Jangan Sampai Ketahuan

1117 Words
Mendengar petuah dari temannya. Ririn berusaha berpikir realistis menerima kenyataan. Memang harusnya dirinya menjauhi masalah lebih banyak. Toh, selama ini hidupnya sudah banyak masalah. Namun, tiba-tiba saat perasaannya mulai tenang. Kedua matanya terkejut dengan kedatangan seseorang. Ia pun spontan berlari masuk ke dalam kedai dan menyembunyikan diri. Mita yang melihat temannya tiba-tiba bersembunyi merasa kaget. “Dia kenapa sembunyi? Woy Ririn!” panggil Mita. Ririn bersembunyi di balik dinding. Ia kemudian memberi kode agar temannya pergi dan jangan bicara dulu padanya. Mita bingung dengan tingkah Ririn. Ia mengangkat kedua tangannya. Namun, Ririn tetap mengusirnya. Ia pun sadar jika ada seorang pembeli datang. “Selamat siang! Ada yang bisa dibantu?” tanya Mita. Ia kemudian memandang pembeli yang baru pertama dilihatnya itu dari atas hingga bawah. “Wahhhh, ganteng. Ada pembeli kayak gini, kenapa Ririn malah ngumpet,” batin Mita. “Aku mau pesan makanan andalan di sini. Dua porsi ya. Lagi laper banget.” Ariel mengatakannya sambil duduk di kursi yang baru saja dibersihkan oleh Ririn tadi. “Kalau gitu, bebek goreng sama sambal ijo. Gimana? Itu paling hits di sini.” Mita mencoba menerangkan. “Boleh!” jawab Ariel datar. “Minumnya apa?” tanya Mita lagi. “Es jeruk.” Mita pun tersenyum dan melangkah masuk ke dalam kedai. Ia memberi tahu Ririn untuk membuat dua porsi nasi bebek sambal ijo. Namun, Ririn menolaknya.  “Kenapa sih. Cepet buatkan. Dia lagi nunggu. Laper banget katanya!” ucap Mita agak emosi. “Ogah, kamu aja yang masak sama bikin sambalnya. Itu bahannya udah ada,” ucap Ririn setengah berbisik. “Tapi, aku kan nggak bisa bocahhhh!” sahut Mita semakin gemas. Ririn mengepalkan tangannya kesal mengarahkan pada Mita. Ia kemudian meraih taplak meja di sebelahnya untuk digunakan menutupi bagian kepalanya menjadi sebuah kerudung. Menutupi rambut pendeknya yang pasti akan mudah diingat jika sampai bertemu lagi dengan Ariel. “Dia kenapa sih. Aneh banget. Apa jangan-jangan, cowok tampan itu yang …. Ah, nggak tahu ah. Bodoh amat!” batin Mita. Ia juga tak mau berpikir terlalu jauh. Hal itu akan membuat otaknya merasa rumit.  Ririn pun sibuk menyiapkan makanan untuk Ariel. Ia pun menggoreng dua paha bebek yang sudah dilumuri bumbu kuning. Sambil menunggu bebek selesai digoreng. Ririn pun menyiapkan sambal. Tanpa disangkanya, tiba-tiba ada sebuah suara yang mengejutkannya. “Mbak, sambalnya ditambahi potongan cabe ya yang banyak. Biar tambah pedes. Harganya nanti bisa ditambah buat cabenya.” Ariel mengatakannya tepat di belakang Ririn yang ibuk di dapur.  Dapur itu bisa dilihat dari meja pelanggan. Tentu saja karena tak ada pembatas yang tertutup rapat. Kecuali sekat dari triplek tipis separuh badan yang tidak terlalu panjang. Sehingga bisa membuat pembeli bisa juga masuk jika ingin memesan makanan lagi. “I, i, iya!” sahut Ririn. Ehmmm, bisa ditunggu di kursi aja nggak makanannya. Nanti saya tambahkan banyak cabe kok di sambalnya.” Ririn berusaha mengatakannya dengan santai, meski dengan terpaksa suaranya harus berubah seperti suara orang lain. Tanpa curiga apapun, Ariel pun kembali ke mejanya. Ia mulai bisa menghirup aroma bebek goreng yang harumnya begitu menggiurkan. Tampaknya makanan pesanan Ariel sebentar lagi akan siap. Ririn berusaha mencari mita. Ternyata temannya itu tidak berada di kedai. “Itu anak di mana lagi. Masak iya aku yang antar makanan ini ke Ariel. Kalau sampe ketahuan gimana,” batin Ririn sambil merapatkan ujung taplak meja yang dijadikan penutup kepalanya. Sebuah nampan dengan nasi dan dua potong bebek sudah siap. Juga sambal ijo beserta potongan cabe yang sudah diaduk rata. “Hah, mau nggak mau harus aku yang antar ini. Semoga dia nggak kenal sama aku. Semoga nggak ketahuan.” Sedikit gemetar. Ia kemudian meletakkan segelas es jeruk yang hampir saja dilupakan. “Mbakkkk, masih lama ya?” tanya Ariel dari kursinya. “Iya, udah selesai kok,” sahut Ririn dengan nada yang sama kerasnya. Sudah tak ada waktu untuk menunggu kedatangan Mita. Dengan berhati-hati dan berharap cemas agar tidak ketahuan. Ririn pun melangkah dengan perlahan. Tak lupa kerudung taplak mejanya sedikit dimajukan untuk menutupi sebagian besar wajahnya. “Ini, silahkan dinikmati!” ucap Ririn berusaha ramah. Ia pun meletakkan dengan hati-hati makanan yang sedang dibawa. Ariel awalnya tak peduli. Namun, saat Ririn berada di dekat meja. Terbesit rasa penasaran pada pikirannya. “Ini cewek kenapa wajahnya kayak disembunyikan gini sih!” batin Ariel. Pria itu kemudian berusaha mencari celah untuk melihat wajah Ririn yang sebagian tertutup taplak meja. Digerakkan bola matanya untuk melirik sekedar mencuri pandang. Akan tetapi, hasilnya gagal. Ririn sadar, jika Ariel ingin melihat wajahnya. Ia pun buru-buru membuang muka segera. Setelah selesai menyiapkan hidangan yang dipesan di atas meja. “Selamat menikmati. Kalau gitu, saya permisi. kalau butuh sesuatu, tinggal panggil aja. Saya ada di dapur yang tadi,” ucap Ririn yang langsung pergi. Ariel hanya memandangnya. Aneh memang melihat penampilan Ririn yang membuatnya penasaran. Ditambah lagi, suara berat seolah bukan suara yang sebenarnya.  “Dia kenapa sih. Jadi, curiga.” Ariel berusaha tak peduli. Ia pun kemudian mulai menikmati makanannya. ** Dengan mengayuh sepeda besar milik almarhum kakeknya. Ririn pun akhirnya pulang ke rumah. Ia sudah selesai membereskan pekerjaannya hari ini. Setelah menutup dan memastikan semua pintu sudah terkunci. ia pun pulang dengan tenang. Sambil tetap mengayuh sepeda. Ririn masih teringat kedatangan Ariel siang ini, di kedai tempatnya bekerja. “Gimana bisa dia makan di tempatku kerja. Harusnya kan nggak secepat itu juga dia bisa kebetulan ketemu sama aku. Bersyukur tadi nggak sampai ketahuan.  Meski sebenarnya, hampir aja ketahuan,” batin Ririn. Ia yang melamun, tak sadar bahwa jalan yang dilewati akan menurun tajam. Gadis itu juga lupa jika rem sepedanya sudah usang dan tak dapat digunakan sejak kemarin sore. Kakinya yang cukup bertenaga membuat roda sepeda berputar begitu cepat. “Ya, kenapa aku lupa kalau rem sepedanya nggak bisa,” batin Ririn baru menyadari hal itu. Gadis itu mulai bingung karena ingin mengurangi kecepatan sepedanya. Bersamaan dengan itu, ada banyak anak kecil yang sedang berjalan beriringan tepat berada di depan sepeda Ririn yang sedang melaju. “Woyyyy, minggir anak-anak!” teriak Ririn yang langsung mengejutkan anak-anak tersebut. Anak-anak yang sedang berjalan itu terlihat tidak siap dengan situasi yang diciptakan oleh Ririn. Mereka pun menjerit ketakutan.  Melihat anak-anak yang tidak segera menepi. Ririn pun berpikir untuk segera membanting setir sepeda ke arah seberang. “Aduh, nanti kalau ada motor lewat. Aku juga bisa ikut lewat,” pikir Ririn berusaha waras. Ririn akhirnya tanpa pikir panjang membanting setir sepedanya langsung ke tepi jalan. Di sana ada sebuah mobil terparkir. Beruntung dirinya tidak mengenai mobil itu. Ririn pun terjatuh. “Awwww, sakit,” keluh Ririn sambil mengusap telapak tangannya yang mencium kerikil. Si pemilik mobil keluar karena terkejut. Ia langsung berlari mendekat ke arah Ririn yang terlihat kesakitan. “Kamu nggak papa?” tanya pria pemilik mobil tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD