Emoticon Love

1569 Words
Hari ini Hasna menyiapkan makan malam spesial untuk anak dan suaminya. Tidak ada hal istimewa, hanya saja Hasna sudah tidak mengalami fase mual lagi. Ia dengan senang hati membuat makan malam. Apalagi perlakukan Surya sudah kembali seperti dulu, ia dapat bernafas lega. “Halo Mas,” “Iya Na, kenapa? Kamu baik-baik aja kan?” “Hehe aku baik Mas, pulang jam berapa nanti?” “Hemm belum tahu, kayaknya telat Na. Maaf ya.” “Emang Mas lembur lagi? Kok lembur tiap hari si Mas? Nggak ada yang sembunyikan?” “Aku nyembunyiin apa Na? Oke aku usahain pulang cepat. Udah kangen aku pasti kan?” Hasna tersenyum malu, “ Iya, dedeknya kangen sama Mas juga.” Terdengar tawa kecil dari seberang sana. Hasna jadi ikut tertawa, tangannya tanpa sadar mengusap perut yang sudah terlihat benjolannya. “Iya Sayang, nanti Mas pulang cepat ya. Oh ya mau dibawain apa?” Hasna menahan senyumnya, panggilang sayang memang sering Hasna dengar akhir-akhir ini. “Hemm, nggak ada si Mas. Rencananya aku mau masak, makanya nanya pulang jam berapa.” “Yakin bisa masak? Nggak mual lagi kah? Nggak usah dipaksa masak lo, Abian sama Agra juga nggak nuntut kan buat makan masakan kamu?” “Mas ngomong apa sih? Agra sama Abian nggak nuntut kok hehe, Cuma pengen masak aja lo. Udah lama juga nggak masak.” “Yakin nggak mual?” “Yakin suamiku, nanti kalau nggak masak-masak Mas makan masakan perempuan lain lagi.” “Emang iya si.” Hasna terdiam, ia seperti mencerna Sesuatu yang aneh. “Ha? Mak-sud Mas apa?” “Jangan tegang gitu, Mas memang sering beli makan di luar kan? Ya yang jual kan perempuan. Gimana sih Sayang!” Hasna tertawa kecil, ada-ada saja suaminya ini. “Nggak suka bercandanya gitu.” “Makanya jangan suka bahas-bahas perempuan lo Na, Satu aja udah pusing gimana mau dua?” “Ih Mas ini ya, oh ya kayaknya Abian mau nitip beli sesuatu deh.” “Mau apa dia?” Hasna bertanya kepada anak ketiganya, “Ayah nanya, Abian mau di beliin apa?” “Ice cream aja Yah,” jawab Abian dengan mata berbinar-binar. “Ice cream kata dia Mas.” Hasna mengulang lagi apa yang dikatakan anak ketiganya. “Iya-iya, Mas dengar kok. Ya udah nanti Mas kabari lagi ya, mau lanjut kerja soalnya.” “Iya Mas, semangat ya.” “Iya Sayang.” Hasna menutup panggilannya. Ia langsung beranjak ke dapur. Bingung, sudah lama ia tidak pergi ke pasar karena dilarang oleh Surya sehingga bahan-bahan makanan yang ada di dalam kulkas menipis. Bahkan ada yang sudah busuk. “Masak apa ya?” gumamnya pelan. Diliriknya jam di ponsel, ternyata sudah pukul empat lewat tiga puluh menit. Biasanya Surya akan pulang setelah shalat maghrib. Hasna menghubungi kembali sang suami dengan mengirimi pesan, sepertinya ia tidak jadi memasak karena bahan-bahan tidak ada. Ke pasar pun tidak mungkin karena sudah sore begini, sayur-sayur pasti sudah banyak yang layu. Hasna memilih masuk ke kamar. Rona merah bermunculan di wajah Hasna, ia sudah seperti ABG-ABG yang jatuh cinta. Lihat saja Surya membalas pesannya dengan begitu banyak emot love. “Bu, Agra keluar bentar ya,” pamit Agra. Hasna langsung keluar kamar, “Mau kemana? Udah sore lo ini.” “Mau beli cemilan bentar Bu.” Lihatlah anaknya ini, mengalahkan Abian kalau soal jajanan. Masih untung jajanan Abian seribu-seribu, kalau Agra bisa saja dua puluh kali lipat. “Jajanan tu nggak sehat lo, ngemil buah aja kenapa?” Agra mengerutkan keningnya, “Nggak enak lah Bu, bentar doang juga.” “Ikut!!!” Abian langsung berteriak heboh. “Nggak usah, Abang mau ketemu teman juga. Ibu nggak ada teman di rumah.” “Pokoknya ikut!” “Nggak kasihan kalau Ibu di rumah sendiri?” Abian cemberut, ia langsung masuk ke kamar. “Ibu nggak apa-apa di rumah sendiri, jangan keras gitu sama adek kamu.” Mata Agra menyipit, “Sesekali harus dikerasin, jangan terlalu dimanja Bu. Nggak selamanya hidup bakalan enak.” Hasna menghela nafas panjang, “Jangan lama-lama pulangnya.” Agra mengangguk, ia lantas keluar rumah. Ternyata Surya menepati  janjinya untuk pulang cepat. Lihatlah sekarang, ia sudah pulang dengan membawa dua bungkus plastic. “Nggak telat kan?” tanya Surya sambil mengecup kening Hasna. Hasna menggeleng. Ia lantas ingin membawa tas kerja Surya ke dalam, tetapi Surya segera mencegahnya. “Nggak usah!” Surya menaruh 2 bungkus plastik di atas meja, “Bian ini ice cream nya.” Abian langsung berlari keluar dari kamar, “Ayah udah pulang?” “Udah dong, ingat makannya jangan banyak-banyak ya. Ayah mau mandi dulu.” “Siap Pak Bosss!” Abian memberikan hormat. Surya dan Hasna tertawa melihat tingkah menggemaskan sang anak. Mereka meninggalkan Abian yang sudah sibuk dengan ice creamnya. Surya memilih untuk mandi, bau badannya sudah menyengat. Apalagi seharian ia bekerja. “Mas mandi bentar ya,” ujar Surya. Hasna mengangguk. Ia memilih menunggu sang suami di kamar. Hasna berencana mencuci  pakaian kerja sang suami keesokan harinya, ia memeriksa pakaian tersebut takut ada hal penting yang berada di sela kantong. Hasna hanya menemukan kertas tagihan makanan dan ponsel. Ia meletakkan ponsel di ranjang. Layarnya terang seketika, sepertinya ada notifikasi masuk. Tiba-tiba saja matanya langsung melotot. Hasna mengucek-ngucek matanya, kali saja salah lihat. 08355xxxxx Terima kasih udah nganter dan makanan nya Mas, kalau udah sampai kasih tahu langsung ya (Emot love) Hasna mencoba untuk tenang, ia langsung tergesa-gesa ke meja makan. Melihat makanan apa saja yang dibeli Surya. Hanya empat porsi makanan, tetapi di kertas tagihan ada 6 porsi. “Tenang Hasna, tenang!!!” Berulang kali Hasna menahan dirinya. Jika hanya pesan ucapan terima kasih maka Hasna bisa maklum, tetapi ada emoticon love di akhir pesan itu. Coba bayangkan apa Hasna bisa berpikir waras untuk sekarang. Ia membuka ponsel sang suami, ternyata password kuncinya tidak berubah. Memang tidak ada pesan yang lain dan hanya itu saja. Hasna benar-benar dibuat bingung.  “Baju Mas mana Na?” Hasna terdiam, dia menggenggam ponsel Surya dengan sangat erat. Bahkan urat-uratnya terlihat jelas. “Hasnaaa…” panggil Surya pelan. Hasna menghela nafas panjang, ia berusaha menormalkan detak jantungnya yang mendadak menggila.  Ia berbalik dengan raut wajah yang tidak biasa. Surya pun bertanya-tanya ada apa dengan istrinya. “Ada masalah?” Hasna langsung memberikan ponsel sang suami, “Coba liat.” Surya kebingungan, ia langsung melihat ponselnya. “Lihat apa?” Rasanya Hasna ingin melempar apapun saat ini, masih bisanya Surya bertanya lihat apa. “LIhat dulu baru ngomong.” Surya membuka ponselnya. “Siapa yang Mas beliin makan dan anterin pulang?” lanjut Hasna bertanya. Siapapun akan tahu jika ia menahan emosinya. Surya terdiam, “Mas bi-sa jelasin.” “Jelasin apa? Aku nggak bodoh Mas, siapa dia?” “I-ini nggak seperti yang kamu pikirkan Na, tolong dengerin Mas dulu.” Surya ingin menyentuh pundak sang istri, tetapi langsung ditepis oleh Hasna. “Jangan pegang-pegang aku,” ketus Hasna. “Bukan siapa-siapa. Mas ke-“ “Ketemu di jalan terus beliin dia makan dan ngantar pulang, gitu? Basi Mas. Apa dia orang yang keluar dari mobil beberapa waktu yang lalu?” potong Hasna langsung. Surya diam, “Enggak Hasna. Mas nggak ada apa-apa sama dia.” “Mas kamu tahu? Aku kira dengan hamil bisa buat kamu lihat aku dan anak-anak lagi, tapi kenyataannya apa?” ujar Hasna penuh penekanan. “Aku nggak bodoh Mas, mungkin kamu bakalan bilang ada orang iseng atau salah kirim emot atau bahkan orang yang berusaha ganggu rumah tangga kita. Semua alasan kamu basi Mas,” lanjut Hasna lagi. Matanya sudah memerah. “Terserah kamu mau nuduh aku kayak gimana? Aku memang nggak ngelakuin apa-apa,” balas Surya membentak. Hasna menelan air ludah nya dengan susah payah. “Aku mohon sama kamu Mas, sampai saat ini aku masih bertahan sama kamu hanya karena mikirin anak-anak. Ja-jadi aku mohon sama kamu, jika memang kamu udah selingkuh di belakang aku selama ini maka berhentilah sebelum semuanya semakin jelas dan aku yakin kamu akan menyesal nantinya. Ingat mas!!! Anak-anak udah besar semua, apa pendapat mereka jika ayah yang kata mereka baik melakukan tindakan menjijikan seperti itu?” Air mata Hasna sudah keluar, tetapi ia segera menghapusnya. Hasna tidak boleh terlihat lemah saat ini. “Aku bilang aku nggak selingkuh, kamu nggak percaya sama aku?” “Semakin kamu bilang kamu nggak selingkuh, semakin jelas Mas. Jadi jangan berusaha untuk terlalu menutupinya. Aku minta kamu berhenti, Kamu nggak perlu mikirin aku, cukup pikirin anak-anak.” Hasna langsung keluar kamar. Ia masuk ke dalam kamar Ayra. Dadanya sesak, Hasna tahu suaminya sudah berkhianat selama ini. Dia tahu kapan suaminya berbohong. Mereka sudah hidup dua puluh tahun, mana mungkin Hasna tidak tahu tentang sang suami. “Aku kurang apa Mas?” Lirih Hasna menyandar di pintu kamar. Tidak ada yang mendengar dirinya sama sekali.  Air matanya sudah tumpah dari pelupuk mata. Kenyataan hidupnya begitu pahit, selama ini Hasna sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tapi apa yang ia dapat? “Sampai kapan aku akan kuat?” “Sampai kapan aku akan bertahan?” lirih Hasna lagi. Siapapun tahu bahwa dia sangat rapuh. Hasna hanya bisa memukul dinding untuk menghilangkan rasa sakit di hatinya. Melampiaskan apa yang ada di dalam hatinya, seakan-akan tanpa sadar sudah membuat pikirannya kemana-mana. Beberapa menit kemudian, Hasna mencoba menahan segalanya. Ia langsung menghapus air matanya dan beranjak ke dapur, membuang makanan yang  dibeli oleh Surya. Hasna muak. Mulai detik ini, Hasna tidak akan menjadi perempuan lemah lagi.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD