Bab 68. (Warno-Warmo)

1070 Words
Sementara itu di luar bukit itu. Tampak malam telah menjelang. Matahari pun telah tenggelam sedari tadi di ufuk barat. Untuk beristirahat di peraduannya. Dan akan kembali besok, di langit timur dengan penuh keceriaannya. Sebagai raja langit Bumi. Di langit yang tanpa batas itu, terlihatlah Bulan yang semakin menciut dari wujud purnama nya, beberapa malam yang lalu. Akan tetapi, tetap tak mengurangi kekuasaannya sebagai penguasa langit malam selama ini. Terlihat di atas bukit di Pulau Hitam. Malaikat Hitam dan Malaikat Merah, masih berada di atas puncak bukit itu. Mereka kini berdiri di atas puncak Bukit Hitam, dengan membawa sabit panjang milik mereka. Yang digenggam oleh tangan kiri mereka. Yang ditancapkan, di atas tanah puncak bukit itu. Mereka berdua saling berhadapan satu dengan yang lainnya. Seakan sedang ingin berduel saja. "Bulan ..., yang indah ..," ujar Malaikat Hitam berbicara sendiri, sambil memandang ke arah Bulan. Yang tepat berada di atas mereka. "Lebih indah lagi, jika Bulan itu berwarna merah darah ...!" sambung Malaikat Merah, sambil mengayunkan sabit panjang bergagang merahnya ke arah Bulan di langit tanpa batas. "kau itu terlalu terobsesi dengan darah dan kematian ...," respon Malaikat Hitam, dengan nada s***s. "Itu semua karena dirimu ...," timpal Malaikat Merah dengan suara yang mendesah. "Diriku menjadi alasan, padahal itu adalah keinginan dirimu sendiri," timpal Malaikat Hitam, dengan ketusnya terhadap tangan kanannya. "Lebih tepatnya, keinginan diri kita bersama, karena kita adalah duo terkuat di 7 Malaikat Kematian ...." "Sepertinya, kita kembali pada formasi awal kita. Kita tinggal berdua di 7 Malaikat Kematian. Setelah mereka kita bereskan, maka kita akan merekrut anggota baru," tutur Pimpinan 7 Malaikat Kematian. Membeberkan rencananya kepada Malaikat Merah. "Jika begitu, kita habisi mereka malam ini juga," ucap Malaikat Merah, sambil menurunkan sabit panjang bergagang merahnya kembali. "Tidak, malam ini. Aku ingin menikmati Bulan di langit ...," tolak Malaikat Hitam. Lalu menaruh sabit panjang bergagang hitamnya di tanah, lalu membaringkan tubuhnya. Di tanah, di puncak Bukit Hitam. Dengan tatapan mata ke arah Bulan di langit. "Bukannya, lebih cepat itu lebih baik ...?" ujar Malaikat Merah. Sambil menaruhkan sabit panjang bergagang merahnya. Dan lalu berbaring di samping Malaikat Hitam, dengan begitu santainya. "Aku ingin menciptakan ketakutan kepada diri mereka semua," timpal Malaikat Hitam. "Tapi kenyataannya mereka tidak takut kepada kita," ujar Malaikat Merah. Yang tak digubris oleh Malaikat Hitam. Yang lebih asyik dan lebih memilih untuk menikmati Bulan di langit. Malam pun semakin melarut menyelimuti gugusan pulau kecil itu. Seakan ingin memberi jeda untuk tragedi selanjutnya. Yang akan diciptakan oleh mereka, esok harinya. *** Sementara itu di Jakarta malam sudah menjelang. Tampak Mario sedang berada di dalam rumahnya. Sebuah rumah besar, dengan halaman luas yang mengelilinginya. Dengan pagar tinggi tertutup. Seakan rumah itu tak ingin bertetangga dengan para tetangganya. Yang kebetulan sering berada di luar kota. Daripada di dalam rumah itu. Hingga perumahan itu terlihat begitu sepi. Di rumah berlantai dua itu. Mario hanya tinggal seorang diri. Tak ada teman yang menemaninya. Entahlah kenapa ia begitu betah tinggal seorang diri seperti itu. Paling tidak untuk saat ini. Dirinya benar-benar tinggal sendiri. Karena pembantunya sedang pulang kampung. Dirinya sedang berada di taman belakang rumahnya. Di mana dirinya sedang bermain ayunan. Layaknya seorang anak kecil saja. Ada 4 pohon mangga yang ada berdiri kokoh di hadapannya, dengan buah yang mulai matang. "Sepertinya, ada tamu yang tak diundang. Yang sudah masuk ke dalam rumah ini?" tanya Mario di dalam hatinya. Mario kali ini memakai kaos oblong dan celana selutut tanpa alas kaki. Hingga penampilannya pun terlihat begitu santai. Sangat berbeda jauh, saat dirinya memakai kostum malaikat biru. "Pasti mereka, suruhan Malaikat Hitam. Untung aku sudah tinggal di tempat ini. Tanpa ingin ada keluargaku yang ikut," papar Mario di dalam hatinya. Lalu menghentikan mainan ayunannya itu. Bayangan Malaikat Biru itu lalu berdiri, melangkahkan kakinya dengan santainya. Menuju ke arah samping rumahnya. Hanya beberapa langkah. Mario lalu menghentikan langkah kakinya. "Aku tahu kalian datang atas perintahnya. Warno-Warmo," kata Mario, seakan dirinya dapat melihat. Sosok yang menyusup ke dalam rumahnya. Mendengar keberadaannya sudah diketahui oleh Mario, yang mereka kenal sebagai Malaikat Biru. Tanpa mengetahui bila Malaikat Biru ada dua. Warno dan Warmo kembar. Mereka dapat perintah dari Malaikat Hitam untuk menghabisi Mario. Karena sudah mengkhianati 7 Malaikat Kematian. Dengan imbalan, mereka akan menggantikan posisi malaikat kematian, yang sudah mati. Posisi yang diimpikan oleh mereka selama ini. Si kembar itu pun keluar dari dalam persembunyiannya secara bersamaan. "Kau hebat juga dapat mengetahui keberadaan kami," kata Warno, dengan penampilan seperti seorang preman pasar, berambut cepak. Dengan tinggi 171 cm, berkulit cokelat berbadan tegap. Bak seorang tentara saja. Begitu juga dengan Warmo yang memiliki fisik dan penampilan yang sama. Mereka hanya dapat dibedakan oleh t**i lalat yang dimiliki oleh Warno di ujung bibir kanannya. "Apa hebatnya, aku sudah mencium bau ketek kalian dari tadi," sahut Mario, lalu tertawa keras, dengan jarak 2 meter di depan mereka berdua. Warno-Warmo lalu saling mengendus ke tubuh kembarannya masing-masing. "Kau yang bau No," kata Warmo, dengan penuh keyakinannya. "Enak saja. kaulah yang bau!" bantah Warno, dengan sengitnya. Mereka berdua terus saling berdebat. Seakan sudah lupa dengan tujuan mereka datang menemui Mario. "Sudahlah kalian jangan berdebat. Kalian pasti diberi perintah oleh orang super gila itu, untuk membunuhku. Bukannya begitu?" papar Mario, dengan nada santainya. Akan tetapi sudah dapat menghentikan perdebatan di antara dua saudara kembar itu. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Warno dengan penuh selidik terhadap Mario. "Jelas aku tahu, karena hanya kalian yang ingin menerima perintahnya. Karena kalian berdua tak tahu siapa aku yang sebenarnya," tutur Mario, yang memantik rasa penasaran Warno dan Warmo, dengan pengakuannya itu. "Memang kau ini sebenarnya siapa?" tanya Warmo kali ini dengan penuh telisik terhadap Mario. "Belum saatnya kalian tahu siapa diriku," sahut Mario lalu tertawa dengan ringannya. "Beritahu kami!" ujar Warno dengan suara yang memaksa. "Atau kami akan membunuhmu sekarang," sambung Warmo, dengan nada mengancam. "Apa kalian mampu," ejek Mario, lalu secara tiba-tiba saja melangkah cepat ke arah Warno dan Warmo. Mario lalu memukul perut kembar itu dengan kedua tangannya secara bersamaan. Hingga membuat mereka berdua terjungkal. Bruk! Warno dan Warmo pun jatuh bersamaan. "Hanya seperti ini saja, kalian terjatuh. Mana mungkin kalian membunuhku. Lebih baik kalian tidur, untuk bermimpi. Daripada mencari masalah dengan diriku," ejek Mario kepada mereka berdua. Yang terlihat meringis kesakitan. "Kau menganggap kami remeh!" teriak Warno, sembari bangkit bersama kembarannya dari jatuhnya. "Memang kalian ku anggap remeh," sahut Mario, lalu menyeringai. Yang membuat Warno dan Warmo yang sudah berdiri tegak. Merasa ngeri melihatnya. Seakan sedang melihat setan secara nyata di hadapan mereka secara langsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD