Bab 10 Ketika Kamu Marah

1391 Words
                Aku terbangun dari tidur di kamarku yang penuh dengan bintang-bintang. Siapa yang menyimpan bintang-bintang di atas sana? Tunggu, mereka mulai pudar dan hilang. Sejenak kurasakan pelipis kiriku yang nyeri tak karuan. Aku sakit kah? Tunggu, bukannya tadi aku di lapangan voli, kok sekarang bisa di atas ranjang di dalam kamarku? Sleep walking lagi? Tidak, aku tidak ngelindur kok. Masyaallah, apa saja yang kulewatkan tadi? Tadi aku kan dipukul helm dengan tak sengaja oleh Bu Joni yang emosi. Pasti aku pingsan lagi deh setelah darah mengucur dari pelipisku.                 Aku celingak-celinguk mencari Baby A. Kemana ya anakku? Namun, telingaku mulai menangkap suara-suara aneh. Sepertinya ada banyak jenis suara di balik pintu kamarku. Kubuka pelan pintu kamar untuk mencari tahu suara-suara gaduh itu milik suara siapa. Ternyata, suara marah itu milik Kak Erlan. Suaranya bernada tinggi semua dan kadang disertai gebrakan meja. Siapa yang dimarahinya? What? Bapak dan Ibu Joni, tersangka utama penyebab pingsanku kali ini? Kak Erlan sedang marah besar pada kedua orang itu.                 Dengan langkah tertatih sambil memegangi kepala, aku duduk di ruang TV yang berbatasan langsung dengan ruang tamu depan. Dengan jelas kudengarkan sisa kemarahan Kak Erlan. Sesaat kemudian, kulihat Baby A yang tertidur di gendongan Mama. Mamaku sampai datang ke asrama? Jadi, aku benar telah mengejutkan semua orang dengan insiden kepala itu. “Saya gak habis pikir kenapa Ibu bisa menyakiti istri saya. Ibu tega sekali memukul istri saya! Apa salah kalau dia hanya ingin mendamaikan Ibu dan Bu Guruh? Susah sekali mengarahkan Ibu ya? Apa Danyon harus turun langsung menangani masalah ini? Mau ditaruh mana muka saya sebagai Danki, Bu?” kata Kak Erlan yang super duper judes dan keras. “Izin Danki, saya dan keluarga meminta maaf kepada Danki sekeluarga. Seluruh pengobatan Ibu biar ditanggung kami,” ujar Pak Joni segan. “Bukan masalah uangnya, Praka Joni! Kalau pakai uang selesai, enak sekali ya semua urusan! Saya marah sebagai seorang suami yang istrinya disakiti. Saya saja tak pernah menyakiti istri saya, kok bisa-bisanya istri saya disakiti oleh orang lain. Saya sangat marah pada orang yang menoreh luka sedikit saja pada istri saya!” ujar Kak Erlan sambil berkacak pinggang dengan nada suara berakhiran tanda seru semua. Ya Allah ternyata Kak Erlan sangat marah melihat istrinya disakiti seperti ini. Baru kali ini kulihat kemarahannya lagi. Walau aku sudah pernah melihat Kak Erlan memarahi pengendara sepeda motor karena berbelok tiba-tiba di depan mobilnya kala itu, tapi kemarahan kali ini terasa beda. Kak Erlan benar-benar memarahi seseorang demi aku. “Dek, makan ya? Mama ambilkan makan setelah taruh Aiyra di boks,” ujar Mama pelan sambil mendekatiku. Kucium Baby A yang sedang tidur. “Mama makasih ya udah datang repot-repot ke sini. Pasti Mama kaget sekali. Maafin Aiyra ya, Mah?” ujarku sambil memeluk Mama. Manjaku kambuh walau aku sudah jadi seorang mama juga. “Sudahlah, Nak. Gak apa-apa. Mama lega sudah melihatmu baik saja. Sementara biar Baby A Mama yang urus ya?” tawar mama, aku mengangguk. Kulihat punggung mama masuk ke dalam kamar Baby A. Lebih baik aku mandi saja dulu lantas menunaikan salat magrib yang terlewat karena pingsan sekaligus isya.                 Setelah mandi dan ganti baju, kudengar Kak Erlan masih saja memberi wejangan panjang kali lebar. Bahkan, kata-kata menyeramkan seperti laporan ke polisi dan sanksi militer sempat terucap darinya. Dih, udahan dong Sayang marahnya. Kasihan tuh yang dimarahin. Jangan sampai dilaporkan kemana-mana deh. Kita cinta damai saja, aku sudah memaafkan kesalahan yang tak disengaja Bu Joni kok. Lebih baik aku salat dan mendoakan agar amarah suamiku cepat hilang. Saat selesai salam, kulirik ada sosok lelaki di belakangku. “Kakak? Bikin kaget saja,” ujarku terkaget karena melihat Kak Erlan sudah menatapku lekat. Dia mendekatiku yang masih pakai mukena. “Kamu udah baikan, Sayang?” bisiknya lembut. Benar doaku dikabulkan Tuhan, amarahnya sudah hilang. “Aku baik-baik saja kok, Kak. Tadi marahnya serem banget, Pak,” kataku berusaha melunakkannya. “Mau gimana lagi, aku emosi sekali. Asal kamu tahu, kamu pingsan 3 jam gak bangun-bangun. Aku sampai telepon temanku di RST tadi. Besok kuantar kamu MRI dan ronsen. Biar semua jelas,” ujar Kak Erlan perhatian. “Gak usah, Kak. Aku gak apa-apa beneran.” Aku berusaha menolak perhatiannya itu. Kak Erlan malah memelukku erat. “Untung saja dahimu yang terluka tak sampai dijahit. Aku tak bisa membayangkan wajah istriku yang mulus tanpa cacat jadi ternoda karena jadi istriku. Maaf ya Sayang, aku tak bisa menjagamu tadi. Padahal kamu selalu menjaga anak kita dengan baik,” ujarnya pelan yang membuatku haru. Aku menyentuh d**a bidangnya. Jantungnya selalu berdegup lebih kencang seperti biasanya. “Gak apa-apa, Sayang. Udahlah, kita harus bisa sabar dan memaafkan. Jangan marah lagi ya, Papa Aiyra,” ujarku manja. Kak Erlan mengecup bibirku lekat. “Ayo kubuatkan stik daging kesukaanmu. Kamu pasti lapar kan, Dek? Kita me time saja mumpung Baby A sama Mama,” ujarnya manis. “Tapi Baby A belum ASI sejak sore. Kasihan dia, Kak.” Aku merasa tak tega menyadari itu. Kak Erlan menyentuh pipiku lembut. “Kamu tahu, Baby A habis 3 botol s**u formula dan 5 keping biskuit. Kupikir dia takkan merindukan ASI-nya sementara waktu,” ujar Kak Erlan bangga yang membuatku geli. Nafsu makan model gitu nurun siapa yak? Masak aku sih? ---                 Mulutku tak hentinya bergoyang menikmati hasil pencak silat bapak kapten. Sudah lama aku tak merasakan masakan Kak Erlan yang selalu enak ini. Rasa stik dagingnya benar-benar sama saat pertama kali aku memakannya. Dia hanya memandangiku yang keenakan makan. Sesekali dia tersenyum geli karena menyadari bahwa Baby A menurun nafsu makanku. “Apaan sih, Kak?” tanyaku heran. Dia menggeleng pelan dan terus saja meminum air teh hangatnya. “Malam ini tidur berdua denganku ya, Dek?” tawarnya pelan. “Lalu Baby A?” duh Bapak Airlangga, di antara kita itu sudah ada Baby A. “Kamu gak lihat, mama udah pamit tidur sambil peluk Baby A. Tega kamu rebut Baby A dari mama?” tanyanya sedikit judes. Iya sih iya, mama kalau udah ketemu Baby A ibarat bantal ketemu guling, klop abis. Andai papaku gak terjebak sama kunjungannya di Banten, pasti beliau juga ikut nimbrung di antara mama dan Baby A. Sama seperti awal kelahiran Baby A dulu. Setiap malam aku hanya tidur menemani papanya. Si bayi tidur bersama kakek neneknya alias papa dan mama. Aku hanya dibangunkan untuk menyusui. Sama halnya kalau aku menginap di rumah Kak Erlan. Baby A juga direbut oleh kakik nininya alias ayahmer dan bundamerku. Aku hanya dibangunkan untuk menyusuinya. Enak kan hidupnya Abel? Hehe. Salah satu untungnya jadi istri Kak Erlan ya gini. Bukan gitu keleus Bel! Siapa sih yang bisa mengingkari kelucuan dan kecantikan Baby A. Anak itu ibarat medan magnet yang bisa menarik siapa saja. Jujur saja, dulu aku pernah membuat jadwal kunjungan ke rumah mama papaku dan ayahmer bundamerku. Mereka sempat berebut Baby A untuk beberapa bulan. “Malam ini kamu nemenin Baby R aja ya?” goda Kak Erlan genit. Mulai lagi deh. “Males ah, takut. Pemarah gitu,” ujarku pura-pura bergidik. “Ye, aku marah juga demi siapa? Males ya udah!” ujarnya jutek sambil berlalu pergi. Dia masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ngambek Pak? Duh…lelah deh! Langsung kususul saja deh. Gak usah pakai minum segala. Kesereten-kesereten deh. “Kak, jangan ngambek dong!” ujarku sambil mencolek-colek kakinya. Diam dan hening. Udah tidurkah? Secepat ini? Busyet dah! Ya udah aku tinggal sikat gigi aja dulu. “Mau kemana? Sini aja!” ujarnya judes secara tiba-tiba dan membuatku kaget. “Duh, bikin kaget aja sih. Kirain tidur!” ujarku kesal. Aku ditariknya halus dan tertidur di dekatnya. “Aku belum sikat gigi, Kak. Belum minum juga,” ujarku ragu. Dia tak peduli dan malah memelukku erat.                 Cup! Sebuah kecupan mendarat di bibirku lagi. Gak risih ya walau aku baru makan? Gak berasa aneh gitu? Ni Bapak perasaan punya sense of clean yang cukup tinggi deh. Kok gak jijik ya cium aku dalam kondisi seperti ini? Apakah ini namanya cinta sejati? Cieee, keren banget deh rasanya. Hush, duhai hati bisa diam gak sih! “Rasa stik daging,” komentarnya pendek lantas membenamkan kepala mungilku yang masih cenut-cenut ke pelukan tubuh kekarnya. “Sakit, Sayang,” keluhku manja. Dia menatapku lekat lalu tersenyum hangat. Beda sekali ketika dia marah tadi. “Maaf ya Cintaku, besok biar diobatin sama dokter rumah sakit,”ujarnya lembut seperti ketika berbicara pada bayinya. Iya sih, aku memang bayinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD