Rasanya Kehilangan

838 Words
Beruntung kosan Nita termasuk area bebas sehingga aku bisa keluar masuk seenaknya bahkan kami bebas bercinta dan berteriak sepuasnya. Nita memang sengaja memilih kosan yang banyak digunakan oleh para pekerja seks komersial agar kami bebas bercinta. Pagi hari saat aku bangun masih melihat Nita terlelap disampingku. Nita tidaklah secantik Riana, akan tetapi servis yang diberikannya di atas ranjang membuat aku selalu puas dan kecanduan. "Nita ... Nita bangun Sayang,! mas harus pulang dulu ini sudah siang !" kataku, sambil menggoyangkan badan Nita agar terbangun. "Uhmm tapi aku masih kangen, Mas!" katanya dengan manja dan memelukku seolah tak ingin berpisah denganku. Sifat manja Nita inilah yang membuat aku merasa selalu dibutuhkan, tidak seperti Riana yang terlampau mandiri. "Tapi mas harus pulang dulu Sayang, siang ini ada kasus yang harus mas tangani nanti malam mas janji kita ketemu lagi," bohongku. Aku terpaksa membohongi Nita, sebenarnya aku merasa khawatir dengan Riana. Entahlah perasaanku merasa tak enak. Meski aku selalu mengacuhkannya namun cintaku hanya untuk Riana, sedangkan bersama Nita hanya sebatas melampiaskan hasratku saja. "Ok deh, tapi aku minta uang ya Mas! ada tas keluaran terbaru yang aku pengen gak mahal kok, cuma dua puluh lima juta saja!" pinta Nita. "Iya nanti mas transfer, ya sudah mas pulang dulu!" pamitku. Aku pun mengecup singkat bibir Nita. Sekalipun aku tak pernah mencium kening Nita, karena aku hanya mencintai seorang wanita yakni Riana. Aku bergegas melajukan mobilku dengan kencang, entah mengapa perasaanku sangat tidak enak. Sampai di rumah aku mendengar tangis histeris dari ketiga anakku. "Hikss ... hikss ... Mamah ... Mamah kenapa Mah ... Mamah bangun!" teriak Atik yang terdengar panik. Aku bergegas masuk, aku terkejut karena posisi saat itu Atik -gadis cantikku- itu sedang memeluk Riana yang nampak bibirnya telah membiru. Aku sejenak syok bingung harus melakukan apa. "Papah ... Mamah Pah kenapa dari tadi gak bangun! Edo takut Pah hikss ... hikss ... hikss ... hikss ... hikss!" tangis si kecil yang sangat dekat dengan ibunya. Aku berhambur memeluk istriku, dan memeriksa denyut nadinya. "Astagfirullah Riana bangun Sayang!" tangisku pecah seketika. Aku tak bisa merasakan denyut nadi Riyana. Aku mengangkat tubuhnya aku masukan tubuh Istriku tercinta kedalam mobil, air mataku berlomba-lomba keluar dari mataku. "Ya Allah, hamba mohon jangan ambil dulu nyawa istriku!" mohonku. Aku melajukan mobilku dengan sangat kencang. Jalanan di Kota Malang yang biasanya macet beruntung hari ini begitu lengang. Perjalanan ke rumah sakit hanya dua puluh lima menit. Aku langsung memasuki ruang IGD. "Dokter ... dokter ... tolong istri saya!" teriakku seperti orang gila. Aku sangat panik saat itu. Tubuh Riana terasa sudah dingin aku sangat takut dengan kenyataan terburuk yang mungkin terjadi. 'Tidak .... Riana tidak mungkin meninggalkanku dia sangat mencintaiku ' monolog ku dalam hati. Dokter langsung memeriksa keadaan Riana. "Mohon maaf Pak, istri Bapak sudah meninggal dunia, bahkan kemungkinan dia meninggal sejak semalam karena bibirnya yang telah membiru," kata dokter. Tangis ku kembali pecah, rasa bersalah menggelayut di hatiku sungguh aku suami pembunuh. Andai aku tak mengabaikan permintaannya untuk menjemputnya tadi malam tentu tidak akan seperti ini, Riana tidak mungkin meninggal. "innalilahiwainnailahirojiun, Maafkan mas Sayang!", sesalku, aku mencium kening Riana untuk terakhir kali. Aku memeluk Riana erat, tak rela rasanya untuk melepaskannya. Bodoh hanya itu kata yang pantas di tujukan kepadaku. "Kami turut berduka cita Pak, Mohon maaf kami tak bisa menyelamatkan nyawa Bu Riana," sesal dokter yang menangani Riana. Aku mengangguk lemah. "Tidak Dok, ini sudah takdir istri saya, Dokter tidak perlu meminta maaf, " balasku. Aku segera menghubungi kedua orang tua Riana. Tut ... tut. "Assalamualaikum!" ucap ku. "Wa'alaikumsalam!" balas Mas Danu, dengan suara baritonnya. Aku seketika merasa takut mengabarkan kematian Riana, bagaimana jika aku disalahkan dalam kasus kematian Riana?. "Mas Danu, saya mau bicara dengan Bapak , apa beliau ada?" tanyaku. “Bapak sedang tidur. Bicara saja denganku nanti akan aku sampaikan.” Ucap Mas Danu. "Ma ... mas maaf, hikss ... hikss ... aku tidak bisa menjaga Riana, sekarang Riana hiks ... hikss sudah meninggal!" tangisku pecah, tak kuasa aku menahannya. "innalilahi wainna ilahirojiun, baiklah besok aku, ibu dan bapak kesana" balas Mas Danu. Meski terdengar tak menangis tapi aku tahu Mas Danu memendam rasa sedihnya, terdengar suara Mas Danu bergetar saat mendengar kabar dariku. Kini aku bingung harus bagaimana?. Hal terberat adalah mengabarkan kepada tiga anakku. Hidup tanpa Riana tak pernah terbayangkan olehku. Dia wanita terhebat yang pernah aku temui. Meski harus mengurus ketiga anak kami. Dia bisa sukses dan memiliki butik yang dia bangun karena usaha kerasnya. "Pah, Edo kangen mamah!" tangis Edo kembali pecah saat dia terbangun dari tidurnya. Mengagetkanku dari lamunan. "Iya, Sayang sabar ya! yuk kita kedepan kita main sama Eyang!" hibur ku. Lalu menggendongnya kedepan menemui eyangnya. Kedua mertuaku berencana akan tinggal disini sampai tujuh hari. Aku bersyukur karena anak-anak sedikit terhibur dengan keberadaan eyang mereka. "Eyang, Edo kangen mamah, hiks ... hiks..., " tangis Edo sambil memeluk eyang putrinya. "Uhm ... sudah toh Le, sing sabar sing ikhlas! mamah sudah tenang di Surga-Nya," nasihat eyang, sambil menyeka air mata di pelupuk matanya. 'Riana kenapa kamu meninggalkan mas, Sayang?', monologku. Sejenak Edo sudah mulai tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD