Bab 22. (Tiga Korban Sekaligus)

1133 Words
Malaikat Hitam terus memandang ke arah Laguna Kematian, dengan seribu tanda tanya. Tentang angin kuat yang menghantamnya tadi. Terus bermain dengan pikirannya sendiri. Hingga dirinya pun tak menyadari kehadiran Malaikat Biru, yang sudah ada di belakang dirinya. "Kau ini sedang apa di sini sendiri?" tanya Malaikat Biru, sambil menepuk pundak kanan Malaikat Hitam. Yang membuat pimpinan dari 7 Malaikat Kematian itu terkejut bukan itu. Hingga dirinya pun langsung saja berbalik arah, dan meninju perut Malaikat Biru dengan begitu kerasnya. Tanpa perasaan sama sekali. Hingga membuat Malaikat Biru kesal dan terkejut bukan main. "Kenapa kau memukulku, Pimpinan?" protes Malaikat Biru, sambil memegang perutnya. Yang terasa begitu sakit. "Aku kira kau Putih," sahut Malaikat Hitam, yang kini ada di hadapan Malaikat Biru dengan datarnya. "Putih, sedang ada di pulaunya, Pimpinan," ucap Malaikat Biru, belum mengetahui jika yang dimaksud oleh Malaikat Hitam adalah Malaikat Putih yang sudah mati. Malaikat Hitam menghela napasnya. Berusaha bersabar dengan anggota tertampan di 7 Malaikat Kematian itu. Namun paling bodoh di antara mereka bertujuh. Hingga Malaikat Hitam pun. Harus jelas, jika berbicara dengan dirinya. Agar Malaikat mengerti, dengan apa yang sedang dibahas oleh dirinya. "Yang ku maksud, Putih yang sudah mati," ungkap Malaikat Hitam. Yang membuat Malaikat Biru mengerti dengan apa yang di maksud oleh Malaikat Hitam. "Kau terlalu merasa bersalah atas kematiannya, 5 tahun yang lalu. Hingga terbawa mimpi seperti ini dan bisa berhalusinasi separah ini," tutur Malaikat Biru, dengan penuh kekesalannya. Mendengar perkataan dari anak buahnya itu. Malaikat Hitam pun tersentak bukan main. Seolah dirinya baru tersadar dari mimpinya. "Kau benar, kenapa aku takut dengan mimpi?" ucap Malaikat Hitam, sambil menepuk kening yang ada dibalik topeng tengkorak hitamnya. "Sudah, lebih baik kau tidur di dalam. Kau itu paling tua di antara 7 Malaikat Kematian. Kau lebih rentan sakit daripada kami," ucap Malaikat Biru, lalu tertawa terbahak-bahak. Seakan sedang mengejek pimpinannya itu. "Berani-beraninya kau mengejekku," Malaikat Hitam pun memukul ke arah wajah dibalik topeng tengkorak biru. Yang ditangkis oleh tangan kiri Malaikat Biru. "Kau ingin memukul wajah tampanku, itu tak bisa ...," Malaikat Biru, lalu berlari meninggalkan Malaikat Hitam seorang diri. Sembari terus tertawa dengan penuh kebahagiannya. "Dasar, anggota paling bodoh dan maniak," beber Malaikat Hitam di dalam hatinya, dengan penuh kegeramannya. "Lebih baik, aku tidur di dalam kamar saja. Benar kata Biru, aku ini paling tua di 7 Malaikat Kematian," Malaikat Hitam lalu melangkahkan kakinya, menuju jalan rahasia untuk menuju ke dalam bukit tempat tinggalnya itu. Hingga suasana pun menjadi benar-benar sepi. *** Malam terlihat semakin melarut, Bulan yang sedang purnama pun semakin cemerlang terlihat di langit tanpa batas. Tampak Malaikat Merah, Malaikat Kuning dan Malaikat Hijau. Berjalan untuk menuju ke arah pondok kayu tempat para pemenang kuis itu berada. Terus berjalan dituntun oleh sinar Bulan. Tanpa keraguan sama sekali untuk menjalan tugas mereka sebagai anggota dari 7 Malaikat Kematian. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka pun tiba di depan pintu masuk pondok kayu itu. Mereka lalu berhenti berbincang satu dengan yang lainnya. "Kuning, Hijau. Apakah kalian sudah siap melakukannya?" tanya Malaikat Merah, bernada dingin. Dengan tatapan tajam ke arah 2 rekannya. "Aku tentu saja siap, Merah .... Mereka tengah terpengaruh oleh obat bius dari makanan tadi sore. Aku rasa ini akan lebih mudah dilakukan dari pada di saat mereka terjaga," jawab Malaikat Kuning, dengan binar penuh kebahagian di sepasang matanya. "Aku juga siap. Dan untuk meninggalkan jejak. Selain kita harus meninggalkan sabit kita, di tempat di mana korban berada. Kita pun harus menuntun mereka untuk menemukan mayat para korban kita. Dengan cara meninggalkan jejak darah korban kita ...," jawab Malaikat Hijau, dengan penuh kebahagiannya. Seraya membayangkan dirinya, sedang membunuh para korbannya. "Ya, kita harus memotong urat nadi korban kita, dengan begitu darah akan terus keluar dari luka itu," ucap Malaikat Kuning, lalu tertawa lepas. "Kalau begitu ..., saatnya kita untuk BERGERAK!" sambung Malaikat Merah, lalu menendang pintu pondok kayu yang tak terkunci itu. Hingga pintu itu pun terbuka dengan lebarnya. Tanpa ada yang terjaga dari dalam pondok kayu itu, sama sekali. Padahal tendangannya itu begitu keras sekali. Tetapi para pemenang kuis itu, sama sekali tak mendengarnya. Akibat pengaruh dari obat bius yang ada pada makanan yang telah mereka santap. Mereka bertiga lalu masuk ke dalam pondok kayu itu secara bersamaan. Lalu berpencar ke dua arah. Malaikat Merah dan Malaikat Hijau, menuju ke dalam kamar yang ditempati oleh Tigor dan Ketut yang memang tak terkunci. Sedangkan Malaikat Kuning menuju ke dalam kamar yang ditempati oleh Tino dan Anto. Langkah kaki mereka begitu, tanpa beban sama sekali. Setibanya di dalam kamar itu. Malaikat Kuning lalu memegang pergelangan tangan kiri Anto, dengan tangan kanannya. Ia pun nampak tersenyum ke arah Anto dengan dinginnya. Seperti seorang psikopat, yang tak memiliki perasaan sama sekali terhadap korbannya. "Kata temanku, kau pernah bertanya. Kapan kami akan menjemputmu? Sekaranglah pertanyaan mu akan aku jawab, oleh diriku. Sebagai wakil dari temanku itu ...," ujarnya, lalu ia pun mulai mendekatkan sabit bergagang kuningnya ke arah urat nadi yang ada di pergelangan tangan kiri Anto. "Sekaranglah aku akan menjemputmu, untuk pergi ke dunia kematian ...," lanjut Malaikat Kuning, berbicara sendiri. Malaikat Kuning lalu memegang tangan kiri Anto dengan tangan kanannya. lalu memotong urat nadi Anto dengan sabit bergagang kuning, yang dipegang dengan tangan kirinya, tanpa perasaan kasihan sama sekali kepada Anto yang tengah terlelap dengan pulas nya. Yang merupakan tidur terakhir kalinya, karena besok ia sudah tak mungkin bangun lagi. Anto akan mati dan tidur untuk selama-lamanya, akibat ulah dari Malaikat Kuning. Terlihat tak ada reaksi apalagi perlawanan dari Anto. Sepertinya obat bius itu sangat kuat diberikan pada makanan yang sudah ia makan itu. Mungkin takarannya jauh atas rata-rata. Hingga dilukai seperti itu pun. Anto tetap tak sadar juga. Tampak darah keluar dengan derasnya dari luka Anto. Hingga membasahi spring bed yang ia tiduri saat ini. Setelah merasa Anto sudah berada di ujung maut. Malaikat Kuning lalu menaruh sabit bergagang kuning itu di lantai. Lantas dengan tangan kirinya. Ia pun lalu membopong tubuh Anto keluar dari dalam kamar itu, dengan darah yang masih keluar dari urat nadinya. Yang seakan, akan menjadi petunjuk bagi pemenang kuis yang lainnya. Sesudah Malaikat Kuning keluar dari dalam kamar itu. Secara bersamaan Malaikat Merah terlihat membopong tubuh Tigor dan Malaikat Hijau yang membopong tubuh Ketut. Berpapasan dengan Malaikat Kuning. Ketut dan Tigor mengalami luka sama seperti Anto. "Semua berjalan sesuai dengan rencana," kata Malaikat Merah, saat mereka berpapasan dengan Malaikat Kuning. "Ya, semuanya sesuai dengan rencana. Sekarang kita lanjutkan rencana berikutnya," sahut Malaikat Kuning. Mereka bertiga lalu keluar dari dalam pondok kayu itu, dengan langkah santai menuju tujuan mereka masing-masing. Dengan meninggalkan jejak darah mereka di lantai dan sabit mereka di mana korban mereka berada. Tiga anggota dari 7 Malaikat Kematian itu terus berjalan meninggalkan pondok itu. Dengan di sinari oleh terangnya Bulan purnama di langit gugusan pulau kecil itu. Yang seakan menjadi saksi atas semua kejadian kejam itu. Yang terjadi gugusan Kepulauan Kematian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD