Mansion

1907 Words
Sambil menoleh ke arah luar, mata bulat puput tergenang air mata. Ia merasa sedih telah kehilangan kopernya yang berisi barang-barang mahal, ditambah dengan sikap dan perkataan Lena yang menusuk-nusuk hatinya. Lengkaplah sudah penderitaannya. "Eh, Pak ... maaf, kita mau ke mana ya? Oh ya, kok Bapak bisa lewat situ tadi? Trus, saya gak nyangka loh Bapak mengenali saya," cerocos Puput merasa heran saat melihat jalan yang semakin jauh dari pusat kota. "Saya akan jelaskan semua di rumah." jawab Aldi tak acuh. Dia memang merasa iba atas nasib Puput yang meminta bantuan kepada Lena. Iba karena gadis itu menganggap Lena adalah temannya, sekaligus ia membutuhkannya untuk merampungkan proyek yang tadi dibahasnya dengan klien. "Kamu sendiri? Ngapain malam-malam ada di halte bis? Mau kemana? Emangnya gak ada teman yang bisa dihubungi?" tanya Aldi pura-pura tidak tahu. "Saya ... ditagih uang kos trus disuruh keluar deh. Ada teman sih, yang tadinya mau numpang nginep malam ini, tapi ... sampai saya ketiduran dan koper saya hilang satu, dia gak datang-datang. Pas datang, kami ribut sebentar dan dia marah trus saya ditinggal. Saya juga yang salah, minta bantuan dia. Gak nyangka kalau dia sudah berubah banyak. Semua gara-gara pacarnya!" ungkap Puput keceplosan. Dahi Aldi berkerut tanda tidak terima disalahkan. "Kok gara-gara pacarnya? Emangnya kamu minta tolong ke pacarnya? Enggak kan?" sulut Aldi merasa terprovokasi. "Ya, sejak dia pacaran sama Ridho, benar-benar dibuat pusing. Jadinya, kami semua temen-temen kena getahnya. Kami sudah berusaha menyadarkan dia tapi malah satu per satu dari kami, dimusuhin. Hidupnya jadi susah karena lelaki itu, praktis jadi benalu dan numpang hidup pada Lena. Eh, ya Tuhan ... saya ngomong apa sih? Ya Tuhan ... saya mohon maaf, Pak. Sungguh bukan bermaksud bergosip jelekin teman sendiri, ya Tuhan maafkan aku ... maafkan aku ...." keluh Puput dengan rasa panik dan sangat tidak enak hati. "Ha ha ha, tidak apa-apa dong, toh saya kan gak kenal sama teman kamu itu," kekeh Aldi merasa kecut sekaligus merasa lucu oleh tingkah Puput yang polos apa adanya. Lelaki itu mendengus. Rupanya Lena memang bukan wanita baik-baik. Semua uang yang dimintanya ternyata untuk menghidupi lelaki lain. Kenyataan yang mengejutkan bagi Aldi. Saat itu, ia semakin yakin dengan keputusannya untuk meninggalkan Lena. Aldi seketika menjadi paham, kenapa Lena memintanya merahasiakan hubungan mereka dari Puput, padahal jelas kalau Puput bekerja di kantornya. Rupanya ada rahasia besar yang tidak ingin terbongkar. Lelaki itu benar-benar merasa tertipu mentah-mentah. Beruntung, kliennya meminta rancangan iklan dari Puput, jika tidak, dia tidak akan tahu informasi tentang Lena yang didapatkannya secara cuma-cuma, gara-gara gadis ini kebablasan berceloteh. Mobil yang membawa mereka telah sampai di depan pintu gerbang yang sangat besar. Pintu itu terbuka otomatis dan tampak pemandangan yang memanjakan mata. Sebuah gedung terletak agak jauh dari gerbang utama, jalan yang menuju gedung tersebut dipenuhi dengan pohon dan bunga-bunga yang tertata apik, hasil tangan seorang profesional. Mendekati gedung, mata Puput semakin membelalak kagum. Tanpa sadar, mulutnya terbuka lebar. "Wooah, ini sih bukan rumah dong, Pak. Ini Mansion namanya!" seru Puput terkagum-kagum oleh kemegahan dan kemewahan dari mansion tersebut. "Anything you wish," sahut Aldi seraya menghentikan mobilnya tepat di depan undakan tangga yang menuju pintu utama. "Ayo turun, barangmu biar dibawain ke dalam," ajak Aldi. "Ta-tapi, Pak. Setelah ini, saya pulang ke mana?" tanya Puput terlihat linglung. "Masuk saja dulu, istirahat dulu, saya juga sudah capek rasanya. Pagi-pagi, banyak hal yang mau dibicarakan terutama urusan kerjaan," ucap Aldi seraya melangkah mendahului Puput yang mematung di depan anak tangga paling bawah. Lelaki itu menoleh ke arah Puput saat pintu telah dibukakan oleh salah seorang pelayannya. "Put?! Mau tidur di sini, kamu?" tegur Aldi sambil mengerutkan keningnya. "Ah, i-iya, Pak, maaf ...," ucap Puput tersadar, ia pun segera menaiki unfakan tangga yang berjumlah tujuh pijakan itu. Tidak henti-hentinya Puput mengagumi eksterior dan interior dari mansion itu, hal yang sangat baru baginya melihat kemewahan yang begitu menyilaukan dan terbersit perasaan takut kalau-kalau dia merusak apa saja yang ada di sana. Karena hal itu, ia pun melangkah dengan sangat hati-hati dan merasa tidak tega ketika sepatunya menginjak lantai marmer tanpa garis bermotif abstrak yang mengkilat. Rasanya ingin mengelap setiap jejak langkahnya agar tidak terkotori oleh tapak sepatunya. Hati kecilnya menciut, selama ini, dia selalu percaya diri dengan penampilannya yang bermerek dari ujung rambut sampai ujung kaki, tapi saat itu, kepercayaan dirinya runtuh. Seluruh barang yang melekat pada tubuhnya bahkan tidak ada harganya jika dibandingkan dengan pegangan pintu sekalipun. "Ayo naik!" Aldi menginterupsi lamunan Puput seraya menaiki tangga menuju lantai dua, kemudian berbelok ke kanan dan pada sebuah pintu telah berdiri seorang pelayan yang siap membantu Puput. "Itu kamarmu. Selamat istirahat," ujar Aldi sambil menunjuk kamar di depan mereka, kemudian, ia berbalik dan meninggalkan Puput yang termangu di sana. Gadis itu menghela napas panjang, kemudian melangkah memasuki ruang kamar yang disediakan untuknya. Kamar itu berukuran besar dan jauh lebih bagus dari kamar-kamar horel bintang lima yang pernah disambangi olehnya. "Bu, mau dibereskan sekarang isi kopernya?" Seorang pelayan bertanya sambil berdiri di depan sebuah lemari di ujung kamar yang merupakan ruangan terpisah dari kamar tersebut. "Oh, tidak usah, biar besok saja saya bereskan sendiri. Terima kasih ya," sahut Puput masih dengan tingkah gugupnya. Barang-barangnya sudah sampai semua dan diletakkan di ruang pakaian. Para pelayan segera pergi dari sana sambil berucap, "Selamat istirahat, Bu. Jika memerlukan bantuan, silakan pakai airphone yang ini." sambil menunjuk pada pesawat telepon ramping yang menempel pada dinding. Puput segera mengangguk seraya memberikan senyum sampai pintu kamarnya tertutup, senyum pada wajahnya pun memudar perlahan. Ia masih menatap pintu dengan bingung. "Kenapa tiba-tiba aku bertemu Pak Bernaldi? Dan kenapa jadi berada di rumahnya?" gumam Puput tidak habis pikir. Merasa sangat kelelahan karena seharian sampai menjelang pagi jiwanya digojlok masalah, Puput seolah tidak punya tenaga lagi untuk sekedar mengganti baju, apalagi harus ke kamar mandi untuk membasuh diri, sementara rajang besar bergaya kolonial terlihat sangat nyaman dan tubuhnya tergoda untuk segera merebahkan diri memeluk guling dan tenggelam dalam selimut tebal, sungguh godaan yang tidak bisa dihindarinya. Gadis itu benar-benar menjatuhkan dirinya ke atas kasur hingga memantul, dengan gerakan lambat, ia menarik selimut dan hanya dalam waktu tiga menit, ia sudah tertidur pulas! Pukul sembilan pagi, Aldi masih berleha-leha di ruang makan. Ia baru saja menyelesaikan sarapan paginya yang terlambat. "Tamu saya belum bangun?" tanyanya untuk ke sekian kalinya kepada pelayan-pelayan di rumah itu. "Belum, Pak. Tidurnya sangat nyenyak sekali, bahkan tidak berganti pakaian," sahut pelayan paling tua yang terus bolak balik ke kamar yang ditempati oleh Puput setiap kali bosnya menanyakan sang tamu. Aldi menggelengkan kepalanya. "Selain gila belanja, hobby berhutang, ternyata juga tukang tidur!" gerutu Aldi dengan kesal. Terpaksa ia harus menunggu meskipun enggan. "Tiga puluh menit lagi, kalau belum bangun, tolong dibangunkan dan bawa ke ruang kantor saya!" titah Aldi seraya berdiri dari atas kursi dan melangkah menuju lantai dua. Di sana, ada ruang kantor pribadi yang selalu digunakannya ketika sedang berada di mansion tersebut. "Baik, Tuan," sahut para perlayan berbarengan. Di dalam kamar, Puput telah membuka matanya dan bersiap untuk mandi, tapi sebelumnya, ia ingin bermalas-malasan dulu di kasur yang luar biasa nyaman baginya. "Hmm ... kapan lagi tidur ditempat sebagus dan seenak ini?" gumamnya sambil berguling-guling dan tersenyum. Ia sadar bahwa hari ini juga ia harus hengkang dari mansion bosnya. "Astagaa! Bukankah harusnya aku ke kantor?!" seru Puput tiba-tiba dengan wajah pucat. Ia segera melompat turun dari tempat tidur dan tergopoh-gopoh menuju kamar mandi. Seorang pelayan mengetuk pintu kamar mandi dan Puput membukanya saat ia masih menggosok gigi. "Bu, kalau sudah siap, ditunggu Bapak di kantornya," ucap pelayan itu. "Ha? Iya ini juga mau ke kantor. Tadi Pak Aldi berangkat jam berapa?" tanya Puput sambil berkumur. Pelayan itu terlihat kebingungan. "Bapak belum pergi kok, Bu," sahut pelayan itu. "Loh, tadi katanya ditunggu di kantor?" Puput juga terlihat bingung. "Oh, itu ... di kantor pribadi Bapak di rumah ini, Bu. Saya antar nanti kalau Ibu sudah siap," ujarnya sambil berbalik dan mulai merapikan kasur yang tadi ditiduri oleh Puput. "Ooh ...." Puput manggut-manggut, mengenakan handuk besar yang melilit tubuhnya, Puput ke ruang pakaian dan membongkar isi kopernya. Ia mengambil baju kerja dan mengenakannya lalu berdandan tipis-tipis juga mengeringkan rambutnya yang basah. Setelah memakai heels, ia keluar dari ruang pakaian dan menghampiri pelayan yang kini sedang sibuk di kamar mandi. "Mbak, saya sudah siap," ujar Puput. "Oh, mari, Bu, ikut saya," sahutnya sambil mempersilakan Puput jalan lebih dulu keluar dari kamar tamu. Pelayan itu mengetuk pintu. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Tangannya segera menekan pegangan pintu sampai terbuka. "Silakan masuk, Bu," ujarnya kepada Puput yang mengangguk. "Terima kasih," sahut Puput. Gadis itu terkesima melihat sang CEO yang selama ini dipandangnya begitu jauh dan tidak pernah sedekat ini bersamanya. Aldi mengenakan sweater tangan panjang berwarna coklat muda dan celana jeans. Hal yang membuat Puput merasa pangling, karena selama ini, penampilan Aldi tidak pernah bergeser dari kemeja berdasi dengan jas dan celana panjang kain. Saat itu, Puput baru menyadari kalau bos mudanya itu sangat seksi dan tampan. Ia pun tergagap menyapa Aldi. "Se-selamat pagi, Pak." Aldi hanya mengangguk membalas sapa dari Puput. "Duduk." ujarnya sambil mengangkat kepalanya menunjuk pada satu set kursi sofa di ruangan yang dirancang menjadi ruang kantor. Puput melangkah ke arah sofa dan duduk dengan salah tingkah. "Apakah kamu tahu masalah yang timbul di kantor karena semua orang mendapatkan pesan dan telepon dari para penagih utang?" Puput terkejut mendengar perkataan Aldi. Serta merta ia menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Saya salah, saya minta maaf," lirih suara Puput. "Pak Sofyan telah menandatangani surat pemberhentian kerja kamu pagi kemarin." Aldi bangkit dari kursinya membawa selembar kertas dan menyerahkannya kepada Puput. "Sa-saya dipecat, Pak?" Puput menerima kertas tersebut dan membacanya. Seketika matanya berkaca-kaca. Hancur sudah seluruh hidupnya saat ini. "Saya ingin membuat kesepakatan!" Tiba-tiba Aldi berkata dengan sangat tegas dan kaku. Puput terdiam. Ia masih menunduk seolah-olah sedang membaca huruf demi huruf dari kertas tersebut. "Kamu tidak bekerja lagi di kantor, tapi kamu bisa bekerja dari sini. Tentu saja kamu juga akan tinggal di sini. Pekerjaanmu ada dua. Satu mengerjakan rancangan untuk klien, kedua mengatur para pelayan di rumah ini. Tanpa gaji karena gajinya untuk melunasi seluruh utang kamu. Untuk sementara, kamu tidak bisa keluar dari rumah ini, karena p********n utang baru bisa dilakukan akhir bulan nanti." Deg Antara senang dan takut melanda hati Puput. Mungkinkah ia tinggal satu atap dengan seorang lelaki? "Bagaimana?" desak Aldi. "Maaf, Pak. A-apa bisa saya tinggal di luar saja? Ma-maksud saya ... tidak mungkin saya tinggal satu atap dengan Bapak," ucap Puput ragu-ragu. "Saya tinggal di kota, sesekali saja pulang ke sini, karena itulah kamu urus para pelayan di sini. Itu, meja kamu. Ada email dari klien yang harus segera kamu balas. Ini, tugasmu di rumah ini," ucap Aldi seraya memberikan satu bundel map kepada Puput. "Selamat bekerja. Saya tunggu report setiap pukul tujuh malam." Aldi melangkah keluar dari ruang kantor pribadinya. Ia harus bergegas kembali ke kota karena banyak urusan yang tertunda hari itu. Puput terdiam mematung di tempat. Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya. Berawal dari kemarahan teman-teman kantornya, dikejar-kejar deb coll sampai lorong gedung-gedung perkantoran, menemui ayah ibunya di rumah dinas, diusir dari tempat kos, terlantar di halte bis, ditinggalkan oleh sahabat dan akhirnya terdampar di mansion megah ini. "Ya, Tuhan ... drama sekali hidupku. Sekarang, aku bekerja tanpa gaji sampai kapan? Kapan utangku lunas? Berapa gaji bulananku yang dipakai buat bayar utang? Oh, my God! Jika gajiku setara gaji sebelumnya, apakah aku harus bekerja di mansion ini selama hampir dua tahun? Mati aku!" seru Puput sambil membelalak. "Masa muda saja sudah sesuram ini bagaimana dengan masa tuaku?" rintih Puput dengan mata berkaca-kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD