"Gimana tadi Fana sekolahnya, seru?" Lamunan Fana langsung menghilang saat diajak bicara oleh Denan.
"Senang Kek, Fana bahkan punya teman baru namanya Jihan."
Selama perjalanan pulang Fana terus menceritakan apa yang terjadi di sekolah, dan Denan dengan senang selalu menyahuti cerita dari Fana.
***
"Assalamualaikum," salam Fana dan Denan secara bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Fara yang kebetulan sedang berada di ruang tamu.
"Enak sekolah di tempat mahal?" sindir Fara.
Fana hanya mendengus dan langsung masuk ke dalam kamar. Fara memang seperti itu begitu pun dengan Fana, mereka memang sering berdebat bahkan mencela satu sama lain. Tapi tetap saja hubungan darah membuat mereka erat, jika salah satu sedang pergi pasti akan saling rindu.
Fana meletakkan tasnya ke atas kasur dengan sedikit kasar.
Fana duduk di atas kasur dengan pikiran yang terus berjalan, tadi di sekolah guru mengatakan jika kesulitan membayar uang bulanan bisa meminta keringanan pada pihak komite, tentu dengan syarat mengambil surat dengan isi yang menyatakan bahwa keluarga Fana adalah keluarga miskin.
Jujur Fana ingin mengurus itu, tapi bagaimana jika teman-temannya tahu jika Fana tidak seperti mereka? Fana hanya malu jika dikatai miskin, walau kenyataannya memang seperti itu.
"Fana tas jangan diletakkan di atas kasur, sana di sangkut." Ros berdiri tepat di samping pintu sambil memperhatinkan anak bungsunya yang baru pulang.
"Iya Ma." Fana langsung menyangkut tasnya di labang yang berada di dinding kamar Fana dan Fara.
"Shalat asar sana." Setelah mengucapkan itu Ros langsung beranjak pergi dari hadapan Fana.
Fana mengangguk, lalu menganti baju sekolah menjadi baju mandi. Tidak enak rasanya jika shalat tapi belum mandi.
Fana duduk di samping Mamanya setelah selesai shalat.
"Mama kita urus surat miskin yuk."
Ros menatap anaknya dengan mengernyitkan keningnya.
"Maksudnya?"
"Gini Ma, di sekolah Fana itu bayar uang bulanan bisa jadi setenggah aja kalau ada surat miskin."
"Iya nanti Mama suruh ayah buat urus."
Fana mengangguk, ini keputusan yang benar Fana sudah memikirkannya ia hanya kasian jika Mus akan sangat banyak beban. Fana tidak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Temanin beli cilok yuk."
Fara yang sudah rapi dengan jaket dan hijabnya menghampirinya.
"Ma minta uang dong beli cilok." Fana menyodorkan tangannya tepat didepan Ros, uang Fana sudah habis tadi di sekolah.
"Berapa?" tanya Ros.
"Nggak banyak kok lima ribu aja," jawab Fana.
"Kalau gitu Fara juga mau."
Emang seperti itu mereka berdua, jika Fana dapat maka Fara juga harus dapat seperti Fana, begitu pun sebaliknya.
Ros mengambil uang sepuluh ribu dari kantongnya dan memberikan kepada Fana dan Fara.
"Hati-hati ya." Fana dan Fara mengangguk mendengar nasehat Ros.
Saat hendak menuju motor, Ati langsung menghentikan langkah mereka.
"Fara nitip beli pisang goreng ya," ucap Ati. Fara mengangguk. "Ini uangnya." Ati memberikan uang senilai dua puluh ribu.
"Kembaliannya ambil aja buat kalian," lanjut Ati yang membuat Fana dan Fara tersenyum bahagia.
Fana langsung menaiki motor dengan Fara yang membawa motor.
"Ada bang Humam nggak di sekolah itu?" tanya Fara, Fana yang mengerti langsung menyaut.
"Ada, kan Kakak sendiri yang bilang dia ada di sekolah itu masa tanya lagi."
Fara memang pernah menceritakan tentang Human teman saat kakaknya sekolah dasar, jadi Fara itu suka dengan Human yang sekarang sekolah di Darmaga.
"Ya kan basa basi."
"Ganteng nggak sih?" tanya Fara.
"Ganteng sih, cuman Fana nggak suka biasa aja." Fana memang sempat melihat Human saat sedang berada di kantin.
Setelah selesai membeli cilok, Fana dan Fara langsung pulang ke rumah.
***
Sebelum tidur malam, Fana terlebih dahulu memilih roster, dan tentu sebelum tidur Fana tidak lupa membaca doa terlebih dahulu
"Bangun Fana." Ros terus mengoyang-goyangkan lengan sang anak bungsunya ini.
Fana hanya mengumam dan mengeliat pelan.
"Masih malam kok dibangunin," ucap Fana dengan lirih dengan suara serak.
"Apa malam ini udah pagi!"
Fana langsung terduduk di atas kasur saat terkejut mendengar ucapan Ros, perasaan Fana baru saja tidur tapi sudah pagi saja. Bagaimana bisa secepat itu? Mungkin karena Fana yang terlalu lelah sehingga tidak sadar jika sudah tidur selama delapan jam.
"Udah sana siap-siap." Ros membuka jendela kamar Fana.
"Kakak mana?" tanya Fana.
"Udah di luar lagi makan." Fana mengangguk, untuk hari ini pada pagi harinya Fana akan berangkat sekolah dengan Fara, sedangkan saat pulang sekolah nanti Fana akan dijemput oleh kakeknya.
Fana mengangguk dan langsung masuk ke kamar mandi, Ros menggeleng melihat kelakuan Fana yang sampai sekarang masih sangat susah dibangunkan.
***
Fana masuk ke dalam kelas dan duduk dibangku tempat biasanya ia duduk.
"Hai Jihan." Fana melambai ke Jihan yang ternyata udah sampai ke sekolah juga.
Jihan membalas lambaian Fana.
"Kamu Fana kan?"
Fana melihat ke arah cewek yang sekarang berdiri di sampingnya.
"Iya kenapa?" tanya Fana sambil melihat ke arah cewek yang berhidung pesek dengan kulit yang sangat putih.
"Udah siap pekerjaan rumah yang matematika?"
Fana mengangguk saja, Fana sendiri jujur tidak mengingat nama cewek yang ada di sampingnya.
"Udah." Fana emang sudah menyelesaikannya tadi malam.
"Mana?"
Fana heran, tapi tetap mengeluarkan bukunya. Pelajaran matematika sangat mudah bagi Fana, jadi semalam hanya butuh waktu sebentar untuk Fana mengerjakannya.
"Ini." Fana menampakkan bukunya.
"Sini." Tanpa tau malu cewek itu langsung merebut bukunya.
"Eh buat apa?" Fana gelagapan sendiri melihat bukunya yang ditarik.
"Mau nyalin." Fana membulat, dan bersiap menarik kembali bukunya. Fana menarik bukunya dengan sedikit kencang.
"Pelit banget si," ucap cewek itu dengan suara kesalnya. Cewek itu juga kembali meletakkan bukunya ke atas meja.
"Kasih nggak ni?" tanya cewek itu lagi sambil menatap Fana tajam.
"Oke deh." Fana mengalah, ia tidak ingin mencari masalah disaat awal-awal ia bersekolah. Pasti akan sangat tidak nyaman jika bertengkar padahal mereka masih anak baru.
Cewek itu tersenyum, sambil kembali mengambil buku di atas meja Fana.
"Mau masuk ke pertemanan kami nggak? Syaratnya adalah kamu harus ada ponsel keluaran terbaru yang sedang populer itu."
Fana gelagapan ia sendiri bahkan tidak pernah melihat ponsel mahal itu secara langsung. Fana hanya sering mendengar Fara yang ingin memiliki ponsel itu. Fana sendiri memang memiliki ponsel, tapi itu pun ponsel yang biasa saja.
"Nama kamu siapa?" tanya Fana mencoba mengalihkan pembicaraan yang tidak ia sukai itu. Mana mungkin Fana menjawab jika ia tidak punya uang, lagi pula Fana sudah punya teman satu saja sudah cukup yang penting Fana tidak sendirian saat di sekolah.
"Serius nggak tau?" Cewek itu tertawa pelan.
"Liat masa dia nggak tau nama aku," Cewek itu menatap cewek yang duduk di mejanya.
"Dia itu cewek terkenal di sekolah ini, namanya Ziyah, sedangkan nama aku itu Lisah."
Fana mengangguk pelan, setelah Ziyah langsung pergi ke tempat duduknya sendiri. Fana baru sadar bahwa Ziyah adalah perempuan yang ia temui kemarin yang memainkan kunci mobilnya.
Ziyah dan Lisah tampak sangat heboh, bahkan mereka mengajak cowok untuk berbicara. Fana mengangkat bahunya acuh, dari pada memperhatikan mereka lebih baik Fana membaca buku cetak.