Bab 8. Kabar Bahagia

1136 Words
Arman baru saja tiba di vila dan segera memasuki ruangan dengan tergesa-gesa. Suasana di dalam vila terasa sunyi, dan hal itu membuatnya semakin cemas. Sambil berjalan cepat ke arah ruang tamu, ia mulai memanggil nama Ijah dan Santi secara bergantian. "Bi Ijah! Santi!" suaranya terdengar tegas, menggema di dalam vila yang sepi. Tidak ada jawaban. Arman melangkah semakin cepat, perasaan cemas mulai merayap di benaknya. Ketika ia sampai di depan kamar, ia mendengar langkah terburu-buru dari arah dalam. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan Ijah muncul dengan wajah panik. "Tuan Arman, Nyonya Santi pingsan!" kata Ijah sambil terbata-bata, napasnya terlihat terengah-engah karena kekhawatiran. Arman, yang tadinya sudah merasa tegang, kini langsung melangkah ke dalam kamar. Ia melihat Santi terbaring lemah di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya tampak tidak bergerak. Arman segera menghampiri Santi, menatapnya dengan penuh rasa khawatir. "Apa yang terjadi? Sejak kapan ini, Bi?" tanya Arman, mencoba tetap tenang meskipun hatinya penuh kecemasan. "Tadi, setelah memijat Nyonya, dia bilang ingin kembali ke kamar untuk beristirahat. Tapi tiba-tiba dia jatuh pingsan di lantai. Saya sudah mencoba menolong sebisanya dan memanggil dokter," jawab Ijah dengan suara gemetar. Arman memeriksa denyut nadi Santi di pergelangan tangannya, meskipun dia bukan seorang dokter, dia merasa perlu memastikan bahwa Santi baik-baik saja. "Dokternya dalam perjalanan, kan?" tanya Arman dengan nada tegas. Ijah mengangguk. "Iya, Tuan. Saya sudah menelepon, mereka bilang akan segera datang." Arman duduk di samping tempat tidur, matanya terus tertuju pada Santi yang tak sadarkan diri. Di dalam hatinya, ia merasakan perasaan bersalah dan kekhawatiran yang begitu dalam. Ia tidak pernah menyangka semua ini akan terjadi, terlebih setelah semua yang sudah dia lakukan untuk mendapatkan Santi. Dia menghela napas panjang, menunggu dengan cemas kedatangan dokter, berharap Santi segera pulih dari kondisinya. Tak lama kemudian, suara bel pintu vila berbunyi, menandakan bahwa dokter yang ditunggu telah tiba. Ijah bergegas membuka pintu, sementara Arman tetap duduk di samping tempat tidur Santi, menanti dengan cemas. Dokter, seorang pria paruh baya yang terlihat tenang, segera masuk ke kamar dan mulai memeriksa kondisi Santi dengan teliti. Ia memeriksa denyut nadinya, tekanan darah, dan melakukan pemeriksaan fisik lainnya. Setelah beberapa menit, ia menghela napas dan menatap Arman. "Tuan Arman," kata dokter dengan hati-hati, "Nyonya Santi saat ini dalam kondisi hamil." Arman terkejut, wajahnya seketika berubah. "Hamil?!" ucapnya dengan nada tak percaya. Dokter mengangguk. "Ya, ini mungkin alasan mengapa ia merasa pusing dan jatuh pingsan. Kehamilan sering menyebabkan gejala seperti itu, terutama di tahap awal. Saya sarankan agar dia banyak beristirahat dan tidak terlalu stres." Mendengar penjelasan itu, Arman merasa campur aduk. Di satu sisi, ia tidak pernah menyangka bahwa Santi akan hamil. Di sisi lain, perasaan senang dan bahagia mulai muncul di dalam hatinya. Selama ini, ia dan Lestari tidak pernah memiliki anak, dan kini ada kemungkinan besar ia akan menjadi seorang ayah. Namun, pikiran tentang bagaimana ia harus menjelaskan semua ini kepada Lestari juga menghantui pikirannya. Kondisi ini semakin rumit, dan ia tahu bahwa keputusan-keputusan besar harus segera diambil. "Baik, Dokter," kata Arman akhirnya, berusaha tetap tenang. "Apa yang harus saya lakukan sekarang untuk memastikan dia dan bayi baik-baik saja?" Dokter tersenyum tipis. "Pastikan Nyonya Santi mendapatkan istirahat yang cukup, nutrisi yang baik, dan perawatan medis rutin. Saya akan memberikan beberapa suplemen untuk kehamilannya. Dan jika ada gejala yang mengkhawatirkan, segera bawa dia ke rumah sakit." Arman mengangguk, berterima kasih kepada dokter sebelum mengantarnya keluar. Setelah dokter pergi, Arman berdiri di ambang pintu kamar, menatap Santi yang masih belum sadar. Pikirannya berkecamuk tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Santi akhirnya mulai bergerak pelan di tempat tidurnya. Matanya perlahan terbuka, dan ia menyadari dirinya masih berada di kamar vila. Sementara itu, Arman masuk dengan hati-hati sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman sehat. Dia menghampiri Santi dengan wajah serius namun lembut, meletakkan nampan di meja samping tempat tidur. "Santi," panggil Arman pelan, berusaha menarik perhatian Santi yang masih terlihat lelah. "Kamu sudah sadar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu." Santi menatap Arman dengan tatapan bingung, masih merasa lemah setelah apa yang terjadi sebelumnya. "Apa yang terjadi, Mas?" tanyanya dengan suara pelan, tubuhnya terasa masih lemah dan berat. Arman duduk di tepi tempat tidur, menatap Santi dengan pandangan yang serius namun penuh perhatian. "Tadi dokter datang dan memeriksamu ... dan dia mengatakan sesuatu yang penting," ucapnya, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Santi, kamu sedang hamil." Kata-kata itu langsung membuat Santi tertegun. Ia memandang Arman dengan mata yang melebar, tidak tahu bagaimana harus merespons. “Hamil?” ulangnya, suaranya terdengar gemetar. Dia merasa dadanya sesak, campuran antara kebingungan dan ketidakpercayaan. Arman mengangguk pelan. "Ya, kamu sedang hamil," ia mengulangi dengan suara lembut, seolah memastikan bahwa Santi menerima kenyataan itu. "Mungkin ini menjelaskan kenapa kamu merasa pusing dan jatuh pingsan tadi." Santi masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Di dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk, mulai dari rasa ketakutan, cemas, hingga marah. Ini bukanlah hidup yang dia bayangkan, terlebih lagi dengan semua yang sudah terjadi antara dirinya, Reza, dan Arman. Hamil? Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tubuhnya terasa dingin dan pikirannya berputar-putar. Hamil ... tapi dari siapa? Apakah ini akan mengikatnya lebih erat pada situasi yang sudah begitu rumit ini? Santi terdiam, menatap kosong ke arah depan, sementara Arman menunggu respons darinya, meski ia tahu kabar ini bukanlah sesuatu yang mudah diterima. "Bagaimana mungkin ...." gumam Santi pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Arman menatap Santi dengan lembut, seolah ingin menenangkan pikiran yang berkecamuk di benak wanita itu. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berbicara. "Santi, aku tahu semua ini nggak mudah untukmu. Tapi aku berjanji, mulai sekarang aku akan lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu dan ... calon anak kita," ucap Arman dengan nada yang lebih hangat. Ia berusaha menunjukkan bahwa ia serius dengan ucapannya. "Aku ingin kita bisa menjalani ini bersama. Aku akan memastikan kamu dan anak kita mendapatkan semua yang kalian butuhkan." Santi masih terdiam, pikirannya masih berkecamuk. Namun, Arman tahu bahwa kepercayaan butuh waktu. Ia melanjutkan dengan lebih lembut lagi. Arman tersenyum tipis, meski ia tahu jalan ke depan tidak akan mudah. Namun, dia berharap bahwa dengan waktu, Santi akan mulai menerima dan merangkul kehidupan baru ini bersamanya. Arman mendekat dengan perlahan, lalu meraih Santi ke dalam pelukannya. Tubuh Santi terasa kaku, namun Arman tetap memeluknya dengan lembut, seolah berusaha menenangkan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Ia mengusap punggung Santi dengan penuh kehati-hatian, seakan ingin menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli. "Terima kasih, Santi," bisik Arman di telinganya. "Terima kasih karena sudah bersedia menjalani semua ini bersamaku, dan terima kasih juga untuk calon anak kita. Aku tahu ini enggak mudah, tapi aku berjanji akan selalu ada untukmu." Santi masih diam dalam pelukan itu. Walaupun fisiknya berada di sana, pikirannya masih terasa jauh. Kata-kata terima kasih dari Arman terasa aneh baginya, mengingat semua yang telah terjadi. Namun, Santi tahu bahwa takdir sudah menjerumuskannya ke dalam situasi ini, dan sekarang, hidupnya akan berubah selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD