Dia.. Dipta..

1962 Words
Malam Sebelum bencana terjadi... Namanya Dipta. Lengkapnya sih Pradipta Darmawan. Anak pertama dari pasangan Anisa dan Farhan Darmawan. Dipta merupakan anak lelaki tertua yang bisa dibilang, Dipta ini lebih kekanakan dari adiknya yang berumur tiga tahun; Arsa.  Nah, kalau ditanya bagaimana rupa dari Dipta ini, kalian coba bayangkan saja sendiri. Pradipta atau yang lebih dikenal meluas dengan nama Dipta ini tercatat sebagai pangerannya SMA Angkasa Jaya. Bisa dibilang sih, doi ini playboy nomer satunya Angkasa Jaya, belum lagi jabatannya sebagai kapten tim sepak bola Angkasa Jaya. Bisa dibayangin nggak sih, berapa banyak fans wanitanya si Dipta ini? Ratusan, berlapis-lapis. Fix, kalian kemakan iklan makanan ringan di televisi. Hahaha... Eits, Woles, santai jangan tarik urat dulu. Selain menjadi  kapten sepak bola, Dipta ini juga merupakan pentolan Somplak Cs. Geng garapannya yang beranggotakan tiga lelaki tampan, menurut anggotanya sih begitu, katanya mereka tampan. Justine Bieber aja kalah, katanya. Tentu saja kata mereka itu juga. Sang ketua, Dipta Darmawan adalah lelaki tertampan menurut segerombolan cabai muda di Angkasa Jaya, di urutan ketampanan ke dua, ada Rio Ardiansyah yang dingin, sedingin es batu kalau masih menurut cabai muda Angkasa Jaya, dan ketiga ada Revaldo Mahendra yang biasa dipanggil dengan sebutan Aldo. Tahulah, kenapa Aldo berada diurutan nomer tiga? Cerdas! Seratus ribu buat kalian yang jawab si Aldo ini kurang ganteng. Silahkan dicek di ATM masing-masing, kalau kalian masih ada saldo direkening itu juga. Tahan.. Tahan, jangan emosi  ya... Balik lagi ke si Dipta, malam ini Dipta dan keluarganya tengah berkumpul bersama. Lengkap, ada Arsa si kecil yang tengah bermain Lego, ada sang Bunda yang duduk di samping Ayahnya yang tengah membaca buku tebal, yang Dipta sendiri tidak mengerti buku apa itu. Mau bertanya sudah jelas si Dipta malas, Ayahnya; Farhan, pasti akan mentransferkan seluruh kalimat dalam buku itu padanya. Hih, mengingat itu Dipta jadi menyesal terlahir sebagai putra Farhan Darmawan yang terkenal pintar dikalangannya. “Bun, Abang mau tanya dong Bun.” Kata Dipta mengambil satu sempol (paha) ayam yang Bundanya goreng sebagai cemilan mereka di malam hari. “Tanya apa Bang?” tanya Bunda Nisa mengalihkan pandangannya ke arah Dipta. “Seksi nggak Bun?” suara Dipta membuat Ayahnya yang sedari tadi sibuk membaca, menghentikan aktifitasnya karena pertanyaan ambigu Dipta. “Apanya yang seksi Bang?” tanya Bunda Nisa bingung. Masa anaknya tiba-tiba tanya seksi enggak? Terus Bunda Nisa harus jawab apa dong. Ngerti juga enggak apa yang ditanyakan oleh Dipta. Sempol ayamnya seksi gitu? “Itu tuh Bun, Calon Abang. Seksi enggak?” tanya Dipta sekali lagi dengan pertanyaan yang lebih jelas. Anisa menganggukkan kepala mantap menjawab pertanyaan sang putra. Sebenarnya bukan seksi, lebih ke arah cantik jika menurut Anisa. “Emang kenapa Bang?” Bunda Nisa dengan keponya bertanya pada Dipta yang pikirannya entah melanglang buana kemana itu. Maklum, anak kelas tiga SMA, udah puber, Cuy! “Wah, enak ini. Bakalan bisa di ikeh-ikeh tiap hari kan halal.” Gumamnya. Pikir Dipta orang yang berada didepannya ini tidak mungkin dapat mendengar. Tapi naas, sebuah buku tebal bertuliskan anatomy, mendarat tepat dikepalanya. Glodakkk “Bunda, sakit ih.” teriak Dipta tidak terima karena dilempar buku kedokteran milik sang Ayah. Dipta sukses mendapat pelototan tajam dari laki-laki dewasa yang merupakan kekasih sejati Bundanya tersebut. Siapa lagi kalau bukan Farhan; Ayahnya. “Abang ini... Seragam masih SMA, otak udah m***m. Ayaaaaaah, anak ayah kenapa nurunin sifat jelek Ayah sih.” ucap sang Bunda yang kontan membuat laki-laki tampan disebelah Bundanya terbahak. “Itu namanya Dipta normal, iya nggak Yah?” Dipta menurun-naikan alisnya, meminta dukungan dari sang Ayah. Biasanya laki-laki sejati akan berteman jika sudah menyangkut hal dewasa seperti itu. Itu juga kalau Ayahnya nggak homo sih, kalau homo pasti nggak bakalan tuh setuju sama omongannya. “Dasar laki-laki, otaknya cuman diselangkangan aja.” ujar Bundanya dengan nada yang merajuk. Melihat Bundanya yang tengah merajuk, serta Ayahnya yang mulai salah tingkah membuat Dipta tertawa geli. Sungguh aneh kedua orang tuanya, sok-sokan kaya remaja yang lagi dimabuk asmara, terus berantem, daaaaaaan, berakhir si lelaki yang akan menggombal. Hueek, seplayboy-nya Dipta. Nggak pernah tuh, namanya dia gombalin cewek. Pantangan banget, deh baginya buat gombal. Yang ada nanti cewek pada baper alias bawa perasaan. Nggak digombalin aja fansnya pada baper. Eh-, balik lagi ke kedua orang tuanya. Bukan keanehan tingkah kedua orang tuanya yang seperti remaja yang membuat pikiran seorang Dipta teralihkan dari dunia nyata. Dipta Darmawan saat tengah membayangkan seorang wanita yang kata Bundanya seksi itu. Apakah benar seksi? Segelintir wanita-wanita seksi mulai datang satu persatu dalam pikirannya. Sebut saja Galgadot, Dua Lipa, bahkan beberapa nama model dari Victoria Secret menari-nari dalam benaknya. Membayangkan itu, Dipta berjanji benar-benar akan membuat perhitungan dimalam pertamanya nanti.Tidak akan Dipta biarkan wanita seksi tersebut keluar dari kamarnya saat malam pertama nanti, Itulah janjinya. “Trust me Babe.” Sungutnya membara didalam hati. Kepala Dipta manggut-manggut seiring dengan janji dan semangat yang membara di dalam hatinya. “Heh, ngapain kamu manggut-manggut.” cecar sang Bunda, membuat Dipta tersenyum miring sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bisa digantung dipohon toge Dipta, kalau sampai Bunda kesayangannya tahu rencana kotor apa yang ada di otak anak tertampannya ini. Membayangkannya saja Dipta sudah bergidik ngeri. Ya, kali digantung di pohon toge. Bisa kaya makhluk jadia-jadian ngesot dia. Toge aja tak berpohon. Iya kan? “Udah sana tidur ah. Besok sekolah kamu Bang.” Titah sang Bunda. Namanya juga anak berbakti. Sayang Bunda, dan nggak mau jadi penghuni tetap neraka. Titah sang Bunda langsung diangguki olehnya yang langsung berdiri dari kursi tempatnya duduk. Namun, baru sampai di langkah kelimanya berjalan, anak laki-laki berumur delapan belas tahun itu membalikkan tubuhnya sambil menyengir kuda. “Bundaaaaaaa, Ayaaaaaaaah. Jangan bikin adek lagi. Dipta nggak kuku kalau punya adek bengal lagi.” Jeritnya, lalu berlari ke kamar sebelum mendapati teriakan maut dari sang Bunda tercinta. “Abaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang.” Anisa benar-benar tidak habis pikir, karma apa bisa memiliki putra seperti Dipta yang pecicilan. Anak keduanya bahkan terlahir lucu dan mengemaskan tidak seperti Abangnya yang suka minta dirukiyah paksa itu. “Arsa, nggak boleh ya ikutin Bang Dipta!! Arsa harus jadi anak baik.” Arsa yang sedang fokus dengan mainannya hanya mengangguk mendengar namanya disebut oleh sang Bunda. Bodo amat Bundanya mau bilang apa, toh bocah itu tetap tidak akan mengerti maksud dari nasehat sang Bunda. *** “Abang Diptaaaaa......” Ya Lord! Demi dewa mana saja! Dipta ingin sekali menyumpal mulut bidadari cantik yang suara lembutnya mengusik pagi harinya ini. Sang Bunda selalu saja membuat ulah, membuat kediaman Ayahnya gempar dipagi buta. Tapi sayangnya Dipta masih takut dosa. Gitu-gitu Bundanya adalah orang yang berjasa dalam kelahirannya di dunia ini. Bisa dikutuaaak  Dipta nanti kaya si Malin, anaknya si Merlin. Hehehe, plesetin dikitlah, biar nggak tegang. Cukup anunya Dipta aja yang tegang dipagi hari. Plaakkk, huuussss. Usir pikiran kotor kalian, biar Dipta aja yang kotor, kalian enggak nggak usah! Kalian semua suci, aku penuh dosa! Hus, balik lagi ke dunia nyata. Suara Bundanya masih berkumandang indah, bahkan suara adzan subuh saja sudah lewat sedari tadi. Kenapa suara Bundanya enggak kelar-kelar coba?! Ngalahin tukang seru adzan saja. Gemes deh, Dipta jadi pengen tabok Bunda. Astaugfirullah.... Ya Allah, ya Allah. Ampuni hambamu yang khilaf ya Allah, ucapnya dalam hati karena pikiran jahatnya pada sang Bunda yang cantik. “Abang, mandi Bunda bilang. Bukan nonton kartun terus. Ini hari senin Abang.” Anisa mengelus dadanya melihat putra pertamanya; Dipta, masih dengan tenang berselonjor di atas ranjang empuknya menghiraukan kemarahannya dipagi hari. “Bang. Tuk Lang  bawa Lembo.” Bang Atuk Dalang Bawa Rembo, begitulah ujar adiknya yang baru berusia tiga tahun menutupi layar televisi dikamar Dipta. For Information, Atuk Dalang adalah kakek-kakek tetangga dari tokoh utama serial kartun Negara Jiran, Upin-Ipin. Dipta amat menyukai tokoh kembar dalam kartun tersebut. Bisa dikatakan anak remaja berusia delapan belas tahun itu begitu menggilai kartun Negara tetangga tersebut. ”Awas, ngalangin Abang.” Teriak Dipta loncat dari ranjangnya. “Abang, Ya’ Allah itu si Arsa di apain Abaaaaang.” teriak Bunda Nisa melihat anak pertamanya mengeteng-eteng tubuh Arsa; putra keduanya, diketiak. “Abang piting Bunda.” Jawab Dipta enteng. “Astaga, Ayaaaaah anak kamu ini Ayah.” Teriak Bundanya berlari meninggalkan kamarnya. Gawat! Celaka, kalau sampai Ayahnya melihat Arsa dengan keadaan terjepit ketek seperti ini. Bisa-bisa Ayahnya itu mengamuk dan mengurangi pasokan uang jajannya. “My Bro, Arsa yang ganteng.” puji Dipta. Padahal anak tiga tahun itu mengerti juga tidak dengan bahasa sang Kakak. “Abang ajak mandi berdua yuk.” ajak Dipta menarik paksa dan menggendong Arsa ke dalam kamar mandi di kamarnya. “Bang, Sa dah Mandi Bang.” Bang Arsa udah Mandi Bang, rengek Arsa mencoba turun dari gendongan Dipta. “Nggak Papa Sa, biar tambang ganteng kaya Abang. Arsa mandi lagi. Okeh.” ‘Maafkanlah hambamu ini ya Allah. Ini demi menyelamatkan uang jajan hamba yang terancam punah akibat kebiadaban Bunda hamba yang cantik. Sukanya ngadu kalau anaknya suka saya siksa ya Allah. Amien.’ Do’a Dipta dari dalam hati. Anak itu terkekeh sendiri mendengar doa yang ia panjatkan dalam hatinya. Memang anak durhaka dia mengatai sang Bunda biadab. Untung Bundanya tidak dengar. Bisa jadi ahli kubur dia kalau sampai Bundanya dengar. Diluar Anisa sudah menarik-narik lengan suaminya agar masuk ke dalam kamar putra pertamanya. Membuat acara nonton berita sang suami terganggu. “Ayo dong Yah, biar kamu lihat kelakuan anak kesayangan kamu Yah.” Anisa terus menarik lengan suaminya. Suaminya adalah Ayah kandung dari putra pertamanya; Dipta Darmawan. Iyalah, Ayah kandung. Kalau nggak kandung sudah diracun kali itu si Dipta kelakuannya aja kaya mau narik dajjal dari alamnya. “Apa sih, Bun. Itu tuh bagus beritanya Bun.” elak sang suami. Nisa masih kekeuh menyeret paksa sang suami. “Ayo deh Yah. Anak kamu tuh, masa adeknya di keteng-keteng kaya bawa kresek aja sih.” gerutu Anisa, membuat mata Farhan melotot tajam.  Anaknya diketeng-keteng? “Mana itu anak bandel?” tanya Farhan membuka kamar Dipta. Anisa dan Farhan sama-sama mengedarkan matanya guna mencari keberadaan dua putra mereka. “Mana si Abang Bun?” tanya Farhan. Anisa menggelengkan kepalanya. “Tadi disitu Yah, nonton kartun.” jelas Anisa menunjuk ranjang Dipta yang sudah kosong. Farhan mendengar suara cekikikan dari dalam kamar mandi putranya. Samar-samar dia melangkahkan kakinya kecil ke arah kamar mandi. “Abang.” Farhan mengetuk pintu kamar mandi. Dan terbukalah pintu tersebut menampilkan Dipta yang hanya mengenakan handuk dibagian tubuh bawahnya. Anak berusia delapan belas tahun itu tengah menggendong Arsa sang adik. “Abang abis mandiin adek Yah.” kata Dipta menatap sang Bunda. Arsa hanya mencebikkan bibir. Anak berusia tiga tahun itu menggigil karena harus mandi dua kali di pagi hari. “Yaudah, cepetan ini udah jam tujuh kurang Bang.” ucap Farhan mengambil tubuh Arsa dari Dipta. Apaaa???? Jam tujuh kurang??? Demi sempak si Mail, tolong katakan Ayahnya tengah berdusta. Ini hari senin dan yang pasti seluruh anak akan berlomba  untuk mendapatkan tempat parkir agar tidak di aniaya guru BK Angkasa Jaya. “Bundaaaaaaaa, seragam Abaaaang dimanaaaa?” teriak Dipta membahana mencari dimana seragam sekolahnya. “Idih, mana Bunda tahu.” Jawab sang Bunda sewot lalu menarik lengan sang Ayah yang menggendong Arsa keluar dari kamarnya. “Bundaaaaaaaa jangan dustai Abang Bundaaaa.” Teriaknya membuat Bundanya membanting pintu kamarnya kencang. BraaKKK... “Arrrgg Bunda gue durhaka amat sama anaknya ya Allah.” Teriak Dipta murka lalu berlari kearah lemari pakaiannya. Glodaakk.. “Anjiiing! Handuk sialan, pakai nyirempet. Sakit bego.” Makinya menunjuk-nunjuk handuknya yang tergeletak dilantai. “Abaaang, jam tujuh nggak usah drama.” Teriak sang Bunda kencang, membuat Dipta kalang kabut. “SERAGAAAAM AING DIMANA YAOLOOOOH.” “Kaos kaki gueeeeeeeeee.” “Tas GUEEEEEE ANJIIIING!” “SIALAAN GUE BELOM PAKAI SEMPAAAK! “ABAANG MULUT.” Mendengar teriakan tersebut Dipta mengatupkan mulutnya serapat mungkin. Bisa jadi mayat dia kalau sampai Bundanya tiba-tiba masuk ke dalam kamar membawa alat pel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD