Chapter 2

1693 Words
Arion Kalandra Ghandi. Pria tampan yang sedang duduk di kursi kebesaran nya didalam sebuah perusahaan besar milik keluarga nya, Ghandi Group yang bergerak di bidang properti. Di usia nya yang terbilang cukup muda untuk menjabat di posisi Direktur perusahaan membuatnya semakin berkharisma di mata semua orang, terutama para wanita. "Permisi, Pak Rion. Berikut jadwal bapak selama seminggu kedepan...." Seorang perempuan cantik, Sekertaris Rion menjelaskan beberapa jadwal Rion. "Kalau sudah, kau bisa pergi sekarang. Oh ya, Natalie setelah ini saya akan pergi dan tidak akan kembali lagi ke kantor jadi kau bisa pulang lebih awal." Dingin. Itulah sikap Rion kepada wanita manapun. Bahkan tersiar kabar kalau Rion tidak memiliki ketertarikan kepada perempuan, tetapi Rion tidak pernah mau menanggapi semua berita miring yang menimpa dirinya. Setelah Natalie permisi keluar ruangan, ada seorang pria tampan lain nya yang memasuki ruangan Rion. "Tampangmu tidak bisa di setting sedikit lebih ramah, bro?" Fabian menggelengkan kepala nya. heran. "Untuk apa aku harus seperti itu?" Rion menjawab ketus. "Supaya kau terlihat menarik di depan semua orang." "Aku harus bersikap seperti ini agar perusahaan ku maju." Kilah nya lalu membuka sebuah file yang ada di meja nya dan membulak-balikkan nya. Tidak ada yang mengerti perubahan sikap Rion beberapa tahun terakhir ini. Fabian memandang Rion dengan tatapan sedikit iba. "Jangan menatap ku seperti itu. Aku melihatnya." Suara ketus Rion membuyarkan lamunan Fardan. "Aku tidak melihatmu seperti itu. By the way, untuk apa kau memanggilku ke sini?" Fabian agak sedikit jengkel dengan Rion yang melupakan kalau dirinya lah yang memanggil Fabian untuk segera ke ruangan nya. "Kita harus ke New York, bertemu dengan calon investor kita." Ujar Rion meletakkan kembali file diatas meja. "Kenapa harus aku?" Fabiansedikit mengerang. Ia sudah merencanakan liburan beberapa hari kedepan bersama dengan para wanita cantik disekelilingnya. Tapi semua itu mendadal sirna begitu Rion berkata bahwa ia harus ikut dengannya ke NY. "Karena ini juga urusan mu, i***t. Jangan lepaskan tanggung jawab mu." Fabian terkekeh. Fabian merupakan partner kerja Rion sekaligus menjabat sebagai orang kepercayaan Rion dalam mengurusi hal yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. *** "Kenapa kau mengajakku kesini?" Rion bersungut di tengah hingar bingar klub malam. "Aku hanya mengajak mu bersenang-senang, bro." Cengiran Fabian membuat Rion memutarkan mata nya. "Besok kita akan melakukan perjalanan bisnis, bukankah seharusnya kau istirahat?" "Kau seperti anak kecil saja. Lagi pula kenapa juga aku harus diikutsertakan? Aku sudah merencanakan liburan ku tapi kau mendadak mengacaukannya." ujarnya sedikit jengkel. "Karena cuma kau yang aku percayai, jadi janganlah mengeluh." Rion mengedarkan pandangannya mengelilingi seluruh isi didalam klub malam. Banyak wanita seksi yang bertebaran diseluruh penjuru, tapi Rion sama sekali tidak berhasrat untuk menyentuh wanita manapun. itu sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Dua orang wanita seksi berambut panjang dan memakai pakaian yang memamerkan beberapa bagian tubuhnya. "Hai tampan, mau ku temani?" salah satu wanita berambut keriting menghampiri Rion dan bergelayut manja di sampngnya. "Tidak." Rahang Rion mengeras. "Kau baik sekali, cantik. Tapi sayang sekali aku sedang ingin ditemani sahabat ku saja malam ini." Perlakuan Fabian lebih baik, ia sempat mencium lembut bibir wanita itu sebelum ia pergi meninggalkan Rion dan Fabian. "Hei kau masih saja berlaku seperti itu dengan perempuan." "Memangnya aku harus bersikap seperti apa?" "Bersikap selayaknya pria normal pada umumnya. " Rion tidak menjawab. "Aku tidak tau mau sampai kapan kau akan bersikap seperti ini, tapi ku mohon jangan terlalu larut dalam keadaaan, Bro. Aku melakukan hal ini hanya karena aku peduli dengan mu." Rion menyunggingkan senyum nya. "Anyway, Thanks bro." *** Sebuah mobil sedan terparkir didepan sebuah pemakaman umum, seorang laki-laki tua keluar dengan dibantu menggunakan tongkat. Ada seorang pengawal yang berada disampingnya memberikan jalan kepada laki-laki tua itu. Beberepa menit kemudian, laki-laki tua itu sudah berdiri di hadapan sebuah makam yang bernisan batu pualam berwarna hitam. Matanya seketika memancarkan kesedihan yang mendalam. "Sudah lama sekali kau meninggalkan ku dan baru sekarang aku mengunjungimu. Maafkan atas keegoisan ku selama ini." Air mata mengalir membasahi kedua pipi nya yang sudah keriput. "Aku bahkan tidak sempat memperkenalkan diri kepada cucu ku sebagai kakek nya. apakah aku masih pantas bertemu dengan mereka yang sudah aku telantarkan selama ini?" air mata nya kini mengalir deras. "Maafkan aku, Farel anak ku dan juga Alina seharusnya aku tau bahwa kau memang yang terbaik untuk anakku." Didalam makam itu ada dua jasad yang terkubur berdampingan: Farrel Hadyan Lakeswara, dan Alina Felicia Damita *** . Langit kota New York tampak berawan, Davi mempercepat langkahkah kalau ia tidak mau kehujanan sebelum ia sampai pada Apartemen nya yang tinggal beberapa blok lagi. Ia melewati sebuah jalan besar, dan mampir untuk membeli kue di salah satu toko kue paling enak didekat apartemen nya. ketika ia memasuki ruangan yang memiliki aroma khas itu, ia disambut dengan pemilik toko kue yang bernama Audie. Wanita berambut pirang dan beramata biru itu langsung tersenyum sumringah ketika melihat Davi datang mengunjungi toko kue nya. "Akhirnya kau datang juga, sudah lama sekali ya rasanya aku tidak melihatmu." Audie memeluk erat Davi. "Tidak usah lebai seperti itu. Aku baru mampir ke tempatmu seminggu yang lalu." Audie tertawa renyah, memamerkan rentetan gigi putihnya yang rapi yang dihiasi dengan bibir tipis nya yang di lapisi lipstik berwarna pink. "Jadi apakah kau akan membeli Brownies?" tanya nya. "Iya sudah lama aku tidak mencicipi Brownies buatan mu." "Silahkan duduk dulu pelanggan ku, aku akan membungkusnya untukmu." Davi mengangguk dan memilih duduk di bangku dekat dengan jendela. Mata Davi mengelilingi seluruh penjuru ruangan yang di d******i berwarna pinky peach ini dengan teliti. Ia sangat menyukai bau khas kue yang baru keluar dari pemanggang. Sebuah getaran berasal dari balik saku celana Davi, ia mengeluarkan benda mungil itu dari dalamnya dan seketika wajahnya menjadi sumringah begitu menatap layar ponsel. "Halo pacarku, akhirnya kau menghubungi ku juga. Bagaimana kabarmu?" Sebastian tertawa renyah dari ujung telepon, "Maafkan aku, aku sangat sibuk belakangan ini. Aku tidak baik, aku begitu merindukan kamu." "Kalau kau merindukan ku, kenapa kau tidak meluangkan waktumu untuk mengunjungiku?" sungut Davi. "Maafkan aku, Sweety." "Iya, iya baiklah. Apakah sekarang kau masih berada di kantor?" "Iya, masih. Kau dimana?" "Aku ada di toko kue nya Audie." "Beli Brownies?" "Iya tepat sekali." "Sampaikan salam ku pada Audie, ada yang harus ku kerjakan lagi. Lusa tolong luangkan waktumu ya sayang aku ingin bertemu." Davi belum sempat menjawab, Sebastian sudah memutuskan sambungan teleponnya. Davi menghembuskan napas, ia harus mulai terbiasa tidak bertemu dengan Sebastian dalam jangka waktu yang lama, tidak seperti dulu saat mereka masih sama-sama banyak waktu luang dan digunakan untuk menghabiskan nya bersama. Davi kangen pria yang sudah mengisi hari-harinya dalam lima tahun terakhir itu. Beberapa saat kemudian, Audie datang sambil menenteng kotak cantik berwarna peach dan diberi pita. "Ini pesanan mu," Audie menaruh kotak tersebut diatas meja. Davi mengangguk, "Terima kasih banyak, Audie. Aku sangat menyukai brownies buatan mu." "Ya, ya aku sudah sering mendengar kau memuji ku." Audie tersenyum bangga. "Jadi apa kau mau langsung pulang?" Davi mengambil sekotak brownies dan mulai bangkit dari bangku nya. "Iya, aku tidak mau Dave menungguku terlalu lama di Apartemen, lagipula langit sudah mendung aku tidak mau terjebak hujan. Anyway, terima kasih sekali lagi." Davi mencium pipi Audie lalu kemudian ia beranjak pergi. *** "Memangnya kau sesibuk apa sampe tidak ada bahan makanan di dalam kulkas mu?" tanya Davi sembari memindahkan bahan-bahan makanan dari Paper Bag ke dalam kulkas. "Aku memang sibuk, sayang. Bagaimana dengan pekerjaan mu?" "Lumayan sibuk," ujar Davi menutup pintu kulkas dan membuka bungkusan makanan yang ia beli dari restoran. "Tapi kau menikmati pekerjaan mu?" "Tentu saja aku menikmati nya," Davi meletakkan satu piring spageti diatas meja diruang tengah. Sebastian mengambil piring dan langsung melahapnya. Davi memindahkan channel televisi yang menyiarkan siaran langsung seputar berita. "Bagaimana kabar Dave? Apa kau masih tinggal bersama nya?" Davi mengangguk, "Kabar Dave baik, dan aku masih tinggal bersama nya sampai aku akan menikah dan dia baru bisa melepasku." Ujar Davi tenang. Sebastian tidak menjawab. Mereka melanjutkan makan tanpa bicara selama beberapa menit. Davi mengintip reaksi pacarnya yang tidak berekspresi begitu mendengar kata menikah. Ia sangatlah maklum dengan pemikiran orang barat tentang suatu hubungan. Ia menghembuskan napas panjang. "Kau kenapa sayang?" tanya Sebastian. "Aku tidak apa-apa." Davi bangkit dan berjalan menuju mesin pencuci piring diikuti Sebastian yang rupanya juga sudah menyelesaikan makanannya. Sebastian memeluk Davi dari belakang, napasnya yang lembut terasa di tengkuk Davi, dan dengan lembut pula Davi mengelus lengan kekar milik Sebastian yang sedang mendekap erat tubuhnya yang mungil. Bibir Sebastian mulai mencium leher Davi, lalu mengigit pelan telinga nya. Tangannya membalikkan tubuh Davi dan kini mereka saling bertatapan. Hidung mereka bersentuhan dan kemudian Bastian mencium bibir Davi dengan lembut. Perlahan namun pasti, Davi mulai terlarut dalam suasana. Davi melingkarkan kedua tangannya di leher Bastian dan mulai menjambak rambut Bastian ketika ia mulai memasukkan tangannya ke dalam kemeja nya. "Bas..." Erang Davi. Bastian mulai mengeksplore tubuh Davi. "Aku sangat merindukan mu, Hunny." Bastian berbisik di telinga Davi. Tangan Bastian masih berada didalam kemeja Davi sedangkan tangan satu nya mulai memasuki kedalam celana hitam Davi. "I want you more.." Bastian mulai membuka kancing kemeja Davi. "No Bas, I cant." Davi menggeleng keras. Ia mulai melepaskan tangannya dari leher Bastian dan mencoba untuk mendorong Bastian. Tapi Bastian tidak mendengarkan. "Bastian..." Bastian masih tidak mendengarkan. "Bastian, Please stop. I cant do this." Barulah kali ini Bastian benar-benar berhenti. Ia menatap wajah kekasihnya itu dengan pandangan tidak percaya. "Kenapa Davi?" "Aku belum siap. Aku tidak bisa melakukan yang lebih sebelum adanya ikatan pernikahan. Kau tau itukan?" Davi mendorong Bastian dan ia merapihkan kembali kemeja nya yang sudah berantakan karena ulah Bastian. "Iya aku tau sayang, tapi kita kan pacaran sudah lama tapi kenapa kita belum juga melakukan hubungan yang lebih?" "Bastian, aku sudah menjelaskannya padamu bukan?" "Tapi aku tidak bisa—" Bastian menggantungkan kalimatnya. "Tidak bisa apa? tidak bisa menikah maksudmu?" "Hunny, this is New York." "Lalu kenapa? Apa di New York tidak ada pasangan yang menikah?" "Tapi itu—" "Aku tau Bas, dan aku tidak memaksamu dan kamu juga jangan memaksa aku dengan komitmen yang aku buat dari awal dan kita udah sepakat itu." Bastian tidak menjawab. "Aku harus pulang, Dave sudah menunggu. Hubungi aku ya." Davi mencium pipi Bastian lalu pergi. Davi memilih untuk tidak memperpanjang sedikit keributan yang terjadi diantara mereka, ia memilih untuk memberi Bastian waktu dan menyendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD