Kebenaran Yang Terungkap

697 Words
"Tidak Jovan kamu tetap anak ibu." tangis wanita paruh baya itu mulai pecah. "Bahkan, kamu sejak dulu tidak pernah memperlakukanku selayaknya anakmu, apa pantas kamu menyebutku sebagai anakmu?" geram ku. Aku mendekat ke arahnya, dia semakin ketakutan. Ayah yang masih duduk di kursi roda, hanya menatapku iba. "Jovan apa yang akan kamu lakukan? Ibu mohon maafkan Ibu!" teriak Ibu. Kala aku akan melayangkan tamparan kearahnya. Bodohnya diriku selama menikahi Riana aku selalu mementingkan permintaan wanita pembunuh ini, dan selalu mengabaikannya. Plak Tamparan akhirnya Aku layangkan ke wajah wanita paruh baya itu. Hatiku hancur sangat hancur saat ini. Bagaimana bisa aku membela mati-matian wanita pembunuh ibuku ini?. Dulu saat Wanita tua ini mengadukan kalau Riana menantu kurang ajar aku langsung percaya dan aku tidak segan-segan menampar wajah Riana. Kala Riana membantah setiap tuduhan yang di lontarkan kepadanya. Namun aku tak pernah mengindahkan pembelaannya. Riana yang di tuduh ibuku melawannya saat di perintah memberi uang kepada ibuku. Dengan alasan untuk membayar sekolah Atik. Aku tak mendengarkan aku layangkan tamparan ke wajah Riana dengan sangat keras. Aku selalu berfikir uang Riana banyak karena usaha butiknya yang maju, tidak mungkin jika dia tidak memiliki uang. "Mas, Aku hanya mempunyai uang dua juta itupun harus membayar SPP sekolah Atik." Jawab Riana kala itu. Atik yang aku sekolahkan di sekolah internasional memang biayanya sangat mahal, untuk SPP perbulan mencapai hampir dua juta rupiah. Alasan utamaku menyekolahkan Ketiga anakku di sekolahan elit adalah gengsi. Dan aku membebankan semua biaya sekolah ketiga anak kami kepada Riana. Jangan di tanya Uangku? uangku habis untuk aku berikan kepada ibu dan Nita. "Halah banyak omong kamu Riana." Plak Sebuah tamparan yang mendarat dengan keras di pipi Riana, Aku teringat bahkan tamparan itu membuat wajah Riana bengkak selama lima hari. "Cukup Mas! jika kamu memang tidak percaya kepadaku, silakan kamu ambil uang ini! tapi ingat jika Atik berhenti sekolah maka kamu yang akan malu!" jawab Riana lantang. Aku hanya bergeming menerima ancaman Riana kala itu. Murka semakin memuncak karena sudah tidak mendapatkan uang, dia malah mengancam ku. Sumpah serapah aku lontarkan kepadanya. "Dasar istri durhaka kamu Riana! Ibuku sedang membutuhkan uang untuk arisan dan itu hanya dua juta saja, kamu tidak memberikannya!" "Mas! bukankah aku sudah menjelaskan bahwa aku memiliki uang dan itu akan aku gunakan untuk membayar sekolah Atik, Kamu tahu sendiri bulan ini Edo baru keluar dari rumah sakit dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit!" terang Riana panjang lebar. Brak Aku gebrak meja. Marahku sudah sampai puncak. Akhirnya aku keluar dengan marah. Dasar Riana memang tidak berguna. Jika mengingat akan hal itu rasanya sangat menyesal. Riana selalu berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. "Bu asal ibu tahu, aku selalu mengutamakan ibu dalam segala hal, bahkan aku dzolim kepada anak dan istriku." air mataku akhirnya luruh. "Hei Jovan! kamu saja yang bodoh ha ... ha ... ha" gelak tawa ibu mengejek diriku. "Kamu memang wanita kejam Tanti!" bentak Ayah. Bahkan sekarang karena murka ayahku bangkit dari kursi rodanya. Aku dan wanita ular itu terkejut melihat Ayah. "A ... A yah" aku menghampiri Ayah dan memeluknya. Ayah melepaskan pelukanku, dan mendekat ke arah perempuan ular itu. "Sudah cukup Tanti, sekarang aku talak kamu dan pergi kamu dari rumahku!" "Tidak Mas! kamu tidak boleh menceraikanku, aku mohon maafkan aku, Mas!" wanita ular itu bersimpuh di kaki ayah. Namun di acuhkan oleh ayah. "Keputusanku sudah bulat Tanti, dan tidak akan aku ralat lagi, bukankah kamu juga selalu mengancam ku akan meninggalkanku saat aku lumpuh dulu?" Cerca ayah. Tut ... Tut Tiba-tiba ponselku berdering. 'Fanya? kenapa Fanya meneleponku?' berbagai pertanyaan muncul di benakku. "Hallo iya sayang ada apa?" jawabku. "Papah? Hiks ... hiks pap tidak akan meninggalkan kami kan, jangan tinggalkan kami seperti mamah!" "Cup ... cup sayang, ini papah lagi main kerumah eyang , kamu ada apa menelepon papa?" "Edo demam Pah, Papah pulang!" "Pah, maaf Edo sedang demam aku ijin pulang dulu." "Sudah Jovan, sekarang kamu pulanglah rawat dengan baik ketiga cucuku, untuk wanita ular ini biar ayah yang akan mengurusnya." "Tapi Ayah," "Sudah, percayalah kepada Ayah!" Aku melirik kepada wanita itu, wajahnya pucat pasi, ketakutan terpancar dari wajahnya. "Baiklah, aku pulang dulu." kataku. Aku cium takzim tangan ayahku, dan memeluk beliau. Air mataku menetes karena bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD