Part 2

1020 Words
Tidak lama dari itu seorang guru masuk kedalam kelas, rupanya itu wali kelas mereka. Wali kelas Fana adalah pria yang bernama Fauzan. "Assalamualaikum, karena kalian anak baru Bapak mau kalian semua memperkenalkan diri masing-masing." Fauzan memberi perintah dengan suara tegasnya. Fana mengengam satu sama lain tangannya dengan erat, Fana malu. Apalagi ia duduk di urutan kedua artinya ia tidak akan lama lagi akan mendapatkan giliran selanjutnya untuk memperkenalkan diri. Tepat setelah puluhan menit baru sekarang giliran Fana yang memperkenalkan diri. "Nama saya Fana Adinda, asal sekolah dari sekolah negeri lima Banda Aceh." Akhrinya Fana bisa menghela napas lega. Setelah selesai memperkenal diri, Fauzan memberi nasihat untuk mereka yang masih merupakan murid baru, tepat setelah itu waktu istirahat tiba.  Fana sangat ingin jajan tapi ia tidak tahu arah kantin ke mana dan Fana tidak biasa ke kantin sendirian. Fana melirik sekitarnya, ada beberapa temannya disana, Fana begitu malu untuk memulai pembicaraan. Pada akhirnya Fana memberanikan diri, ia tersenyum ke arah teman yang berada di samping mejanya.   "Ke kantin yuk," ajak Fana, tidak tahu dari mana keberaniannya datang, intinya Fana yang sudah lapar dan tidak suka jajan sendirian. "Ayo."  Anak yang duduk di sampingnya menyetujui. Maja di kelas ini terletak secara masing-masing tidak ada yang duduk berduaan. "Nama kamu siapa?" tanya Fana. "Jihan." Fana mengangguk sambil memperhatikan teman barunya itu. Wajah Jihan sangat cantik menurut Fana. "Kalau kamu siapa?" tanya Jihan balik sambil ikut menatapnya. "Fana." Jihan mengangguk mengerti, mereka pun langsung ke kantin membeli beberapa makanan setelah selesai membeli mereka duduk di depan kelas. Setelahnya mereka asik makan, kali ini Fana membeli ayam begitupun dengan Jihan. Ayam ini sangat enak padahal harganya juga sangat terjangkau. Hening tidak ada yang berbicara, Jihan sendiri tidak tahu harus bertanya apa begitu pun dengan Fana.  Fana berpikir keras mencari pertanyaan, pada akhrinya Fana pun memulai pertanyaan. "Kamu nanti siang makannya beli atau di antar?" tanya Fana. Karena ini sekolah terfavorit tentu saja pelajarannya juga lebih banyak dari sekolah lain. Hari senin, rabu, dan kamis seluruh siswa akan mengikuti pembelajaran lagi setelah makan siang sambil jam setenggah lima. Sedangkan pada hari selasa, seluruh siswa akan melakukan diniyah-pembelajaran khusus agama sampai pukul enam sore. Dan untuk hari jumat dan sabtu jadwal mereka pulang lebih cepat. "Nanti aku di antar."  "Kalau aku nanti beli nasi aja di kantin," ucap Fana tanpa ditanya. Bagusnya lagi di sekolah ini juga menjual nasi yang baru dimasak bukan nasi yang sudah dingin. Kantin disini berjumlah enam, ada yang berjualan nasi, mie, bakso, kue, lontong, ayam goreng dan masih banyak lagi.  Dan kebetulan Ayahnya memberi Fana jajan sebesar lima belas ribu itu pun juga untuk membeli nasi saat siang hari. Fana awalnya meminta uang lebih, karena ia rasa uang segini sangat kecil karena Fana harus membeli nasi yang seharga sepuluh ribu. Ayah Fana pun memberi pengertian bahwa jika nanti ada rejeki tambahan akan menaikan uang jajan Fana. Tring Tring Tring. Bell menunjukkan jika waktu istirahat sudah selesai, Fana dan Jihan langsung masuk ke dalam kelasnya. Pembelajaran pun di mulai kembali.  Fana sedikit terkejut karena ada istirahat kedua berbunyi lagi, ia kira hanya satu lagi. Karena uangnya tinggal sedikit untuk membeli nasi saja, jadi Fana tidak pergi ke kantin lagi dan untungnya Jihan tidak mengajaknya ke kantin lagi. Jadi Fana dan Jihan menghabiskan waktu mereka dengan hanya bercerita hingga Bell kembali berbunyi. Sungguh melelahkan Fana merebahkan kepalanya ke atas meja. Jam sudah menujukkan pukul setengah dua siang, tapi bukan berarti Fana akan pulang ke rumah setelah makan dan shalat mereka akan melanjutkan untuk belajar tambahan.  "Temanin aku ke kamar mandi yuk." Fana mengangguk dan pergi ikut bersama Jihan turun ke lantai satu untuk ke kamar mandi. Fana menunggu Jihan di depan kamar mandi, kamar mandi sekolah ini tampak sama seperti sekolah dasarnya dulu jadi tidak ada istimewa. Tidak lama Jihan keluar dari dalam toilet. "Kamu mau nggak ke depan temanin aku? Mau ngambil nasi yang diantar ayah."  Fana mengangguk walaupun jarak dari sini ke depan sana tergolong jauh. "Makasih, senang deh punya kawan kayak kamu," Jihan memegang lengan Fana. Fana tersenyum bahagia mendengar itu, ia senang jika teman barunya senang berteman dengannya. Mereka berjalan dengan saling berpegangan tangan. "Jihan, rumah kamu jauh nggak dari sini?"  "Nggak sih, jauh sedikit." "Itu ayah aku." Jihan menunjuk di mana mobil ayahnya terparkir di dekat sekolah. Jihan mengambil nasi yang ayahnya bawakan, Fana kagum dengan mobil ayah Fana yang sangat bagus. "Udah ayo ke kelas." Fana dan Jihan kembali ke kelas mereka. Di dalam kelas sudah banyak yang sarapan bersama. Fana dan Jihan ikut makan, mereka tidak bisa menundanya karena setelah makan mereka akan melanjutkan dengan melaksanakan shalat. Saat makan, tanpa disengaja matanya mengarah pada seorang pria seumurannya yang ternyata akan shalat dengan rambut pria itu yang agak basah karena bekas wudhu. Fana kagum, ia makan sambil menatap pria itu.  Tiba-tiba pria itu melihat ke arahnya juga, dengan cepat Fana langsung mengalihkan pandangannya jangan sampai pria itu mengetahui jika Fana memperhatikan dia sedari tadi. Kalau tidak salah nama pria yang Fana kagumi itu bernama Gantara, Fana mengetahui itu karena awal sekolah tadi mereka sempat memperkenalkan diri masing-masing. Di kelas ini hanya satu orang yang belum memiliki teman yaitu gadis yang duduk ke belakang paling pojok, Fana tidak suka melihat gadis itu entah apa alasannya. "Shalat yuk."  Fana mengangguk, mereka menuju mushola yang berada di dalam lingkungan sekolah. Sungguh mushola ini sangat cantik, Fana sangat suka. Mereka pun wudhu bersama setelahnya melakukan shalat. Rasanya sangat senang saat sudah selesai shalat, tubuh Fana jadi segar kembali. *** Fana keluar dari gerbang sekolah karena sekarang sudah waktunya pulang ke rumah, rasanya sangat capek tubuh Fana seakan-akan remuk begitu saja kepalanya juga pusing. Mungkin ini karena pertama kalinya Fana sekolah tapi pulang sangat telat seperti ini. Tiba di depan pagar, Fana sudah melihat kehadiran Denan. "Kakek," seru Fana sambil tertawa pelan. "Ayo naik," ucap Denan, Fana langsung naik ke sepeda motor. Saat dilihat anak di sekolah ini lebih banyak dijemput oleh mobil dari pada sepeda motor, tapi ada juga beberapa yang membawa sepeda.  Bahkan Fana bisa melihat betapa sombongnya anak yang berlari dengan kunci mobil yang di mainkan seolah-olah sedang menunjukkan jika dia memiliki mobil, entahlah mungkin itu hanya prasangka buruk Fana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD