Dira..

1313 Words
Seorang gadis menggeliatkan tubuh di atas ranjang empuk kesayangann. Sedari tadi kupingnya benar-benar gatal mendengar dering ponsel yang tiada hentinya berdering. Dering ponsel yang akan selalu berbunyi kala pagi hari datang. Dering alarm sialan, yang membuatnya harus rela mengorbankan tidur nyenyaknya. Satu Dua Tiga... “Mulai.” Ucap gadis tersebut dalam hati, dengan tangannya yang menutup wajah hingga  kedua telinganya dengan bantal putih miliknya. “Ardiraaaaaaaaaaaa bangun Mami bilaaaang.” Teriak seseorang dengan suara dipintu kamarnya. Brakk.. Braakk.. Braakkk. Ardira atau yang sering dipanggil Dira hanya bisa menggelengkan kepalanya, saat sang Mami yang sejauh ini masih bernama Mira itu beraksi menendangi pintu kamarnya. Kebiasaan pagi yang selalu terjadi disetiap hari yang menurutnya sangat menyebalkan, bahkan di hari minggu sekalipun. “Dira sekolah, Dira.”, lanjut Maminya tak henti. Membuatnya mau tak mau harus segera bangkit dari ranjang kesayangannya. “Mami kejam.” Batinnya memberenggut kesal. Namanya Dira. Ardira Maesaty. Ia hanyalah seorang putri tunggal dari pasangan yang menurutnya, em- bisa dibilang sedikit menggemaskan baginya. Hidup bersama kedua orang tuanya selama delapan belas tahun membuatnya hafal dengan watak sang Mami. Jadi dari pada Maminya yang galak itu terus menendang pintu kamarnya, ia benar-benar harus rela mengambil handuk. Ish, kenapa matanya saat ini benar-benar berkhianat sih. Membuat Dira memutuskan untuk termenung sebentar saja sembari berdiri, dari pada ketiduran nanti jika masih berbaring. Dua menit, hanya butuh dua menit untuk mengumpulkan nyawanya yang direnggut paksa sang oleh sang Mami. “Senin sialan.” Maki Dira kesal. Dira berjalan ke arah pintu kamarnya, saat suara Maminya mulai tak terdengar. Sepertinya gencatan senjata sang Mami sudah berakhir. Lawan sudah menyerah begitu saja. Waktunya Dira mengintai musuh sekarang. Ceklek. “Eh, eh. Jatuh Mami Dir.” kata sang Mami sambil terhuyung kebelakang, karena menyandarkan punggungnya dipintu kamar Dira. Dira dengan sigap menahan tubuh Maminya, jangan sampai dia masuk neraka karena dicap malaikat sebagai anak durhaka pada sang Mami. “Kamu mandi gih, Mami tunggu dimeja makan ya.” Ujar sang Mami yang diangguki oleh Dira. Dira menutup pintu kamarnya dengan malas. Malas, iya malas. Nggak salah denger kok. Eits, maksudnya nggak salah baca. Malas,  karena hari ini adalah harinya anak-anak sebayanya sekolah. Bisa bayangin nggak sih, dua hari sebelum hari ini adalah hari sabtu dan minggu. Week end dan ia menikmati liburannya yang amat terasa sangat pendek itu, lalu tiba-tiba setelah hari minggu ia harus sekolah lagi. Jujur saja Dira tidak suka itu, kenapa tidak setiap hari aja week end-nya. Dengan setengah kaki yang diseret, Dira berjalan masuk ke dalam kamar mandinya. Lima menit telah berlalu, Dira memandang cermin didepannya. Mandi lama ataupun sebentar hasilnya akan sama saja, sama-sama tidak berubah menjadi artis Korea idamannya. Makanya cukup tiga menit dia bermain-main dikamar mandi saat pagi hari. Bersih kok bersih. Baginya tiga menit itu waktu yang efektif untuk dia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Jangan heran, karena memang begitulah rutinitas paginya. Hanya mandi ala-ala saja. Ala-ala cyin, yang penting kena air aja, rebes. “Perfecto, Mamamia Lezatoo....” ucapnya. Dira terkekeh dalam hati. Bisa-bisanya dia gila di pagi hari. Ini pasti efek dari bertemu dengan Maminya yang hebring itu. Dira turun dari kamarnya. Kamarnya memang berada di lantai dua kediaman Maesaty. Tujuannya saat ini hanya satu, mengisi bahan bakar perutnya yang mulai berdemo saking tak tahu dirinya. Dengan wajah datarnya, gadis berumur delapan belas tahun itu menuruni tangga, setelah sampai di ruang makan, dia mendudukkan pantatnya disalah satu kursi yang kosong. “Dira, jangan lupa ya nanti pulang sekolah langsung ke caffe. Mami mau ngomong penting.” Hah? Caffe? Caffe siapa? “Maaf Mi, interupsi, nanya-nanya dikit ya.” Sela Dira, “Caffe yang mana ya? Perasaan Papi enggak beli Caffe deh?” tanyanya dengan nada yang menurut Mami sangat menjengkelkan. Sudah menginterupsi, menyindir pula keadaan sang Mami yang tidak memiliki kafe. “Caffeenya temen Mami.” Ujar Mami Mira sewot. Dibalik ke-tidak pedulian Dira akan kafe milik siapa itu, sebenarnya Dira ingin sekali tertawa ngakak, membahana kalau perlu, melihat ke-kekian sang Mami. Kalau ibarat bahasa anak gahul jaman sekarang tuh, cracky, pecah-pecah, garing, kriuk-kriuk macam kerupuk.  Balik lagi, ke Dira. Bodo amat batin gadis remaja itu. Masalahnya letak Caffenya saja dia nggak tahu, mau bertanyapun,  Dira sudah nggak punya minat. La wong, bukan Caffe milik Papi-Maminya juga. Buat apa? Nggak bisa makan geratis juga dia-kan? “Ardiraaaa Maesatyyyyy.”  Mira, sang Mami berteriak nyaring saat mendapati putrinya yang tidak menaruh minat pada perkataannya. Sembari memasukkan kotak makan berwarna hijau ke dalam tas ransel putrinya, ia menatap lekat Dira. Nampak jelas memang, gadis yang sejauh ini lahir dari perutnya itu tidak memperhatikannya. Karena sedari tadi jika diperhatikan gadis tersebut selalu fokus pada apa yang digenggamnya, membuat wanita tersebut harus berteriak untuk mengambil perhatian putrinya kembali. “Dira, denger Mami kalau Mami lagi ngomong.” Kesalnya pada sang putri yang tak kunjung menjawab dirinya. Dira menatap kesal pada wanita yang mengatasnamakan diri sebagai Maminya tersebut. Bukan Mami tiri kok, tapi selama hidup berasa kaya anak tiri karena selalu diteriakin. Cerewet batin gadis itu. Maminya ini benar-benar jagonya membuat kesal, apalagi di pagi hari. Bukannya nyuruh Dira langsung pulang, malah disuruh mampir ke Caffe. Ibu macam apa Maminya ini? Jangan-jangan, Dira mau dijual lagi. Tapi mana mungkin coba. Ngeselin kan Maminya ini.   Belum lagi nih ya,  ulah Maminya yang selalu membawakan Dira bekal untuk dimakan disekolah, benar-benar membuat Dira malu bukan kepalang. Berasa anak Tk tahu nggak sih, pikirnya. Hell, bayangkan. Anak SMA kelas dua macam dia ini, ke sekolah harus bawa bekal setiap hari. Mau ditaruh dimana muka cantiknya selama ini. p****t? “Dira.” hardik sang Mami. “Denger Mi.”  masih menatap ponselnya, Dira menjawab hardikan sang Mami. Ingin rasanya dia berkata kasar, namun takut kalau nanti dia dikutuk jadi artis terkenal, kan berabe jadinya. Bisa-bisa diuber fans fanatik, nanti dia nggak bisa makan enak karena pada ngajakin foto geratis lagi. Kaya selebgram yang lagi naik daun itu tuh, mau makan aja susah. Hidih, amit-amit. Ogah deh! “Awas ya, bekalnya dihabisin s**u kotaknya juga,  H-A-B-I-S-I-N.” tekan Maminya pada kata HABISIN tersebut, membuatnya bergidik ngeri. Ya ampun kenapa punya Mami begini sekali. Nggak habis thinking Dira,  dulu Omanya ngidam apa ya sampai Maminya begini. ‘Ngidam onta mungkin.’ teriak setan dalam hatinya, membuat Dira bergidik ngeri sendiri. “Iya-iya. Mami makin tua makin cerewet ih.” Setelah mengambil tasnya, Dira lalu mengambil kunci mobilnya yang berada dimeja. “Dira berangkat.” Pamitnya, tanpa melihat sang Mami. Sedangkan Papinya yang baru saja turun, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah putri tunggalnya tersebut. Mami dari Dira berjalan mendekati sang suami. Tangannya mengelus dadanya sendiri. Seolah-olah meratap akan kelakuan sang putri tercinta, yang sialnya hanya satu itu. Coba dulu enggak sok-sokan pengen anak satu aja. Kalau ilang kan Mira punya ganti. Nggak ngeratapin kelakuan anaknya yang begini amat gitu. “Kayanya mending dilaksanain cepet deh Thom. Lihat anak kita. Tuhan.. Mimpi apa aku Thom, punya anak satu begitu.” Sekarang justru Thomas, Papi dari Dira yang menggelengkan kepalanya melihat tingkah cerewet sang istri. Benar-benar lebai Mami dari anaknya ini. Untung saja putrinya Ardira Rahayu Maesaty tidak mewarisi tingkah lebai istrinya ini. Baru juga anaknya dibatin  di hati, orangnya sudah nongol kembali ke dalam rumah. “Pada ngapain sih? Pagi-pagi udah syuting sinetron aja.”  tanya Dira sambil menenteng sepatu sekolahnya yang tadi lupa ia pakai. “Diraaaa anak siapa sih kamu Diiiirrr.” teriak Mira kencang, membuat Dira terkekeh sendiri diluar. “Anaaak Mamiiiii Miiii.” Balas Dira tak kalah kencang sebelum masuk ke dalam mobilnya sambil tertawa sendiri karena berhasil membuat sang Mami kesal di pagi hari. Dira terkekeh pelan. Puas rasanya melihat sang Mami yang senewen di pagi hari. Gemas, pengen cubit pipi Maminya. Gitu-gitu juga, Dira ini sayang sekali pada sang Mami, cuman sehari tidak membuat Maminya berteriak rasanya ada yang kurang gitu dihidupnya. Kaya nggak ada manis-manisnya gitu. Le Mineral kali ah, ada manis-manisnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD