Bab 11 Daddy’s Girl

2516 Words
                Aku terbangun tepat di pukul 3 pagi saat alarm ponsel di atas meja berkumandang. Di dalam pelukan Kak Erlan yang masih terlelap dengan napas teratur. Wajahnya terlihat damai bagai melihat karya seni. Wajahnya yang sedang tidur hampir mirip seperti orang tersenyum. Tangannya yang tegap dan hangat masih melingkar di perut rampingku. Bagaimana bisa Tuhan memberikan ekspresi sesempurna ini pada manusia yang sedang tidur. Saat inilah aku seperti bernostalgia ke saat pertama kali kami tidur bersama dulu. Aku selalu bangun duluan dan memandangi wajahnya.                 Dengan kalem, aku menyentuh pipi mulusnya. Bagaimana bisa lelaki yang pekerjaannya selalu erat dengan matahari memiliki wajah sebersih ini? Dia memang selalu merawat kulitnya ketika sempat. Entah Kak Erlan belajar manajemen waktu dimana. 24 jam dalam hidupnya tak pernah ada yang terbuang dengan sia-sia. Selalu ada yang dikerjakannya. Teringat saat Kak Erlan mengambil cuti di tempat tahun lalu, waktu yang dia gunakan adalah merawat rumah sepenuhnya bukan untuk liburan. Iya karena aku belum pandai membagi waktu antara diriku sendiri dan Baby A. “Tidurlah lagi, Sayang. Nanti kubangunkan saat subuh.” Kak Erlan menyuruhku dengan suaranya yang lembut tanpa membuka matanya. Darimana dia tahu aku sedang terjaga? Pasti ngintip nih. “Aku gak ngantuk,” ujarku pelan yang membuatnya membuka mata. “Kamu kenapa? Ada yang kamu pikirkan?” tanyanya lembut. Aku menggeleng. “Nanti siang sehabis apel, aku antar ke rumah sakit ya. Kamu perlu diperiksa. Aku takut ada luka dalam,” cerocosnya masih dalam setengah mengantuk. “Iya, santai aja Kak,” ujarku membuatnya tenang. Lalu tangannya kembali merapatkan pelukannya. Aku merasakan hangatnya tubuh kekar itu membalut tubuh mungilku. Saat seperti ini, aku seolah lupa kalau sudah ada Baby A di kamar sebelah. “Mama…” sebuah suara membangunkanku. Pukul 4 lewat 55 menit. Hah? Sudah subuh, hampir lewat malah. Aku langsung bangun bergegas. Namun, sejenak aku tercenung karena kepalaku masih sakit. Oh ya, insiden kepala kemarin. “Sini Sayang, kita masak yuk buat sarapan,” ujar suara mama dari kejauhan.                 Aku serasa baru kembali ke bumi. Semalaman aku tidur di antara bintang-bintang. Kembali kususun pikiranku yang acak seperti kepingan puzzle. Ya, aku sedang bangun tidur di pukul 4 lewat 55 dan baru saja mendengar suara mama berbicara dengan Aiyra. Aku terbangun karena suara Baby A memanggil namaku. Rupanya rumahku sudah sibuk. Ketika aku keluar kamar kulihat Kak Erlan sedang melipat lengan seragam dorengnya dan memberikanku senyuman pagi yang manis. Baby A yang duduk di kursi bayi sambil memandang yangtinya memasak. Serta mama yang asyik memasak kuah-kuah yang sepertinya, asam-asam tuna. “Mama…” panggil Baby A manja. Aku mendekat dan mencium kedua belah pipinya. Kuberi kasih sayang dan salam selamat pagi. Lantas aku berpamitan untuk menunaikan salat. “Mama salat dulu ya, Sayang,” pamitku. “Kak Erlan udah salat? Kok gak bangunin aku?” tanyaku sambil berlalu ke kamar mandi. “Udahlah tadi ke masjid. Kulihat tidurmu lelap sekali makanya aku gak tega,” jawabnya dari luar kamar mandi. Ya sih, Kak Erlan selalu mengusahakan salat 5 waktu di masjid. Kadang dia juga mengajak Baby A ke masjid. Itulah cara dia mendidik anaknya untuk rajin beribadah sedari kecil. Good job, Dad! --- “Bel, mama gak bisa lama-lama pagi ini karena harus mendampingi papa. Ada acara di lantamal. Kira-kira kamu rawat Baby A bisa gak, Nak?” tanya mama khawatir sambil memakan sarapan paginya. “Tenang aja, Ma. Abel udah baik-baik saja kok. Walaupun masih sakit, tapi Abel bisa,” ujarku menenangkan mama. Tenang Mama, anak bungsumu ini sudah jadi ibu muda yang strong kok! “Iya Ma, tidak usah khawatir. Nanti Erlan juga bantu kok,” timpal Kak Erlan sambil menyuapi Aiyra dengan nasi tim dan daging tuna kukus. Tangan mungil itu ikut mengaduk piring kecil tempat makannya. “Ma tit,” celoteh Aiyra yang berarti ‘Mama sakit?’ sambil menunjuk perban di pelipisku. “Gak Sayang, mama gak apa-apa kok,” ujarku sambil tersenyum. Anakku memang perhatian pada mamanya. “Yeay, habis! Good job Daddy’s girl!” puji Kak Erlan senang karena melihat makanan Aiyra berhasil habis dengan baik. Aku tersenyum bangga melihat Baby A. Jika disuapi si papa makannya rapi, teratur, dan selalu habis. Kalau denganku jangan harap dia bakalan makan serapi itu. Baru sesuap sudah disembur ke tembok katanya salju. Dikasih dua suap minumnya setengah gelas. Tepok jidat deh! Banyak uratnya bikin aku lapar lagi. Sehingga Baby A selalu mengikuti jadwal makan papanya. Biar sekalian makan bareng gitu. Tapi, kalau aku sedang makan, dia minta juga. Masak iya, aku makan sambal, dia makan juga? Pedes dong. Anak papa sih anak papa, tapi kalau gitu terus gimana dong, Nak? Hiks. “Biar aku cuci piring, Kak Erlan mandiin Baby A ya?” kataku sambil mengangkat piring dan gelas ke tempat pencucian piring. Mama baru saja berpamitan pulang dan dilepas dengan air mata perpisahan oleh Aiyra. “Gak usah, Dek. Kamu duduk aja dengan tenang, aku mandiin Baby A. Aiyra rapi, aku cuci piring sambil jaga dia. Kamu mandi,” ujar Kak Erlan sistematis. Tunggu, maksudnya aku gak dibolehin apa-apa nih? “Tapi Kak, biar aku kerjakan semua itu. Kak Erlan kan harus dinas,” ujarku ragu. Kak Erlan menggeleng. “Aku gak ikut garjas. Cuma ikut apel jam 8 terus antar kamu ke dokter. Sit down and listen to me, okay Darling?” perintahnya mesra sambil mengerling mata padaku. Ups, demi apa aku disuruh duduk doang? Cuma karena pelipisku sakit dan pingsan 3 jam kemarin itu doang? Sumprit, aku sudah gak apa-apa Kakak. Kenapa sih aku diperlakukan semanja ini. Aku sudah tak biasa lagi manja seperti ini. The old me is gone!                 Dan aku melihat aksi Kak Erlan yang seperti pesulap profesional. Dengan tepat, tanggap, dan sistematis Kak Erlan melakukan multitasking. Ajaib bener sih lelaki satu ini. Mandiin Aiyra hanya dalam waktu 5 menit, dengan aku yang biasanya 10 menit. Gantikan baju sampai kasih pernik-pernik lucu cuma makan waktu 8 menit, dengan aku yang biasanya 30 menit. Rambut Aiyra disisir rapi belah pinggir ditempel jepit bunga kecil dan dikasih hair lotion wangi. Wajah imutnya ditemplok bedak bayi seperti donat kentang. Kedua belah ketiak Baby A yang biasanya bau asam disemprot cologne aroma blue sea yang bayi banget. Ternyata bapak tentara ini sangat hapal dengan tata cara dan urutan mandi hingga mengganti baju di dunia bayi. Kirain dia bakalan lupa gitu karena jarang mandiin Baby A.                 Lalu Baby A yang sudah rapi, super rapi malah, didudukkan manis di atas kasur karpet di bawah tempatku duduk manis. Langkah tegapnya berjalan menuju dapur dan mencuci piring sambil sesekali berdendang lagu militer, seperti biasanya. Aku melihat rupa bayiku yang sangat rapi ala papanya itu sedang melongo melihat mamanya terkesima. Ya saking asyiknya melihat aksi si papa, aku sampai tak tahu kalau Baby A sedang menyodoriku sebuah mainan karet yang sudah tak jelas bentuknya. Aku tersenyum dan menerima pemberian Baby A itu. “Kalau kamu mau ke rumah sakit pakai daster dan bau seperti itu, main saja dulu sama Aiyra, Mam,” sindirnya tanpa menatapku. Si Judes itu mengingatkanku tentang urutan perintahnya tadi. “Ow ow, maaf Sayang. Mama mandi dulu ya,” pamitku pada Baby A lantas ngacir ke kamar mandi. Tuh kan, makanya jangan manjain aku. Otakku jadi tersetel lemot lagi kan? ---                 Aku duduk letih di kursi ruang TV setelah pulang dari rumah sakit. Selesai berobat, kami tak langsung pulang melainkan, mampir ke rumah bundamer untuk mengambil lauk matang sekalian makan siang. Di rumah bundamer, aku tak sempat istirahat karena harus makan kue ini dan itu. Bundamer sangat khawatir dan menyodoriku berbagai makanan yang ada di dalam kulkasnya. Sementara itu, Baby A bermain dengan Kakiknya alias ayahmer tanpa boleh diganggu olehku dan Kak Erlan. Padahal aku sudah sangat ingin pulang ke rumah asrama. Tapi, bundamer masih menahanku dan menyuruhku bercerita sampai tuntas. Ibunda Kak Erlan itu hanya bisa menahan geli sekaligus kasihan tatkala aku bercerita lengkap tentang insiden kepala di lapangan voli itu. Ya ya ya, tingkah polos menantunya ini kan selalu jadi bahan hiburan buat keluarga mertua. Tak apalah, artinya aku jadi tawa dan tangis bagi mereka. Hihi.                 Aku berusaha tersenyum walau badanku rasanya letih. Bagaimana tidak letih, balitaku yang super aktif itu hampir saja mengajak mamanya menjelajah ke seluruh penjuru rumah sakit. Halo Aiyra, kalau hypermart boleh saja jadi tempat bermainmu, tapi rumah sakit? Big no! Tempat itu bukan area bermain yang aman darimu, Sayang. Untung ada papa ganteng yang erat memegang bayinya. Sehingga Baby A itu bisa dikendalikan penuh. Tapi, jangan tanya ketika aku diperiksa dokter Budiman. Stetoskop pak dokter hampir putus ditarik-tarik anakku. Meja pak dokter yang rapi menjadi dunia Aiyra dadakan. Hiks.                 Beralih dari Aiyra, kita ke Kakak Erlan. Aku juga cukup letih menahan hempasan angin cemburu dalam hatiku. Kenapa? Karena suami gantengku menjadi pusat perhatian di sepanjang koridor rumah sakit. Wanita mana yang tidak melongo melihat wajah super handsome pak tentara satu itu. Apalagi dengan seragam loreng hijau yang segar menggoda. Pastinya para ibu-ibu maupun mbak-mbak suster bersedia meluangkan waktu barang 2 detik saja untuk menatap Kak Erlan. Aku masih ingat mbak suster penjaga bagian administrasi yang terlihat gugup bin kikuk ketika menghadapi Kak Erlan yang mendaftarkan namaku.                 Halo-haloo, ini loh sudah ada istrinya di samping, Mbak. Tak hanya itu, sudah ada balitanya juga. Kok masih sempet-sempetnya menatap suami saya. Aku yakin tak sedikit dari mbak suster lajang itu yang berdoa semoga ada kloningan Kak Erlan di belahan Indonesia yang lain. Yap, aku yakin itu. Huft! Okay lupakan, Nabilla. Mengenai hasil pemeriksaanku, tak ada luka yang serius kok. Kata dokter, pelipisku hanya memar biasa dan bekasnya akan hilang dalam waktu seminggu. Hubungan dengan pingsanku selama 3 jam kemarin adalah tidak ada. Aku hanya syok dan kelelahan itu saja. Jadi, kemarin aku pingsan sekaligus ketiduran gitu? “Kok makannya dikit banget, Mam?” tanya Kak Erlan sambil bermain dengan Baby A. Aku sadar dari lamunanku dan menatap Kak Erlan yang sudah ‘cantik’ dengan palet make-up milikku yang kini dikuasai paksa Aiyra. “Haha, demi apa Kak Erlan pakai make-up kayak badut gitu?” ujarku sambil terbahak keras. Baby A ikut tertawa puas karena sudah mendadani papanya. “Ya demi balita ini. Kalau kutolak pasti nangis. Ya udah pasrah ajalah,” ujar Kak Erlan pelan sambil terus merasakan tangan mungil Aiyra yang sedang mengoleskan lipstik rusak pada pipinya. “Tentara model Kak Erlan bisa juga ya jadi gitu?” ujarku heran sambil menahan tawaku. “Ya demi anak, Sayang. Awas ya kalau sampai kamu foto. Kalau sampai tersebar mama dan Baby A, papa hukum!” ancamnya galak. Hem, mulai lagi judesnya. Tapi si Aiyra tak takut dengan ancaman itu dan malah memasangkan jepit kupu-kupu pada jambul si papa.                 Sebuah ketukan membuyarkan candaan kami. Kak Erlan langsung menghapus hasil karya putrinya dengan tisu dan berjalan cepat ke ruang tamu. Aku langsung memakai jilbab untuk menutupi rambut sepunggungku. Sedangkan, Baby A langsung ngacir ke ruang tamu mengekor si papa. Tak lama kemudian, terdengar salam yang diserukan oleh para ibu asrama yang dikomando oleh Mbak Rahman. Rupanya mereka hendak menjengukku. Namun, ada beberapa yang menahan tawa geli saat melihat Kak Erlan. Ada apa gerangan? “Ya Allah, Dek Erlan punya sisi seperti itu juga ya?” cerocos Mbak Rahman sambil menunjuk jambul Kak Erlan. Ibu-ibu yang lain langsung menahan tawa geli. Olalaaa, ada jepit kupu-kupu nemplok nun jauh di sana. Hiks, Baby A. Kamu sukses memalukan papa! Kucabut langsung jepit yang nemplok itu dan menyisakan wajah merah Kak Erlan. “Izin Mbak, maklum punya anak gadis ya gitu,” ujar Kak Erlan malu, “mari silahkan masuk, Ibu-ibu,” lanjutnya berusaha biasa. “Izin Mbak, maaf ya saya terlambat,” pecah sebuah suara mendayu-dayu milik Mbak Tania. Dia datang dengan berdandan menor seperti akan ke mall. Di tangannya tergenggam keranjang berisi jeruk mandarin. “Gak apa-apa, Dek. Mari masuk,” ujar Mbak Rahman ramah. Mbak Tania menyodorkanku keranjang jeruk itu dengan super ramah sambil mencium pipi kanan dan kiri. Cukup lucu kurasa. “Maaf ya walau tetangga samping rumah, Mbak terlambat jenguk. Maklum Edo dan Arfan juga sedang sakit,” ujar Mbak Tania cerewet. Gak sadar ada Mbak Rahman di situ. “Izin tidak apa-apa, Mbak. Mari silahkan duduk Ibu-ibu. Saya sudah baikan kok. Terima kasih sudah sangat merepotkan,” ujarku ramah. Mbak Rahman terlihat senang melihat aku baik-baik saja. “Syukurlah, dari kemarin kami belum menjenguk karena takut Adek masih istirahat. Eh, ternyata sudah sembuh lebih cepat. Pasti karena bapak Danki yang telaten ngrawatnya,” ujar Mbak Rahman sambil melirik Kak Erlan yang menyajikan minuman kemasan dingin dari kulkas. “Izin Mbak, seharian ini saya jadi anak perempuannya dia juga,” ujarku yang membuat Kak Erlan merona merah. Kasihan deh Kak Erlan, aku membuatnya malu sampai ke angkasa raya. “Cieeee, so sweet sekali, Bu,” komentar beberapa ibu.                 Aku tertawa bahagia dengan kunjungan para ibu itu. Mereka sangat memperhatikanku dengan membawakan buah seperti jeruk, pisang, nanas, dan lain sebagainya. Ada juga yang membawakan roti dan kue-kue enak macam black forest dan jajanan pasar. Aku sungguh berterima kasih pada ibu-ibu yang sangat memperhatikanku ini. Serasa punya keluarga terdekat di asrama. Mbak Tania yang kupikir menyebalkan dan suka mengkritik ternyata punya jiwa sosial juga. Aku malah belum menjenguk kedua anaknya yang kabarnya sakit. Tapi, aku juga sedikit sedih tadi saat mendengar bisikan beberapa ibu ketika Mbak Rahman pulang duluan. Bu Joni kabarnya tak mau keluar rumah karena merasa dimusuhi. Aku jadi merasa tak enak hati, “Ya yang penting kamu jangan ikut musuhi, Dek. Kamu netral, tertua di kompi A. Gak usah ikut-ikutan,” ujar Kak Erlan cuek ketika malam harinya aku bercerita. “Kak Erlan, emangnya aku ada wajah-wajah kayak gitu? Aku kan pihak yang selama ini gak pernah ada suaranya. Pihak yang selalu disakiti sejak zaman mbak Yusa siapa? Saya, Kak!” ujarku gemas. Kak Erlan mencubit pipiku gemas. “Biasa aja suaranya. Baby baru tidur, Nyonya,” balas Kak Erlan tak mau kalah. Lupa aku kalau Aiyra baru lelap. “Iya, maksudku juga seperti itu, Sayang. Aku gak akan macem-macem kok,” bisikku di telinganya. Dia terkesiap dan mengusap telinganya. Kena lagi deh di bagian sensitif. “Okay tapi gak usah pakai bisik di telinga juga. Kamu nakal ya hari ini. Padahal kamu udah kujadikan bayi perempuanku seharian, tapi kamu malah permalukan aku di depan ibu-ibu. Mau kuhukum?” ancam Kak Erlan sok judes. Aku memasang wajah bersalahku. Dan dia lantas memelukku. Mau apa nih? Duh, please, jangan lebih dari ini. “Aku sudah biasa menjaga bayi perempuan sekarang baik Aiyra maupun ibunya. Sayang, kalau kamu sakit, aku juga sakit. Kamu harus sembuh dan sehat ya? kembalilah menjadi Abel yang kuat seperti biasanya,” ujar Kak Erlan manis. “Aku baik saja, Kak. Tidak usah khawatir. Ayo kita tidur, besok Kak Erlan harus dinas kan?” ajakku pelan. “Ya, karena kamu, kerjaan di kompi numpuk. By the way, besok sekalian buatkan snack dan minuman untuk anggota ya? Mereka akan membuat pagar di samping rumah,” kata Kak Erlan yang membuatku senang. Dia akhirnya mengabulkan keinginanku. “Siap, Danki,” ujarku pelan dan menirukan gayanya. Dia mengecupku lembut lagi dan lagi. Lagi-lagi dia selalu menutup malam-malamku dengan manis. Semoga selamanya kehidupan pernikahanku seindah ini Ya Tuhan. Jangan ada jungkir balik seperti di masa lalu. I hope. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD