BAB 7

599 Words
Ali dan Ela berdiri di tepi jembatan Chanel, sambil menikmati pemandangan danau Lucerne. "Penyanyi itu mengatakan bahwa kita sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu". Ela tertawa, ia melirik Ali, "mereka tidak mengenal kita, jadi saya mengiyakan saja". "Kamu pandai sekali berbohong" "Biarkan saja, mereka semua tidak mengenal kita". "Tapi saya suka kamu mengatakan seperti itu". Ela menatap Ali, wajah itu begitu tampan, rambut gondrongnya sangat pas. Ingin sekali ia menyentuh rambut itu. "Bolehkah saya menyentuh rambut kamu". Alis Ali terangkat, Ia mendekatkan tubuhnya ke arah wanita itu "Ya, lakukanlah" Ela memberanikan menatap iris mata hazel Ali. Ela membuka topi hitam yang dikenakan Ali. Ali hanya diam, ketika tangan Ela menyentuh rambutnya dengan lembut. Ali memandang mata bening Ela, ia lalu meraih jemari Ela. Ela hanya diam dan sama-sama saling menatap, dengan tatapan yang sulit di artikan. Ali meraih pinggang ramping Ela, agar mendekat ke tubuhnya. Ia hanya diam ketika, Ali melakukan itu kepadanya. "Ternyata bahagia itu sederhana" u "sederhana, seperti apa yang kamu maksud?" Tanya Ela. "Hanya dengan melihat senyum dan tawa kamu seperti ini, sudah membuat saya bahagia". Ela tersenyum, ia lalu mengalungkan tangannya di leher Ali. Ali membuka topi yang dikenakan Ela, dan ia biarkan jatuh ke lantai. Ali sepertinya tidak peduli lagi, ada beberapa pasang menatapanya dari kejauhan dengan bidikkan kamera disana. "Apa pendapatmu tantang David Beckham, atau Ben Affleck?". "Bukankah mereka aktor Hollywood?". "Ya, bagaimana pendapat kamu?". Ela menarik nafas, dan ia mencoba berpikir, "menurut saya, mereka semua keren dan sangat tampan". "Ya, mereka memang tampan, seluruh dunia mengakuinya" timpal Ali. "Tapi kehidupan mereka sangat payah menurut saya. Mereka hanya keren di balik kamera. Setiap hari mereka selalu diikuti oleh paparazi, apapun yang mereka lakukan menjadi sorotan, mereka tidak sebebas kita. Mereka mungkin berpikiran betapa nyamannya menjadi kehidupan seperti kita, kita bisa melakukan apa saja, kemanapun kita pergi, dan kita tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Bukankah banyak artis yang mengakhiri hidupnya secara tragis? Mereka banyak yang depresi, hidup mereka penuh beban, dan saya sama sekali tidak tertarik dengan dunia seperti itu". "Benarkah? Saya pikir tidak semuanya seperti itu. Bukankah banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi seperti mereka?" Ali membelai rambut lurus Ela. "Ya, itu mereka, tapi tidak untuk saya. Saya tidak suka, privacy saya menjadi santapan publik. Ini lah kita dan ini lah kehidupan kita. Hanya kamu dan saya menikmatinya. Bagi saya itu sudah cukup, tidak perlu mengumbar-ngumbar di depan khalayak ramai dan tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain". Ali diam sesaat, menyimak apa yang Ela katakan. Apa yang di ucapkan Ela benar adanya. "Ya kamu benar" Ali tersenyum, ia tidak bisa menahan diri lagi. Karenanya sedari tadi ia sudah tergoda untuk mencicipi bibir tipis itu. Ali memberanikan diri mendekatkan wajahnya dan ia lalu mengecup sekilas bibir tipis itu. Ela diam sesaat, apa yang dilakukan Ali terhadapnya. Ela tidak percaya bahwa Ali mengecup bibirnya, hanya sebuah kecupan. Kecupan itu membuatnya tenang. "kamu mencium saya" "Ya, apakah tidak boleh?". "Kenapa kamu menciumnya seperti itu?" Sungut Ela. Ali mengerutkan dahi, "kenapa?". "Kenapa kamu mencium saya sedikit sekali, itu sama sekali tidak terasa, Al". Ali bersumpah, itu pernyataan paling absrud yang pernah ia dengar. Ia pikir Ela akan memarahinya karena tindakkan tidak sopannya, dan akan menamparnya ketika ia melakukan itu. Karena ia tahu, ini adalah awal pertemuannya dan ia tidak mungkin langsung menciumnya menggebu-gebu, karena ia sama sekali tidak ingin menjadi laki-laki lancang terhadap wanita. Sekarang wanita itu mmengatakan bahwa ia mengecupnya sedikit sekali. Ia tidak habis pikir, jika ia mau sudah dari tadi ia mencium wanita itu hingga kehabisan nafas. Ali kembali menatap bibir tipis itu, ia menarik nafas, dan mengalihkan tatapannya ke iris mata Ela. Ali meraih pinggang Ela semakin mendekat dan merapatkan tubuhnya. Sebelum wanita itu merubah pikirannya. Ali lalu meraih tengkuk Ela, dan di kecupnya bibir itu dengan segenap hati dan perasaanya. Bibir itu begitu manis, dan menenangkan. Ali mengeksplor bibir tipis itu, dan di hisapnya bibir bawah secara bergantian. Ali kembali menyesal bibir Ela, ia memberi akses agar menciumnya lebih dalam. Eka membalas kecupan-kecupan Ali. Ia sudah lama sekali tidak merasakan hal seperti ini. Inilah yang ia inginkan. Ali pencium yang handal dan ia sangat ahli. Rasa itu begitu menenangkan dan seakan tidak ingin berhenti. Hingga akhirnya keduanya kehabisan nafas. Ali melepaskan pangutannya, ia mengatur nafas. Begitu juga Ela, ia mengatur nafasnya yang sulit di atur. Ali mengelus bibir tipis Ela di kecupnya lagi bibir itu dengan segenap hati dan perasannya. Ali melepaskan kecupannya dan ia beralih ke kening Ela. Dikecupnya kening itu, dan ia tersenyum. "Kamu milik saya" ucap Ali. Ela mengerutkan dahi, ia menatap Ali. Ia seakan tidak mengerti, dengan tatapan itu. Sungguh ia hanya menginginkan sebuah ciuman di kota romantis itu, ia hanya menikmatinya saja. Tapi tidak untuk hati, tapi entahlah Ali berkata seperti itu seakan dirinya adalah miliknya. *********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD