Bagian 2 : Tragedi Malam itu

1579 Words
Arion baru saja menyelesaikan mandinya dan sedang memakai pakaian yang tadi ia pilih dari dalam lemari. Saat ini dia sedang bersiap untuk makan malam dengan kekasihnya seperti yang mereka rencanakan tadi pagi.  Selesai menggunakan pakaian dan menyisir rambut, Arion kemudian keluar dari kamar dan menghampiri sang ibu yang sedang berada di bawah bersama dengan adik kembarnya. Arion sampai di tangga terakhir dan tersenyum melihat tingkah adik kembarnya yang entah sedang meributkan apa sementara Ibu mereka sedang memisahkan anak kembar itu. Arion menghampiri mereka merebut remote TV yang berada di tangan Zoel –Adik kembarnya, Zoel melihat hal tersebut berdecak kesal karena sudah pasti kakak pertamanya ini akan memberikan remote tersebut kepada kembarannya, Zea. Si gadis cerewet yang begitu berisik bagi Zoel. “Abang, apa sih pake rebut remotenya,” protes Zoel kepada Arion. “Kalian kebiasaan banget kalau udah rebutan gini, kasian Mama pusing tu lihat kelakuan kalian kaya anak kecil. Kamu juga harus ngalah sama adek,” balas Arion kemudian menyerahkan remote itu pada Zea, yang sekarang menjulurkan lidahnya ke arah Zoel karena merasa menang. “Ck..! Aku juga adiknya Abang, kenapa selalu Zea sih yang menang.” “Kamu laki-laki, Kak,” ucap Kartika –Ibu mereka. “Iya iya, aku tahu, Ma,” gumam Zoel. “Emangnya kalian nonton apa sih sampe rebutan gitu?” tanya Arion yang sekarang sudah duduk di samping adik perempuannya. Dia mengelus rambut adiknya dengan sayang. “Sekarang kan lagi ada liga inggris, Bang. Eh si Zea malah mau nonton drama menye-menye,” jawab Zoel. “Enak aja drama menye-menye, ini drama romantis tahu, drama korea. Mama aja suka nontonnya, iya kan  Ma?” Zea menatap wajah sang ibu seolah mencari dukungan. Kartika hanya mengangguk dan tersenyum kecil, namun itu membuat Zea berjingkrang senang karena merasa telah mendapat dukungan.  Sementara Zoel hanya bisa menghela napas pasrah, jika sudah berurusan dengan Ibunya maka dia tak bisa membatah atau melayangkan protes apapun dan ingat yang sering sahabatnya katakan dua point penting dalam masalah perempuan dan laki-laki pertama  kalau perempuan itu selalu benar, kedua kalau perempuan salah harus ingat point yang pertama. “Eh iya, Bang Arion mau kemana? Kok udah rapi?” tanya Zoel pada Arion, ia baru menyadari penampilan kakaknya itu malam ini seperti hendak ke luar rumah.   “Oh iya, Abang mau ketemu sama teman kerja dulu, malam ini enggak bisa makan di rumah ya, Ma,” balas Arion menatap Ibunya. “Iya, enggak apa-apa. Tapi inget jangan terlalu malam ya, Bang.” “Iya Ma, kalau gitu Arion pergi dulu,” pamit Arion. “Pulangnya beli martabak ya, Bang!” pinta Zea sebelum Arion keluar dari rumah, dan laki-laki itu mengangguk singkat sambil berlalu.   *** Arion baru saja sampai di restoran tempat ia dan Vena bertemu sekaligus makan malam bersama. Ia turun dari mobil dengan satu buket bunga yang tadi ia beli untuk Vena. Setelah berada di dalam resteron dan menyebutkan namnya, pelayan restoran mengantarkan dia ke lantai dua restoran ini di mana tempat yang sudah ia pesan. Vena sepertinya sudah menunggu dia di sana karena tadi saat berada di perjalanan kekasihnya itu menghubungi dan mengatakan akan segera sampai di restoran membuat Arion menyuruhnya untuk langsung masuk dan menyebutkan namanya saja. “Kursinya di sebelah sana, Mas,” ucap pelayan tersebut menunjuk kursi yang berada di paling ujung setelah mengantarkan Arion ke lantai dua. Arion mengangguk mengerti kemudian pelayan itu kembali bergegas kembali ke bawah. Dari kejauhan ia bisa melihat kekasihnya tengah duduk membelakangi arah kedatangannya tetapi tatapan Arion kali ini terfokus pada seseorang yang berada di hadapan sang kekasih, seorang laki-laki yang di perkirakan umurnya sama dengan Arion.  Mereka berdua seperti tengah berdebat, kemudian Arion memilih menghampiri mereka dengan berjalan pelan-pelan.   “Aku bisa tanggung jawab kenapa kamu malah mau sama laki-laki itu!” ucap laki-laki yang berada dihadapan Vena. Arion masih berada di jarak yang tak begitu jauh dari tempat mereka sekarang tetapi obrolan dua orang itu cukup terdengar di telinganya, apalagi suasana restoran di lantai dua ini tak begitu ramai.  Hanya ada beberapa kursi yang terisi itu pun agak jauh dari kursi Vena saat ini. “Sebentar lagi aku nikah sama dia, jadi dia pasti gak akan curiga,” kali ini suara Vena yang terdengar di telinganya. Arion semakin penasaran apa yang sebenarnya sedang terjadi dan kenapa kekasihnya berdebat dengan laki-laki tersebut. “Tapi itu anak aku! Aku ayahnya..!!” Anak? –batin Arion. Dua orang itu masih berdebat tanpa menyadari keberadaan Arion yang semakin mendekat ke meja mereka. “Aku tahu, tapi aku enggak bisa lepasin Arion gitu aja. Kita juga ngelakuin ini karena lagi sama-sama mabuk dan enggak tahu ternyata malam itu bikin aku hamil. Biarin dia yang bertanggung jawab sama kehamilan aku. Kamu enggak usah ikut campur lagi, aku juga enggak akan kasih tahu siapapun, semua orang akan tahu anak yang sekarang ada di dalam kandunganku adalah anak Arion, bukan kamu Pras!” Deg. Bagai tersambar petir, ucapan yang keluar dari mulut kekasihnya membuat Arion mematung di tempatnya. “Gue enggak akan sudi tanggung jawab sama apa yang kalian lakukan di belakang gue!” Suara Arion terdengar begitu dingin, membuat Vena terkejut membalikan tubuhnya ke belakang di mana Arion yang tengah berdiri dengan wajah dinginnya. Sementara laki-laki yang dipanggil Pras tadi terlihat tampak tenang menatap Arion. “Sayang.. kamu..” “Stop..!! Gue udah tahu semuanya dan camkan baik-baik! Pernikahan kita batal,” tegas Arion kemudian berlalu begitu saja tanpa mendengar lagi perkataan kekasihnya, ia terlanjur kecewa dengan semua yang baru saja terjadi. Vena berteriak memanggil nama Arion tetapi di hiraukan oleh laki-laki itu, Arion terus berjalan keluar dari restoran ini.    *** Ayara menangis terisak saat mendapatkan telepon dari kakaknya, bahwa Ibu mereka tengah di larikan ke rumah sakit. Ia bahkan melupakan sahabatnya yang bertanya-tanya karena Ayara pergi begitu saja dari kafe tempat mereka berkumpul. Ayara menghentikan sebuah taksi yang melaju melewati kafe tersebut dan meminta kepada sang supir agar mengantarkannya ke rumah sakit, sepanjang perjalanan ia tak berhenti berdoa, berharap Ibunya baik-baik saja. 10 menit kemudian.. Taksi yang di tumpangi Ayara sampai di rumah sakit. Ia menyerahkan beberapa lembar uang dua puluh ribu dan segera keluar dari taksi kemudian berlari di area rumah sakit ini. Handphonenya kembali berdering, ia langsung mengangkat panggilan dari Bima. “Aku udah di rumah sakit,” lirihnya. “Kakak di UGD, kamu kesini ya,” ucap Bima pada adiknya. “Iya..” Ayara segera