toko dan terus dibawa ke bagian belakang yang merupakan ruang kantor dari pemilik toko tersebut.
"Selamat pagi, Pak," sapa Puput dengan sikap profesional.
"Ah, ya. Puput? Silakan duduk," ujarnya tanpa ekspresi.
Deb collector itu pun masih berada di sana dan menarik kursi untuk Puput duduk.
"Saya dengar dari Bob, kalau kamu tim kreatif di perusahaan advertising. Kenapa berhenti dari perusahaan besar yang sudah terkenal itu? Kan sayang melepas gaji besar di sana." Lelaki berusia lima puluh tahunan tersebut ingin tahu tentang hal itu karena alasan berhenti dari tempat kerja yang lama sangat penting untuk menilai kredibilitas sumber daya manusia.
"Sa-saya ingin mencari pengalaman, Pak. Di sana bekerja dalam team work, hanya saja seringnya saya bekerja sendiri, bukan karena teman-teman tidak mendukung tapi ternyata, bekerja sendiri lebih efisien. Karenanya saya membutuhkan pekerjaan yang bisa dihandle sendiri," jawab Puput setengah berbohong. Kenyataannya dia dipecat akibat utang pinjaman online dan kartu kredit, salah satu yang mendukung dirinya dipecat adalah lelaki tinggi besar yang sedang duduk di sampingnya.
Puput menginjak kaki lelaki itu karena kesal kepadanya. "Aw! Aduh, kenapa pula kau injak kakiku hah?" Bob mendelik kepada Puput yang tetap duduk tegak tanpa ekspresi dengan sorot mata mengarah kepada bos toko.
"Kalian ini ... sepasang kekasih apa gimana?" tanya sang bos dengan wajah terheran-heran.
"Oweek, uweekk ...." Secara refleks Puput merasa mual dan ingin muntah mendengar pertanyaan lelaki setengah baya itu. "Ma-maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf," ucap Puput yang wajahnya telah memerah.
"Bah, Jijik kali kau padaku rupanya," tukas Bob, lagi-lagi memasang wajah sedih.
"He he he, tidak apa-apa, Put. Saya cuma bercanda kok," kekeh bos itu.
"Hmm ... ini Pak, resume saya." Puput menyodorkan sebuah map yang berisi data diri dan surat lamaran kehadapan lelaki itu.
"Baik, saya sudah mendengar banyak dari Bob mengenai kamu. Di sini tidak perlu bersikap formal layaknya di perusahaan besar. Saya terima kamu kerja dan kalau bisa mulai hari ini," kata lelaki itu sambil menerima berkas dari tangan Puput.
Kedua mata Puput membola. Ia terkejut mendengar dirinya diterima kerja.
"Tapi, gaji yang bisa saya tawarkan lebih sedikit dari upah minimum regional. Apa bersedia?" tanyanya dengan sungguh-sungguh.
"Bersedia, Pak," sahut Puput cepat, secepat otaknya berpikir masih mending di atas UMR dari pada tidak berpenghasilan sama sekali.
"Tugasmu hanya di depan komputer di ruangan itu." Tangan lelaki itu menunjuk ke arah depan bagian kiri. "Dari jam sembilan pagi sampai jam lima sore kalau tidak ada lembur. Ketentuan lembur ada di surat kontrak kerja. Silakan mulai bekerja. Oya, selamat bergabung, Put dan tunjukkan keahlianmu," tukas lelaki itu yang entah kenapa menyukai Puput dari sejak gadis itu memasuki ruangannya.
"Baik, Pak. Terima kasih. Kalau begitu saya langsung kerja," sahut Puput undur diri. Kemudian, ia menoleh kepada Bob seraya memberikan senyum termanisnya. "Dakocan, terima kasih ya."
"Dakocan?" Bos toko merasa heran.
"Pasrah selama mamak tidak bangkit dari kubur," sahut Bob, benar-benar tidak berdaya.