Satu

1014 Words
Wanita itu terisak, sendiri di dalam gelapnya malam. Hanya ada sedikit cahaya dari lampu jalan yang menembus kamar melalui kain gorden jendela yang tipis. Ia berusaha untuk menahan tangis, tapi rasa sakit dan perih yang teramat sangat mengerogoti dirinya. Ada rasa tercabik-cabik di dalam d**a. Nafasnya tersengal-sengal, bulir-bulir keringan sebesar biji jagung mengucur deras dari berbagai bagian tubuhnya. Membuat suasana bertambah dramatis. Padahal beberapa saat sebelumnya wanita itu masih dalam keadaan damai, terlelap dalam tidurnya yang dalam. Seperti biasa mimpi buruk itu hadir diwaktu yang selalu sama dan membuatnya terperejat bangun dari lelap. Mimpi buruk itu membuatnya masuk dalam rasa ketakutan yang luar biasa, bahkan tak mudah mengontrol perasaannya agar kembali menjadi baik-baik saja. Kejadian itu sudah lama sekali terjadi, sudah belasan tahun yang lalu. Namum trauma masih membekas hingga sekarang, luka itu tercabik dalam. Kejadian penuh luka dimasa lalu menghasilkan luka menganga didalam dirinya, meninggalkan kepedihan dan kesakitan yang teramat sangat sehingga sakitnya masih terasa hingga hitungan tahun. **** "ARIMBIIIIIIII......!!!!!" Terdengar teriakan suara laki-laki memanggil namanya dari arah ruang depan. Arimbi yang saat itu sangat yakin dengan pasti suara siapa yang memanggil namanya, bergetar ketakutan karena tahu kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya. Arimbi seraya berlari meninggalkan nasi yang baru saja akan dia sendokan ke atas piring. baru saja Arimbi berniat untuk pergi makan, suara-suara dari dalam perut sudah mengusiknya sedari tadi, meminta agar Arimbi menunaikan kebutuhannya. Tapi belum sempat hal itu terjadi, panggilan yang sangat Arimbi takutkan terdengar, tak mau akan menjadi perderitaan yang bertambah parah Arimbi pun sedikit berlari kecil menuju arah suara itu berasal. " I – i – iya, yaaah! " Belum sampai dihadapan laki-laki itu Arimbi terlebih dahulu menyauti panggilan ayahnya. "Lama sekali, hah? Kalau ayah panggil tuh cepet responnya." Bentak laki-laki berperawakatan tinggil kecil dengan beberapa gambar tato ditangannya. "I–i–iya yah, maaf! tadi Arimbi dibelakang, baru saja mau makan." Sahut Arimbi penuh ketakutan. "Kalau orang tua kasih tahu, ngeles aja! jawab aja! pinter kamu, hah?" Tanpa alasan yang jelas laki-laki itu terus saja membentak-bentak Arimbi. Dengan perasaan bertambah takut, Arimbi menjadi serba salah. Dia tidak tahu harus berbuat seperti apa agar dirinya aman. "Mana uang setorannya? Dapet berapa hari ini? Hah!" Laki-laki itu menodongkan tangan di depan wajah Arimbi. Dengan penuh rasa takut yang membuat tubuh bergetar, Arimbi mengeluarkan sesuatu dari saku celana untuk dia berikan pada laki-laki yang dia panggil dengan sebutan ayah itu. "Ini, yah." Arimbi memberikan uang hasil ia bekerja di tempat pengepulan barang-barang bekas selepas ia pulang sekolah tadi. "Apa-apaan ini? Masa cuma dapat segini?" Ayah Arimbi memukul kepala Arimbi dengan tangannya yang cukup besar. "Maaf, yah! Tadi pak Harja dan istrinya akan pergi, jadi aku diminta untuk pulang lebih cepat sehingga hasil pekerjaanku juga belum begitu banyak." Arimbi berusaha memberikan penjelasan agar ayahnya tidak bertambah marah. "Alaaaahhhh... Emang dasarnya saja kamu anak malas. Berani-beraninya kamu bawa pulang uang yang cuma segini. Sudah tahu Pak Harja nyuruh pulang cepat, harusnya kamu cari usaha yang lain, ngapain kek, ngamen kek sana." Ayah Arimbi malah semakin marah saat mendengar Arimbi membela diri. Penderitaan Arimbi di sore itu pun dimulai, pukulan demi pukulan bahkan beberapa tendangan juga sempat mendarat di tubuh kecilnya. Setelah merasa puas dengan semua perbuatan buruk yang dia lakukan terhadap anak perempuan yang seharusnya ia lindungi, laki-laki yang sedang dalam pengaruh minuman beralkohol itu berlalu, meninggalkan gadis kecilnya yang teronggok ketakutan disalah satu sudut ruangan, menahan sakit disekujur tubuhnya. Arimbi yang saat itu masih berumur delapan tahun sering kali menerima siksaan demi siksaan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Awalnya kehidupan Arimbi masih ceria layaknya anak-anak lainnya, namun melihat gadis kecilnya tumbuh menjadi lebih besar, laki-laki yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri itu memerintahkan anak perempuannya yang saat itu masih berumur delapan tahun untuk bekerja di gudang pengepulan barang-barang bekas milik pak Harja, salah satu juragan barang-barang rongsok yang lokasinya tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Dan yang menyesakkan d**a, uang hasil keringat gadis kecilnya itu setiap sore hari akan dia pinta secara paksa dan kasar, biasanya akan dia pakai untuk berjudi dan bermabuk-mabukan. **** Keadaan Arimbi telah jauh lebih tenang, dia sudah bisa kembali mengatur nafasnya dengan baik. Arimbi memejamkan matanya secara perlahan, mengambil nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan, berharap segera mendapatkan kedamaiannya kembali. Arimbi meraih gelas berisi air putih, yang sebelum tidur sengaja ia letakan di meja dekat matras tidurnya. Arimbi meneguk air di dalam gelas hingga tak menyisakan satu tetes pun di dalamnya. Dilihatnya jam yang menempel di dinding kamarnya menunjukan pukul setengah lima pagi, berarti dia baru saja tertidur selama satu jam. Kejadian seperti ini hampir terjadi setiap hari, selama belasan tahun hanya dapat dihitung dengan jari saat-saat Arimbi bisa tidur dengan lelap. Mimpi buruk itu selalu datang tidak lama setelah dia masuk kedalam tidurnya. Arimbi baru pulang pukul tiga dini hari tadi, setelah bersih-bersih kurang lebih selama setengah jam akhirnya dia pergi tidur pukul setengah empat pagi dan pukul setengah lima tepat satu jam dia tertidur, mimpi buruk itu hadir membangunkannya dari tidur. Pekerjaan yang Arimbi lakukan memang mengharuskannya pulang pukul tiga pagi setiap harinya, tidak jarang bahkan dia harus kembali ke kostan ketika langit sudah hampir kembali terang. Setelah dirasa kembali tenang, Arimbi memutuskan untuk kembali tidur. Badannya tidak lagi memiliki tenaga, mata juga sudah sangat berat. Teman-temannya tak membiarkannya lolos pulang dengan mudah begitu saja, benar-benar menguras habis tenaganya. Dia merasa harus kembali bugar hari ini, tidur adalah satu-satunya hal yang sangat dia butuhkan tanpa kecuali. Mimpi buruknya memang datang hanya satu kali, tetapi itu membuat trauma baginya. Dia tidak pernah datang kepada psikolog siapapun untuk membantunya lepas dari jerat masa lalu yang kelam, padahal sangat dia sadari bahwa dia membutuhkan itu untuk menjadi lebih baik. Sayang semakin lama dia semakin tidak perduli dengan hidupnya, dengan sangat ia sadari perlahan tapi pasti dia merusak hidupnya sendiri. Arimbi!! dalam mimpinya walaupun bukan mimpi yang buruk selalu mendengar nama itu dipanggil lembut oleh seorang wanita yang sejujurnya sangat ia rindukan. Walaupun hanya sesaat, Arimbi pernah merasakan hanyanya tangan dan pelukkan itu, namun panggilan itu malah akan membuatnya jatuh dan terluka semakin dalam seberapa halus dan lembut nama itu dipanggil yang terasa hanyalah perih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD