Setelah beberapa saat, Arman perlahan melepaskan pelukannya. Ia menatap Santi dengan senyum tipis dan berkata, "Sekarang kamu harus makan. Pastikan kamu menjaga kesehatanmu, terutama dengan kondisi kamu sekarang." Santi hanya mengangguk pelan, tanpa banyak kata.
Arman pun segera melangkah keluar kamar, meninggalkan Santi yang masih duduk di tempat tidurnya. Setelah keluar dari villa, Arman mengambil ponsel dari saku jasnya dan dengan cepat menghubungi Lestari, istrinya.
"Halo, Sayang," suara Lestari terdengar di ujung telepon.
Arman menarik napas dalam sebelum berbicara, mencoba terdengar sesantai mungkin. "Maaf, malam ini aku nggak bisa pulang. Ada urusan mendadak di kantor, dan aku harus keluar kota untuk beberapa hari."
Arman memang selalu menyempatkan diri menghubungi Lestari setiap kali ia tidak pulang ke rumah. Dan itu selalu ia lakukan sejak mereka baru saja menjalani pernikahan, bahkan sampai saat ini kebiasaan itu masih melekat pada diri Arman.
Di seberang telepon, Lestari terdengar sedikit kecewa, tapi dia hanya menjawab dengan pelan, "Baiklah, Mas. Hati-hati di jalan, ya. Kalau ada apa-apa, kabari aku."
Arman mengangguk meski tahu istrinya tak bisa melihatnya. "Tentu, jangan khawatir. Aku akan mengabarimu kalau sudah selesai," jawab Arman, mencoba menenangkan perasaan Lestari. Setelah menutup telepon, dia menyimpan ponselnya kembali ke saku, lalu berdiri sejenak di luar villa, menatap langit malam dengan pikiran yang berputar-putar.
Hidupnya yang penuh rahasia kini semakin rumit, dan ia tahu bahwa apa yang ia lakukan bukan tanpa konsekuensi. Namun, Arman tetap yakin bahwa inilah jalan yang telah ia pilih, meskipun harus menyakiti hati Lestari di belakangnya.
Setelah beberapa saat di luar, Arman kembali masuk ke dalam kamar. Pandangannya langsung tertuju pada Santi yang masih berbaring di tempat tidur, terlihat lelah dan lesu. Piring makanan yang ia bawa tadi pagi masih utuh, tak tersentuh sedikit pun. Arman merasa khawatir, tapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya.
Ia mendekati Santi dengan langkah tenang, lalu duduk disisi tempat tidur. "Santi, kamu harus makan," ucapnya dengan suara lembut. "Aku tahu kamu sedang nggak enak hati, tapi kamu butuh makan untuk menjaga kesehatanmu, apalagi sekarang kamu sedang hamil."
Santi tidak bergerak, pandangannya masih terpaku pada dinding kamar. Ia merasa hampa, seolah terjebak di antara kenyataan yang pahit dan masa depan yang tak jelas. Namun, suara Arman terus mengusiknya.
"Santi, tolong, aku ingin kamu kuat," lanjut Arman, kali ini suaranya lebih memohon. "Aku ada di sini untukmu. Setidaknya, lakukan ini untuk calon anak kita."
Perlahan, Santi menoleh ke arah Arman. Tatapannya kosong, namun ada sesuatu dalam cara Arman berbicara yang membuatnya tersentuh, meski hanya sedikit. Dengan gerakan lemah, ia akhirnya duduk di tempat tidur, menatap makanan di hadapannya.
Arman tersenyum tipis, merasa ada sedikit harapan. "Terima kasih, Santi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku peduli." Ia menyerahkan piring itu dengan hati-hati, dan Santi mulai memegang sendoknya, meskipun masih dengan ragu.
***
Keesokan paginya, Arman bangun lebih awal dari Santi. Dengan langkah hati-hati, ia meninggalkan kamar agar tidak mengganggu istrinya yang masih tertidur lelap. Setelah memastikan Santi baik-baik saja, Arman menuju dapur untuk menemui Bi Ijah.
"Bi," panggil Arman dengan nada rendah, namun serius. "Saya mau minta tolong, mulai hari ini perhatikan setiap makanan yang dimakan Santi. Pastikan dia mendapat gizi yang cukup."
Bi Ijah mengangguk cepat, memahami betul perintah dari majikannya. "Iya, Pak. Jangan khawatir, saya akan jaga dan pastikan semua makanannya sehat. Saya juga akan buatkan jus dan sayuran segar setiap hari."
Arman tersenyum, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Bi. Saya sangat mengandalkan Ibu untuk menjaga Santi, terutama sekarang, kondisinya tidak biasa." Arman melanjutkan ucapannya. "Dan satu lagi, jangan katakan tentang keberadaan Santi di villa ini, bahkan tentang kehamilannya kepada siapapun. Termasuk Lestari."
Bi Ijah hanya tersenyum simpul, mengerti apa yang dimaksud oleh Arman. "Jangan khawatir, Pak Arman. Saya akan merawat Nyonya Santi dengan baik dan saya akan menjaga rahasia ini."
Arman menghela napas panjang, sebelum pamit untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum pergi, ia menatap ke arah villa, memastikan semuanya tertata dengan baik. Perasaannya bercampur aduk antara rasa tanggung jawab dan kekhawatiran yang kini lebih besar daripada sebelumnya, terutama dengan kondisi kehamilan Santi.
Di dalam mobil Arman duduk terdiam untuk beberapa saat. pikirannya berputar-putar. Setelah mendengar kabar bahwa Santi sedang mengandung, ada satu hal yang terus terlintas di benaknya: sembilan bulan lagi, Santi akan memberinya keturunan.
"Sembilan bulan... hanya sembilan bulan lagi," gumamnya pelan. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa ia akan segera mendapatkan keturunan dari darah dagingnya sendiri.
Setelah beberapa saat larut dalam lamunannya, Arman segera mengemudikan mobilnya meninggalkan halaman Villa untuk menuju ke kantor.
***
"Nyonya," panggil Bi Ijah dengan suara lembut. "Sudah siang, sebaiknya Nyonya makan dulu. Saya sudah menyiapkan beberapa menu untuk Nyonya." Bi Ijah meletakkan sebuah nampan berisi makanan dan minuman di atas meja kecil yang ada di samping Santi.
"Letakkan saja di sana, aku nggak lapar. Bi," ucap Santi dengan pandangan lurus ke depan.
"Tapi, Nyonya. Tuan Arman meminta Bibi untuk memperhatikan makanan Nyonya Santi, apalagi saat ini Nyonya sedang dalam keadaan hamil." Bi Ijah mencoba untuk membujuk Santi.
Santi tidak menjawab setiap ucapan yang keluar dari mulut Bi Ijah. Tatapannya terus kosong menatap ke luar jendela yang ada di depannya. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, tapi yang pasti ia seakan terlihat bingung dengan kehidupannya saat ini.
Kehidupan yang penuh kemewahan, tapi terasa hampa dan seperti berada di dalam penjara emas. Sesekali Santi menghirup nafas dalam sambil mengusap perutnya yang rata.
"Nyonya, apa ada yang mengganggu pikiran Nyonya? Jika berkenan Nyonya bisa bercerita dengan saya." Bi Ijah mencoba untuk membujuk Santi.
Santi segera menoleh ke arah Ijah. "Enggak, Bi. Bibi bisa kembali ke dapur!" perintah Santi sambil tersenyum kecil.
"Baik, Nyonya." Bi Ijah segera berjalan keluar kamar.
***
Setelah seharian bekerja di kantor, Arman segera kembali ke villa. Beberapa jam kemudian, ia tiba di sana dengan perasaan tidak tenang, memikirkan kondisi Santi yang sedang mengandung. Saat ia masuk ke dalam villa, Bi Ijah yang menyambutnya tampak gelisah.
“Akhirnya Tuan datang juga," ucap Bi Ijah dengan nada cemas.
"Ada apa, Bi? Sepertinya Bibi terlihat begitu panik," jawab Arman dengan wajah penasaran.
“Seharian ini Nyonya Santi tidak mau makan. Dia hanya melamun sambil sesekali mengusap perutnya dan beberapa kali juga ia muntah. Saya sudah coba memberinya makanan yang ringan, tapi tetap saja tak ada yang masuk.” Bi Ijah menceritakan keadaan Santi.
Mendengar kabar itu, Arman langsung merasakan jantungnya berdetak kencang. Rasa khawatir meliputi dirinya. Ia tahu bahwa kondisi Santi sangat penting, terutama karena ia sedang mengandung. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju kamar Santi, tanpa sempat menanggapi lebih banyak kata-kata Bi Ijah.
Begitu sampai di kamar, Arman melihat Santi terbaring lemah di atas tempat tidur. Wajahnya tampak pucat, dan ekspresinya menunjukkan kelelahan. Arman mendekat, duduk di sisi tempat tidur, menatap Santi dengan penuh perhatian.
"Santi," panggil Arman pelan, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa kamu nggak mau makan? Kamu harus menjaga kesehatanmu, juga kesehatan bayi kita."
Santi hanya menggelengkan kepala lemah, matanya setengah tertutup. "Aku mual ... setiap kali mencoba makan, aku muntah lagi," jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Arman merasa putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Aku akan memanggil dokter lagi. Kamu harus diperiksa lebih lanjut."
Santi hanya mengangguk lemah. Arman segera bangkit dari tempatnya, mengambil ponselnya dan menghubungi dokter. Sambil menunggu, ia terus berada di sisi Santi, memegang tangannya dengan lembut, berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.