"Dari Mana saja kamu, Mas?" tanya Lestari yang sudah berdiri di depan pintu.
"Dari kantor, memang dari mana lagi." Arman berusaha terlihat tenang."
"Aku merasa ada yang disembunyikan olehnya," batin Lestari yang terus memperhatikan Arman yang langsung berjalan masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan keberadaannya.
Lestari, yang sudah bertahun-tahun hidup bersama Arman, mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sejak beberapa hari terakhir, Arman sering pulang larut malam atau menghabiskan waktu jauh lebih banyak di luar rumah dengan alasan pekerjaan. Sikapnya pun mulai berubah—lebih pendiam, lebih sering merenung, dan kadang terlihat tegang. Namun, setiap kali Lestari mencoba menanyakan apakah ada yang salah, Arman selalu berhasil mengalihkan pembicaraan atau memberikan alasan yang terdengar masuk akal.
Malam itu, Lestari sedang duduk di ruang keluarga, menonton acara televisi sambil menunggu Arman selesai dengan pekerjaannya di ruang kerja. Pikirannya melayang ke berbagai momen indah yang pernah mereka lalui bersama. Mereka dulu selalu berbagi cerita setiap malam, tertawa bersama, dan merencanakan masa depan. Namun, kini, jarak di antara mereka semakin terasa. Seperti ada sesuatu yang menghalangi keintiman mereka.
Arman keluar dari ruang kerja, wajahnya tampak letih. Namun, begitu melihat Lestari, ia berusaha tersenyum, meskipun senyum itu tidak sepenuhnya tulus. Ia berjalan mendekat dan duduk di sebelah Lestari, tangannya meraih tangan istrinya dengan lembut.
“Kamu baik-baik saja, sayang?” tanya Lestari, mencoba mencari kehangatan yang dulu ada di antara mereka.
Arman mengangguk pelan. “Aku hanya lelah. Pekerjaan di kantor semakin banyak. Tapi nggak perlu khawatir, semuanya terkendali.”
Lestari menatap Arman dengan cermat. “Kamu sering pulang terlambat akhir-akhir ini. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”
Arman terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu Lestari mulai curiga, tapi ia tidak boleh membiarkan rahasia pernikahannya dengan Santi terbongkar. “Enggak ada yang aku sembunyikan. Hanya pekerjaan, seperti yang selalu kukatakan.”
Lestari menghela napas, masih belum sepenuhnya percaya. “Aku harap begitu, Mas. Karena kalau ada sesuatu yang kamu sembunyikan, itu akan lebih menyakitkan daripada mengetahui kebenaran sejak awal.”
Arman merasa sedikit gelisah mendengar kata-kata itu, tapi ia tetap tenang. Ia menyadari bahwa semakin lama ia menyembunyikan hubungan rahasianya, semakin berisiko jika Lestari menemukan semuanya secara tidak sengaja. Namun, bagi Arman, mempertahankan dua kehidupan ini terasa seperti satu-satunya cara agar ia bisa memiliki apa yang diinginkannya.
Lestari tidak ingin berlarut-larut dalam perasaan cemasnya. Malam itu, ia memutuskan untuk membiarkan Arman beristirahat. Ia berharap segala sesuatu kembali seperti sedia kala. Namun, di hatinya, ia tidak bisa menyingkirkan kecurigaan bahwa suaminya sedang menyembunyikan sesuatu yang besar.
Setelah Lestari tertidur, Arman kembali terdiam di ruang keluarga. Ia duduk sendirian, pikirannya terombang-ambing antara dua dunia yang ia coba jaga tetap terpisah. Santi yang ada di villa, menunggu masa depan yang telah ia janjikan. Sementara di sini, ada Lestari—istri sahnya, yang hidup dalam kebohongan. Arman tahu, cepat atau lambat, satu dari dua kehidupan ini akan hancur. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa berharap semuanya tetap terkendali.
Dengan tatapan kosong, Arman memandangi jam di dinding. Waktu terus berjalan, dan semakin lama ia terjebak dalam situasi ini, semakin sulit untuk keluar.
***
"Selamat pagi, Mas. Bagaimana istirahatmu tadi Malam?" tanya Lestari yang sudah ada di meja makan.
"Aku nggak bisa tidur dengan nyenyak, pekerjaan yang menumpuk membuatku semakin tertekan," jawab Arman yang segera duduk di hadapan Lestari.
Lestari segera mengambil sepotong roti yang ada di hadapannya, kemudian mengolesnya dengan selai strawberry kesukaan Arman, suaminya. Sepuluh tahun menikah dengan Arman, membuat Lestari tahu apa saja kesukaan Arman dan apa saja yang ia benci.
"Sayang, kamu terlihat berbeda pagi ini. Memang kamu mau kemana?" tanya Arman yang melihat penampilan Lestari sudah terlihat begitu rapi.
Lestari memang selalu berpenampilan rapi, dan modis, ia juga selalu menggunakan polesan make up di wajahnya. Namun, pagi ini ia terlihat berbeda dari biasanya. Perbedaan itu membuat Arman merasa penasaran.
"Aku ingin mengajakmu liburan ke villa, siapa tahu dengan kita berlibur bersama itu membuat kehidupan kita kembali seperti dulu. Dan, siapa tahu juga aku kita bisa segera memiliki keturunan setelah pulang dari villa." Lestari memegang tangan Arman, senyumnya terukir jelas di wajah berusia 35 tahun itu.
"Villa?" ucap Arman lirih, seolah berbisik pada dirinya sendiri. Arman segera meraih gelas yang berisi air putih di hadapannya, dan segera meneguknya.
Sambil mengusap mulutnya, Arman menatap Lestari dengan penuh ketenangan. "Maaf ya, Sayang. Kalau selama ini aku sedikit sibuk dengan pekerjaan di kantor, dan untuk ke Villa … aku belum bisa, karena ada beberapa proyek yang harus aku tangani di luar kota."
"Jadi hari ini kamu ke luar kota lagi," suara Lestari terdengar penuh kekecewaan. "Apa nggak bisa kamu meminta orang lain menggantikanmu beberapa hari saja, kalau seperti ini terus bagaimana kita bisa memiliki anak, Mas."
Lestari dan Arman sudah menjalani pernikahan selama 10 tahun, tapi sampai saat itu juga mereka belum dikaruniai seorang anak. Sudah banyak cara mereka tempuh, mulai dari pengobatan medis, pengobatan tradisional bahkan herbal. Namun, semua itu tidak membuat Lestari kunjung hamil.
"Maafkan aku ya, Sayang. Aku janji akan membawamu jalan-jalan kemana pun kamu mau setelah aku menyelesaikan pekerjaanku." Arman masih memegang tangan Lestari.
Lestari mendengus kesal dengan sikap Arman. Rasa curiganya atas sikap Arman semakin jelas, walaupun ia berusaha untuk tetap mempercayai setiap ucapan dan alasan Arman.
"Baiklah, kalay begitu." Lestari terlihat begitu kecewa dengan keputusan Arman hari ini.
Arman segera berdiri dan meraih jas yang diletakkan di sampingnya. "Ok, kalau begitu aku berangkat ke kantor dulu. Aku akan usahakan pulang lebih awal hari ini." Arman segera mencium kening Lestari, dan langsung berjalan meninggalkan meja makan.
Sementara itu, Lestari yang masih duduk di kursinya. Masih merakan kekecewaan atas sikap Arman. Namun, Lestari sadar akan perannya sebagai seorang istri yang harus selalu mendukung keputusan suaminya dan karir Arman.
"Siti! Tolong bersihkan meja makan, saya mau masuk ke dalam kamar dulu." Lestari berteriak memanggil Siti, asisten rumah tangganya.
Dengan langkah lemah Lestari mulai meninggalkan meja makan untuk masuk ke dalam kamarnya. Dalam hati Lestari berharap kali ini Arman akan menepati janjinya untuk pulang lebih awal dari biasanya.