Meja Makan Yang Berbeda

1147 Words
“Kamu nggak papa?” tanya pria pemilik mobil sambil berjongkok menatap Ririn yang kesakitan. Ririn yang mendengar suaranya sangat terkejut. Ia segera menutup wajahnya dengan telapak tangan yang baru saja dibersihkan karena terkena kerikil di pinggir jalan.  “Hah, dia lagi. Ya Allah, apa maksudnya semua ini. Apa aku yang salah dan harus meminta maaf sesuai keinginannya tadi. Tapi kan, nggak bisa gitu. Pokoknya aku nggak boleh ketahuan sama dia. Lebih baik aku segera kabur. Untung tadi mobilnya nggak sampe aku sentuh sama sekali. Bisa makin runyem nanti,” batin Ririn yang masih menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan. “Hey, kamu nggak papa?” tanya Ariel yang masih penasaran. Ririn yang masih menutupi wajahnya dengan telapak tangan kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia pun segera berdiri dan menaiki sepedanya sambil menunduk. “Saya nggak papa kok,” ucap Ririn kemudian pergi melesat secepat mungkin, agar segera menghilang dari sana. Ariel masih tidak curiga apapun. Ia hanya merasa sangat heran. Karena seharian ini orang yang ditemuinya bersikap sangat aneh.  “Mau ditolongin malah pergi menghilang.” Ariel bergumam sendiri sambil melihat sepeda tua yang dibawa Ririn akhirnya menghilang dari pandangannya. ** “Assalamualaikum, Ririn pulang!” teriak Ririn dari depan pintu rumahnya. “Asyik, Kakak pulangggggg!” teriak seorang bocah yang berlari ke arah Ririn dan langsung memeluknya. “Kakak bawa makanan?” tanya bocah yang berusia sekitar sembilan tahun tersebut. “Bawa, ini,” ucap Ririn sambil menunjukkan sebuah kantong plastik hitam berisi seporsi makanan dari kedainya. “Yeeeh, asikkk. Aku makan dulu ya Kak!” ucap bocah tersebut sambil berusaha merebut kantong plastik hitam yang sangat ia tunggu sejak tadi. Ririn tak mau langsung memberikannya. Ia kemudian menatap bocah yang tak lain adalah adiknya, Rika. “Jawab salam dari Kak Ririn dulu dong!” pinta Ririn menggoda sang adik. “Iya, aku lupa. Ulangi lagi gih!” “Assalamualaikum Rikaaaa!” Ririn mengucapkannya dengan begitu manis dengan tersenyum simpul. “Waalaikum salam kak Ririn. Selamat datang di rumah.” Ririn menyambutnya sangat antusias. “Nah gitu, kan cakep.” Ririn menyerahkan kantong plastik hitam yang sejak tadi diinginkan adiknya. “Sana makan, jangan lupa abisin sampai nggak tersisa ya!” “Siap Kakak!” Ririn kemudian melanjutkan langkahnya. Ia berhenti di dapur dan menarik sebuah kursi kayu. Dilihat ibunya sedang memasak. “Ibu masak apa?” tanya Ririn sambil menuang air kendi ke dalam gelas untuk diminum. Ia merasa sangat lelah dan haus. Kerongkongannya rasanya tandus sejak bertemu dengan Ariel tadi. “Cuma goreng tempe aja kok,” jawab Bu Rita. Ibu dari Ririn dan Rika. “Sini biar aku bantu. Ibu pasti kecapekan merawat Bapak seharian ini. Apalagi Rika juga udah mulai masuk sekolah.” Ririn meraih spatula yang sedang dipegang ibunya. Ia kemudian berusaha menggeser posisi ibunya yang sedang berada tepat di depan kompor yang sedang menyala. “Udah nggak usah, biar ibu aja yang goreng.” “Ihh ibu, emang sambalnya udah siap. Aku pengen makan Bu. Laperrr bangetttt!” keluh Ririn sambil menunjukkan perutnya yang selalu datar. “Lho, emang kamu nggak makan di kedai Pak Awang?” tanya Bu Rita.  “Aku bungkus jatah makanku Bu. Terus aku berikan sama Rika barusan.” Bu Rita hanya bisa menghela napas. Ia sadar anak perempuan tertuanya itu memang begitu baik dan sangat menyayangi Rika, adik satu-satunya yang dimiliki. “Ya udah, Ibu siapkan sambalnya. Kamu goreng tempenya. Kebetulan nasinya juga baru aja matang. Abis itu, kita makan sama-sama ya!” Ririn mengangguk sambil tersenyum. Ia merasa sangat bahagia. Meski yang dimakan sore ini hanya lauk tempe dengan sambal buatan ibunya yang amat menggugah selera. ** Jika hidangan tempe goreng ada di meja makan Ririn dengan ibunya. Lain halnya dengan keadaan meja makan milik nenek Sarah. Nenek Sarah adalah seorang pebisnis handal meskipun usianya sudah senja. Ia sedang menikmati berbagai makanan yang baru saja dimasak oleh koki kepercayaannya. “Kita tiap hari makan kayak gini nggak bosen?” tanya kakek Anjas. Suami dari nenek Sarah yang sedang makan bersama sore itu. “Ya bosan lah Kek. Tapi, mau gimana lagi, kitakan juga harus jaga kesehatan. Semua makanan ini enak kok,” ucap Nenek Sarah sambil memperhatikan isi mejanya. Di sana terhidang tumis sayuran warna-warni. Ada wortel dan brokoli. Juga irisan bakso yang merupakan kesukaan kakek Anjas. Namun, entah mengapa sore ini, rasanya ia sangat amat bosan dengan makanan tersebut. “Nih, makan ayam goreng,” ucap Nenek sambil meletakkan sepotong paha ayam yang tampak begitu renyah. Kakek Anjas melirik sekilas. Ia menunjukkan keraguan untuk menikmati makanan itu. “Tenang, udah pake minyak goreng rendah lemak. Aman untuk dikonsumsi buat orang purba seperti kita,” gurau nenek. Ia pun menggigit ayam goreng yang sudah berada di piringnya. “Nenek mesti kayak gitu ngomongnya. Bisa banget  bercanda yang ujungnya nyindir diri sendiri,” sahut kakek Anjas. “Nggak papa kita bercanda, biar nggak cepet tua. Lagian capek juga kalau bicara serius terus.” Kakek Anjas menghentikan suapannya. Ia kemudian melirik sang istri yang selalu berharap untuk tidak bisa tua. “Heyyy Nenek. Kita ini udah tua kali. Beneran!” Nenek membalas tatapan suaminya. “Kamu aja yang tua, aku sih enggak.” Obrolan santai itu terdengar di telinga Ariel yang baru pulang dari luar. Ia bermaksud untuk ikut serta berbincang-bincang di meja makan. “Heyyyyy, cuci tangan dulu sana. abis dari luar cuci dulu.” Nenek sarah mengingatkan saat melihat Ariel sudah akan bergabung di meja makan. “Iya deh Nek!” sahut Ariel. Setelah mencuci tangannya. Ariel kembali lagi ke meja makan. Namun, ia hanya diam sambil mendengar perdebatan. Apalagi yang akan diperdebatkan oleh kakek dan neneknya sore ini. “Kalau Kakek mau. Nenek bisa pinjamin Kakek skincare, biar nggak cepat keriput. Gimana?” tany Nenek yang kembali usil. “Emang Kakek cowok apaan,” sahut kakek Anjas. “Iyakan biar kita kelihatan sama-sama masih muda. Gimana sih!” kakek tak menghiraukan. Ia yakin jika pembicaraan ini masih berlanjut. Sudah pasti akan semakin tidak terarah. Akan tetapi, Nenek Sarah yang sadar tak nyaman hanya melihat cucunya diam saja. Ia pun akhirnya mengganti topik pembicaraan. “Kamu nggak makan. Udah ada ayam goreng sama tumis sayur. Cepet ambil piring. Kita makan sama-sama,” ucap nenek Sarah memberi instruksi. “Aku udah makan tadi. Makanannya enak banget lagi. Nggak kayak gini. Nggak ada sambal,” ucap Ariel yang sangat mencintai makanan pedas. “Kalau nggak mau makan. Pergi dari sini. Biar Kakek sama Nenek makan berdua aja,” sahut kakek Anjas. “Kakek sama Nenek mau pacaran ya.” Ariel mengucapkannya dengan begitu enteng. Nenek sontak memukul pipi halus Ariel dengan sendoknya. “Kita nggak mungkin pacaran. Lihat aja kakek udah nggak abg lagi. Masak mau pacaran.” “Emang nenek anak abg?” sahut Kakek Anjas. “Dasar Kakek sama Nenek,” batin Ariel. Ia pun pergi dari meja makan sambil membawa sepiring ayam goreng. Berharap kedua orang yang disayanginya itu akan merasa kehilangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD