Bab 6. Suara dari Ruang Tengah

975 Words
Beberapa bulan berlalu dengan begitu cepat. Pagi ini, Santi bangun dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Kepala terasa berat dan nyeri, membuatnya merasa kurang nyaman sejak ia membuka mata. Ruangan di sekelilingnya tampak terlalu terang dan seakan semakin memperburuk rasa sakit kepalanya. Santi berusaha duduk di tempat tidur, menggosok-gosok pelipisnya sambil menarik napas dalam-dalam. Ia merasa tubuhnya lelah dan tidak segar, seolah tidur semalam tidak cukup untuk mengembalikan energinya. "Kenapa kepalaku rasanya sakit sekali," ucapnya sambil terus menggosok pelipisnya. "Lebih baik aku ke dapur membuat secangkir teh hangat. Siapa tahu dengan begitu rasa sakit ini bisa sedikit berkurang." Pikirnya. Setelah beberapa menit, Santi memutuskan untuk keluar dari kamar dan menuju ke dapur, berharap segelas air atau mungkin secangkir teh hangat bisa membantu meredakan sakit kepalanya. Ia melangkah pelan-pelan, berusaha tidak membebani tubuhnya lebih dari yang bisa ia tanggung. Di dapur, Ijah, asisten rumah tangga yang setia, sedang mempersiapkan sarapan pagi. Ijah melihat Santi dengan wajah cemas saat ia masuk. "Selamat pagi, Nyonya. Anda terlihat nggak sehat. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ijah dengan nada lembut. Santi memaksakan senyuman. "Selamat pagi, Bi. Kepalaku terasa sangat sakit pagi ini. Mungkin aku hanya butuh segelas air atau teh." Ijah segera menyiapkan segelas air dan menyarankan Santi untuk duduk di meja makan. "Silakan duduk, Nyonya. Bibi akan buatkan teh hangat. Kadang-kadang, teh chamomile bisa membantu meredakan sakit kepala." Santi duduk di meja makan sambil menunggu teh, berusaha untuk merasa lebih baik dengan setiap tegukan air yang ia minum. Ia merasa berterima kasih atas perhatian Ijah, meskipun di dalam hatinya, ia merasa terasing di tempat yang sekarang menjadi rumah barunya. Setelah beberapa saat, Ijah membawa secangkir teh hangat dan meletakkannya di depan Santi. "Ini teh chamomile. Mudah-mudahan ini bisa membantu Nona merasa lebih baik." Santi mengambil cangkir tersebut dan menyeruput tehnya dengan hati-hati. Keberadaan Ijah dan kebaikannya sedikit banyak membantu meredakan ketegangan di kepalanya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba untuk mengumpulkan kekuatan dan menghadapi hari yang baru, meskipun perasaannya tetap berat dan penuh kekhawatiran tentang masa depan yang tidak pasti. Melihat Santi yang tampak sangat tidak nyaman dan kesakitan, Ijah merasa tergerak untuk membantu lebih lanjut. Dengan penuh perhatian, Ijah mendekati Santi yang sedang duduk di meja makan sambil meneguk tehnya. "Nyonya Santi, jika anda nggak keberatan, Bibi bisa mencoba memijat kepala Anda," kata Ijah dengan lembut. "Kadang-kadang, pijatan sederhana bisa membantu meredakan sakit kepala." Santi menatap Ijah dengan rasa terima kasih dan sedikit keputusasaan. "Itu akan sangat membantu, Bi. Terima kasih." Ijah meminta izin untuk memijat dan mulai melakukan pijatan ringan di sekitar pelipis dan tengkuk Santi dengan gerakan lembut dan terampil. Ia menggunakan jari-jari tangannya untuk memberikan tekanan yang lembut namun menenangkan, berusaha untuk mengurangi ketegangan di kepala Santi. Santi menutup matanya dan merasakan pijatan tersebut dengan penuh rasa syukur. Ia merasakan sedikit perbaikan saat Ijah bekerja dengan hati-hati untuk memberikan kenyamanan tambahan. Meskipun rasa sakit di kepalanya belum sepenuhnya hilang, pijatan itu membantu mengurangi ketegangan dan membuatnya merasa sedikit lebih baik. Selama sesi pijatan, Ijah berbicara dengan nada menenangkan. "Cobalah untuk rileks, Nyonya. Ini hanya pijatan ringan, dan semoga bisa membantu meredakan ketidaknyamanan Anda." Santi mengangguk dan berusaha untuk bersantai, menikmati setiap sentuhan lembut yang diberikan oleh Ijah. Meskipun ia masih merasa cemas tentang situasinya dan masa depannya, bantuan Ijah memberikan sedikit ketenangan di pagi yang sulit ini. "Sepertinya aku bisa bertanya kepada Bi Ijah tentang Arman." Pikir Santi sambil memejamkan mata. "Bagaimana, Non. Apa lebih baik?" tanya Ijah sambil terus memijat Santi dengan lembut. "Sudah lebih baik, Bi." Santi menjawab sambil tersenyum. "Bi, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Santi, hingga membuat Bi Ijah menghentikan aktivitasnya. "Boleh, Non. Memang apa yang ingin Non Santi tanyakan?" jawab Bi Ijah dengan rasa penasaran. Santi segera meminta Bi Ijah duduk di sampingnya. Dengan sangat berhati-hati Santi bertanya. "Bi, apa Bibi sudah lama bekerja dengan Mas Arman?" "Kenapa Non Santi bertanya seperti itu?" tanya Bi Ijah yang merasa aneh dengan pertanyaan Santi. "Enggak, aku hanya ingin tahu saja seperti apa Mas Arman." Santi berusaha memberikan alasan yang tepat kepada Bi Ijah. Sesaat Bi Ijah menghirup nafas panjang, ia mulai berusaha menjelaskan tentang Arman. Menurut penjelasan Bi Ijah, Arman adalah seorang pria yang terkenal dingin. Namun, ia begitu sangat menyayangi Lestari istrinya. Tetapi beberapa tahun ini perasaan Arman terhadap Lestari seakan memudar. Bi Ijah tidak menjelaskan secara rinci tentang kehidupan Arman, tapi yang pasti semua perubahan Arman karena Lestari tidak dapat memberinya keturunan. "Jadi Mas Arman memang sangat mencintai istrinya," batin Santi yang langsung mengalihkan pandangannya dari Ijah. "Non, Non Santi! Nona nggak apa-apa 'kan?" tanya Ijah saat melihat perubahan di wajah Santi. "E-enggak, Bi." Santi terlihat gugup. "Ya udah, aku kembali ke kamar dulu. Sepertinya kepalaku sudah jauh lebih baik." Santi segera berdiri dari tempat duduknya. Ijah tersenyum penuh kepuasan. "Saya senang mendengarnya. Jika Anda membutuhkan bantuan lain, jangan ragu untuk memberi tahu saya." Santi merasa lebih nyaman dan siap untuk menghadapi hari tersebut. Ia merasa berterima kasih atas perhatian dan kebaikan Ijah, yang membuat hari-harinya di vila ini terasa sedikit lebih manusiawi di tengah-tengah situasi yang sulit dan tidak terduga. "Terima kasih ya, Bi. Karena sudah banyak membantuku selama ini." "Sama-sama, Nyonya. Jika butuh apa-apa Nyonya bisa langsung memanggil saya," jawab Bi Ijah. Santi hanya tersenyum dan mengangguk kecil "Lebih baik sekarang Nyonya istirahat saja di kamar! Bagaimana kalau saya antar Nyonya masuk ke dalam kamar." Bi Ijah menawarkan diri untuk mengantar Santi masuk ke dalam kamar. Sambil menggelengkan kepalanya. "Terima kasih, Bi. Tapi sepertinya nggak perlu, aku bisa jalan sendiri ke kamar. Lebih baik Bibi kembali saja ke dapur!" perintah Santi. "Baik kalau begitu saya tinggal ke dapur ya, Nyonya." Bi Ijah segera meninggalkan Santi yang masih duduk di meja makan. Di dapur Bi Ijah mulai melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Namun, tidak berapa lama Bi Ijah yang sedang berada di dapur mendengar suara benda jatuh dari ruang tengah. "Astagfirullahaladzim! Ada apa itu?" Bi Ijah terlihat begitu terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD