"PUPUT!" Teriakan menggelegar tiba-tiba saja mengagetkan Puput yang sedang duduk menghadap komputer. Tak ayal gadis itu pun terlonjak dari tempat duduknya sambil melotot dengan jantung berdebar.
Aldi melangkah panjang menghampiri Puput, kedua matanya menangkap penampakan dompet wanita di atas meja. Sebuah dompet yang jelas tampak baru dan bagus. Serta merta tangannya menyambar dompet tersebut lalu ia berbalik menuju mejanya sendiri sambil membuka dompet tersebut.
Ia menemukannya. Tiga keping kartu kredit yang menjadi biang kemarahan Aldi. Sambil mencabutnya dengan kasar, ia kembali berteriak kepada Puput. "Apa yang kau lakukan dengan kartu kredit ini, Puput? Tidakkah kamu sadar kalau kamu tidak punya penghasilan untuk membayarnya?" Dompet itu melayang dan jatuh di lantai.
Aldi membuka laci mejanya dan mengambil gunting dari sana. Dengan gerakan kasar ia mulai menggunting kartu kredit Puput tanpa ampun.
"Pak! Itu kartu kredit saya!" teriak Puput tanpa sadar. Kedua matanya membola menyaksikan sumber kebahagiaannya terpotong-potong dengan keji.
"Kamu pakai otak gak sih? Enam puluh juta, Put! Enam puluh juta dalam sekejap. Penagih utang bolak balik datang ke kantor?! Kamu gila apa gimana?" Aldi melempar potongan kartu kredit ke udara dan Puput hanya bisa menyaksikan pecahan kartu tersebut dengan rasa tidak berdaya.
"Bapak kenapa tidak gaji saya?!" teriak Puput frustasi.
"Apa kamu bilang?!" Aldi berjalan menghampiri Puput dengan kedua bola mata memerah dan rahang yang mengetat.
Puput semakin membelalak sambil berusaha melangkah mundur. Tapi, dibelakangnya kursi dan ia pun terduduk dengan perasaan takut luar biasa.
Napas lelaki itu memburu, ia terus melangkah mendekati gadis itu dan kini, wajahnya telah berada di depan wajah Puput yang pucat pasi. Posisi lelaki itu membungkuk dengan kedua tangan bertelekan pada kedua tangan kursi. Mata yang masih memancarkan kemarahan, menatap lekat wajah pucat dan polos tanpa riasan itu.
"Adakah orang yang telah dibayari utangnya lebih dari dua ratus juta, masih menuntut gaji kecuali kamu? Belum empat bulan kamu di sini, tiba-tiba kantor dihebohkan penagih utang yang bersikap kasar dengan total utang ENAM PULUH JUTA?!" Suara Aldi melengking di ujung kalimat.
Seketika Puput merasa tertampar oleh perkataan Aldi. Ia pun menyadari bahwa dirinya bagai orang yang tidak tahu diri. "Ma-maaf," Akhirnya, hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya.
Aldi menghempaskan kedua tanganya ke udara. "Kamu butuh bantuan profesional!" serunya sambil menggelengkan kepalanya.
Lelaki itu benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa seseorang menghabiskan limit kartu kredit hanya dalam semalam saja? Bagaimana bisa seseorang yang tidak mempunyai penghasilan, secara tidak bertanggung jawab justru menggali lubang bagi dirinya sendiri?
"Jangan-jangan kamu memang sengaja mau memerasku?" Tiba-tiba Aldi berbalik kembali menghadap Puput.
Air mata menggenang pada bola mata Puput. Ia tidak ingin menjawab apapun sebab orang tidak akan mengerti kalau dirinya hanya merasa memiliki ada sesuatu yang bisa dibelanjakan dan itu sangat menyenangkan hatinya. Sama sekali tidak terpikir bagaimana caranya ia akan mengganti semua uang yang telah dibelanjakannya tersebut
Gadis itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Aldi mendengus keras melihat Puput yang terkulai lemas, tidak seperti biasanya di mana dia pandai melawan dan membantahnya dengan berbagai kalimat pintar.
"Apa yang akan kamu lakukan untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang secara gamblang telah sangat merugikan orang lain?" tanya Aldi sambil membuang tatapannya ke ruang kosong.
Puput bergeming. Di tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Tapi, di dalam benaknya, ia ingin sekali meninggalkan mansion tersebut, pergi untuk selama-lamanya, ia merasa malu karena dari sudut pandang bosnya, dia salah besar, telah merugikan orang lain sedemikian rupa.
'Apa sih salahnya belanja? Kenapa mereka menjual barang-barang kalau bukan untuk dibeli?' Puput membatin. Ia kini merasakan sesuatu kehilangan yang sangat besar seiring dengan kartu kreditnya yang telah berbentuk kepingan dan berserak di atas lantai.
Suasana terasa hening. Keheningan yang menimbulkan rasa canggung. Merasa tidakbada gunannya lagi berada di ruangan itu, Aldi melangkah keluar sambil menggelengkan kepalanya tanpa mengucapkan apapun, tanpa menoleh kepada Puput.
Baginya, ini adalah resiko yang harus ditanggungnya karena telah mempekerjakan Puput yang luar biasa berprestasi itu. Meskipun tidak sepadan dengan kerugian yang ditanggungnya, tapi anehnya, Aldi tidak keberatan untuk membayar utang terakhir Puput.
Lelaki itu bergegas meninggalkan mansion untuk kembali ke kantornya karena sore itu ada meeting dengan kepala bagian termasuk Sofyan yang memecat Puput dari kantor.
Dengan berurai air mata, Puput memungut satu persatu kepingan kartu kredit tanpa sisa dan memasukkannya ke dalam kantung plastik kecil, kemudian ia menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda akibat amukan Aldi.
Setelah semuanya beres, ia merapikan meja kemudian berdiri sejenak sambil melihat ke sekeliling ruangan. Ruangan yang telah hampir empat bulan ini menjadi tempat kerjanya, sangat nyaman dan elegan.
"Selamat tinggal, terima kasih telah bersamaku selama ini," gumam Puput, kemudian ia mematung sebentar sebelum melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut.
Ia memasuki kamarnya langsung menuju ruang pakaian dan merapikan seluruh barang-barangnya ke dalam koper serta travel bag. Barang yang telah bertambah banyak hingga ia harus packing sedemikian rupa agar seluruh barang tersebut bisa masuk ke dalam kopernya.
Terakhir, matanya menangkap satu barang yang cukup murah tapi sangat disukainya menggantung sendirian dalam lemari. Ia meraih barang itu. Sebuah scarf seharga delapan puluh dolar berwarna biru pupus. Scarf yang seharusnya berwarna orange, tapi Kirei telah memilikinya lebih dulu, maka ia memutuskan menggantinya dengan warna lain yang tak kalah indah.
Dengan hati-hati, Puput melipatnya kemudian ia mengayun langkah dan menaruh lipatan scarf tersebut di atas bantal. Ia akan meninggalkan barang itu di sana, barang yang pertama kali diinginkannya sejak menginjakkan kakinya di mansion itu.
Tidak lupa, ia masuk ke kamar mandi, mengumpulkan barang-barang pribadinya dan memasukkannya ke dalam travel bag termasuk skin care dan kosmetik yang kini telah bertambah banyak. Semuanya selesai dikemas, tanpa ada yang tertinggal. Sambil menarik koper dan menjinjing tas travel serta menyelempangkan tas besar di bahunya, Puput melihat ke sekeliling ruangan. "Selamat tinggal kamar yang sangat bagus, yang tidak pernah aku temukan sebelum ini. Terima kasih telah menjadi tempat yang yang sangat nyaman untukku," ucapnya dengan nada sedih.
Turun dari lantai dua, ruangan sangat sepi. Puput tidak ingin berpamitan kepada bibik dan yang lainnya yang hanya akan memperpanjang keberadaannya di sana, ia pun menyelinap keluar dan beberapa pengawal serta satpam terheran-heran melihat Puput berwajah sedih membawa koper.
"Bu? Mau pergi ke mana? Apakah Bapak tahu?" tanya salah seorang pengawal.
Puput tersenyum. Ia memang akan bertemu mereka di luar karena tugas mereka menjaga rumah dan orang-orang yang berada di dalam mansion. "Jangan khawatir, bapak tahu kok. Kami butuh rehat sebentar. Tolong panggilkan taksi ya," ucap Puput sangat meyakinkan.
"Oh, begitu. Baik, baik, Bu. Apa gak sebaiknya di antar saja, Bu?" tanya pengawal tersebut.
Puput menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, taksi saja. Terima kasih," tegas Puput sambil melanjutkan langkahnya tanpa menggusur koper dan menenteng tas travel karena dengan sigap, orang-orang membantunya.
Jarak dari pintu tempat Puput keluar tadi ke pintu gerbang depan cukup jauh. Bagi Puput rasanya jalan itu tidak berkesudahan. Ia ingin segera pergi dari sana sebelum Aldi sampai, karena selama dua bulan terakhir Aldi benar-benar tinggal di sana, tidak seperti sebelumnya yang kadang menginap kadang tidak.
Taksi sudah muncul dan berhenti tepat di depan pintu gerbang, sementara Puput masih belum sampai. Dua tas travel dan satu kopernya sedang dimasukkan ke dalam bagasi taksi dan pintu penumpang telah dibukakan oleh satpam. Semua orang di sana memperlakukan Puput dengan sangat hormat karena selain atasan mereka juga karena personalisasi Puput yang selalu menghargai dan bersikap baik kepada mereka.
"Selamat jalan, Bu. Holidaynya tidak lama kan, Bu? Kami akan menunggu di sini, Bu. Hati-hati di jalan." Kurang lebih, seperti itulah mereka mengantar kepergian Puput. Tidak ada satu pun yang mengira kalau gadis itu berencana kabur dan tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di sana.
Puput melempar senyum sambil mengangguk, mobil taksipun melaju setelah ia menyebutkan tujuannya. Karena jaraknya yang cukup jauh, Puput melorotkan tubuhnya dan memejamkan kedua matanya dengan kedua tangan menyilang di depan d**a. 'Suatu saat, entah bagaimana caranya, aku akan membayar utangku pada Aldi,' batin Puput.
Jalanan ke arah tujuan Puput melawan arus kemacetan. Perjalanan tersebut tidaklah lancar tapi setidaknya tidak terjebak macet. Satu jam kemudian, ia telah sampai di depan pagar pendek rumah dinas orang tuanya. Puput menghela napas panjang. Mengingat kedatangannya akan merepotkan mereka karena ia tidak mempunyai uang seperak pun untuk membayar taksi.
Gadis itu turun dari mobil dan dibantu oleh supir ia mengeluarkan barang-barangnya dari dalam bagasi. Seseorang dari rumah membuka pintu karena mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. "Puput?! Kamu kah itu?" Suara seorang wanita sambil melangkah menghampiri Puput dengan memicingkan kedua matanya agar bisa melihat dengan jelas.
"Mama!" seru Puput sambil menghambur ke pelukan ibunya.
"Oalah, kenapa kamu baru nongol, Put?" tanya Ibunya merasa senang sekaligus heran sambil berpelukan.
"Ma, tolong bayarin taksinya ya, nanti aku ganti uang Mama," bisik Puput di telinga ibunya.
"Oh, berapa, Nak? Eh, berapa, Pak argonya?" tanya wanita itu kepada supir taksi.
"Seratus enam puluh ribu, Bu." sahutnya sambil mengangguk sopan.
"Oalah, jauh banget ya, Pak? Sebentar saya ambil dulu, tunggu ya, Pak," ujarnya sambil membantu Puput menggusur koper. Keduanya masuk ke dalam rumah.
"Ma, Papa ngapain?" tanya Puput.
"Papamu sudah istirahat di kamar, dia lagi gak enak badan. Kamu besok pagi aja nemuin papamu ya, sana masuk kamarmu." sahut ibunya.
"Baik, Ma," jawab Puput sambil melangkah menuju kamarnya sendiri. Ia langsung merebahkan diri dan kembali menangis. Mengingat kondisi kedua orang tuanya masih begini-begini saja, sementara dirinya terus berutang dan berutang lagi demi memuaskan nafsu belanjanya yang ia sendiri tidak mampu untuk mengatasi nafsunya itu.
Sekian lama, Puput masih berguling-guling di atas kasur dengan perasaan tidak menentu memikirkan nasibnya ke depan setelah ini. Menjelang tengah malam, gadis itu pun tertidur masih mengenakan baju kerja lengkap.
Ia bermimpi dikejar-kejar Boy, seorang deb collector yang paling rajin mengejar dirinya bersama seorang temannya. Wajah lelaki berperawakan tinggi besar itu menyeramkan. Puput harus berlari dan terus berlari sampai napasnya tersengal sengal. Namun, suara kaki yang mengejarnya tidak terdengar lagi bergantibdengan suara seperti benda yang menggesek tanah.
Puput menoleh ie belakang dan terkejut mendapati yang mengejarnya bukan lagi Boy, tapi seekor ular cukup besar dengan mata bulat yang seolah menatapnya dengan tajam. "Waaa ... ulaaarr!" seru Puput di dalam mimpinya. Ia ingin berlari tapi perasaan aneh menyelimutinya. Ia tidak merasakan takut sama sekali.
Puput menghentikan larinya, ular itu pun ikut berhenti merayap. Puput berbalik kembali melangkah, terdengar suara gesekan lagi ikut bergerak mengejarnya. Begitu terus sampai berulang kali. "Aahh ... kenapa kamu mengikuti aku terus?!" teriak Puput sambil menoleh ke belakang, tapi, ular tersebut sudah tidak ada.
Gadis itu terbangun dengan keringat yang mengintip dari pori-pori kulitnya.