berlari menuju UGD. Sesampainya di UGD, Ayara melihat Bima yang tengah duduk di salah satu kursi dengan masing mengenakan jas putih miliknya. Terlihat wajah Bima yang begitu khawatir dan sesekali mengacak rambutnya kesal. Laki-laki itu menyadari keberadaan seseorang di dekatnya, ternyata sang adik. Bima berdiri dan menyuruh adiknya itu mendekat. Kemudian Ayara tiba-tiba memeluk erat tubuh kakaknya, menangis terisak. Ini pertama kalinya Ibu mereka di larikan ke rumah sakit setelah beberapa bulan lalu menjalani perawatan. Jantung Ibunya memang bermasalah namun beberapa waktu lalu sudah di nyatakan baik-baik saja dan mereka tak menyangka hari ini Ibunya akan di larikan ke rumah sakit secara mendadak. Ayara masih menangis dalam dekapan Bima, ia benar-benar takut terjadi hal buruk pada Ibunya. Bima mengelus punggung adiknya dengan pelan, mengatakan semua akan bai-baik saja dengan bisikannya meski dia juga masih belum tahu apakah memang akan baik-baik saja. “Kenapa Bunda bisa di bawa ke rumah sakit, Kak?” tanya Ayara setelah merasa tenang, mereka kembali duduk di kursi depan UGD ini. “Kakak juga kaget, tadi ada suster yang kasih tahu kalau Bunda di bawa ke sini waktu kakak lagi keliling check pasien. Terus kakak langsung ke UGD dan kata Dokter yang menangani Bunda serangan jantung.” “Siapa yang anter Bunda kesini?” “Tante Tika, Bunda lagi sama Tante tadi di rumah.” “Sekarang Tante dimana?” “Kakak suruh pulang, enggak enak kalau nungguin Bunda di sini terlalu lama.” Pintu ruangan UGD terbuka dan munculah seorang Dokter, membuat Bima dan Ayara beranjak dari kursi. “Bagaimana keadaan Ibu saya, Dokter?” tanya Bima pada dokter tersebut. “Kita harus bicara di ruangan saya, Dokter Kala,” balas Dokter tersebut yang di angguki oleh Bima. Dokter Kala, begitulah panggilan Bima di rumah sakit ini.   “Kamu bisa ke dalam, kakak mau ke ruangan Dokter Nirwan dulu,” ucap Bima pada Ayara, setelah itu Bima berjalan bersama dengan Dokter Nirwan sementara Ayara sudah masuk kedalam ruangan untuk menemani Ibu mereka.   *** “Jadi maksud Dokter, Ibu saya harus segera di operasi?” tanya Bima setelah mendengar penjelasan dari Dokter Nirwan mengenai kondisi Ibunya. Penyakit jantung yang di derita sang ibu semakin memburuk meskipun beberapa bulan lalu sudah dinyatakan baik, nyatanya kondisi tersebut berbading terbalik sekarang. “Iya, Dok. Di lihat dari kondisi beliau, pasien dengan penyakit jantung koroner  harus di tangani secara cepat. Kita harus melakukan operasi dengan memasangkan ring jantung, hal tersebut di lakukan agar peredaran darah pasien lancar dan mencegah penyempitan arteri kembali.” “Baik Dokter, saya mengerti. Kalau begitu lakukan yang terbaik untuk Ibu saya, Dokter.” “Tenang saja, kamu lupa kalau sahabat kamu sendiri yang ahli dalam hal ini. Dokter Arion yang akan menangani operasinya,” ucap Dokter Nirwan tersenyum ke arah Bima. “Ah.. karena panik, bahkan saya lupa tentang hal itu,” sahut Bima setelah mengingat Dokter yang akan menangani masalah jantung adalah Arion, sahabatnya sendiri dan ia bersyukur karena selama ini sahabatnya itu dapat di andalkan dalam menangani kasus penyakit ini. Setelah membicarakan jadwal operasi Ibunya, Bima kembali ke ruang UGD menemui Ayara dan akan segera memberitahu tentang hal ini. Operasi sang ibu harus segera di lakukan.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD