2

1759 Words
Tepat pukul 06.00, Abel sudah siap dengan seragam sekolahnya. Buku-buku sudah ia masukan ke dalam tas, walau ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang dan bisa dibilang hari pertamanya memiliki keluarga. Abel jaga-jaga saja, karena takut nanti langsung belajar, Abel sudah sedia dengan buku yang baru ia sampul bergambar superman. Setelah mengikat sepatunya, Abel tidak langsung keluar kamar. Melainkan duduk di atas kasur berwarna biru yang baru malam tadi ia tiduri. Matanya mengamati sekelilingnya, keren. Tentu saja, ini kamar impian setiap anak di dunia. Satu set tempat tidur dengan gambar angkasa luar, nakas yang ditempati lampu dan gantungan-gantungan diatas langit kamar yang menyerupai planet. Benar-benar mengagumkan. Andai anak-anak Panti melihatnya, mereka pasti akan berteriak histeris. Mengingat itu Abel tersenyum kecil. Tok.. Tokk... Abel bangkit dari atas kasur sambil menyandang tasnya. Lalu bergerak untuk membuka pintu kamar. "Sudah siap?"  Abel hampir saja terkejut saat menemukan Aya telah berdiri di depan kamarnya dengan setelan rapi, tanpa basi-basi wanita itu bertanya langsung padanya membuat ia sedikit terkejut. Untuk apa diciptakan sapaan 'selamat pagi' kalo gak digunain? Batin Abel. "Sudah." Anak itu mengangguk. "Kita berangkat sekarang." Abel mendumel dalam hati. Kosa kata yang dimiliki Ibu angkatnya itu sangat dikit, rasanya. Bahkan setelah satu malam ia disini, wanita itu hanya mengangguk-menggeleng atau mengatakan 'iya' dan 'tidak' saat ia mengatakan sesuatu.  Apa perlu dibeliin Kamus Besar Bahasa Indonesia? Biar tahu kosa kata itu banyak. Batin Abel dalam hati. "Jangan mendumel." Abel menghentikan langkahnya sambil meringis pelan. Selain mempunyai wajah datar, sedikit bicara, ternyata ibunya itu juga seorang orang dukun. Eh, bisa membaca pikiran, maksudnya. Keduanya menuruni tangga dalam keadaan diam. Keadaan rumah sangat sepi, karena Asisten Rumah Tangga biasanya akan datang pukul tujuh pagi dan pulang lima sore. Hal itu menimbulkan kerutan di jidat Abel. "Ayah mana?" tanyanya saat baru menyadari tidak menemukan Arga dimana pun. "Pergi." "Ya Allah." Batin Abel frustasi. Ia juga tahu jika Arga pergi karena tidak menemukan ayahnya itu disini. Yang Abel tanyakan itu kemana ayahnya pergi. "Seterah," ujar Abel tidak peduli lagi. Abel tidak tahu jika tingkahnya tadi berhasil menarik sedikit sudut bibir Aya. Tak apa, jika hari Aya tersenyum sangat tipis dan Abel tidak mengetahuinya. Mungkin, besok Aya akan tertawa terbahak-bahak didepan Abel sendiri. Sesampainya didepan mobil Audi berwarna grey milik Aya. Abel tidak langsung masuk kedalam mobil itu, melainkan tegak berdiri membuat Aya yang sudah berada didalam mobil kembali keluar. "Kenapa enggak masuk?" Abel mendesah lega didalam hati. Ternyata Ibu angkatnya itu masih memiliki rasa peduli pada dirinya yang  tidak langsung masuk kedalam mobil. "Angkot jam segini udah ada." "Terus?" tanya Aya dengan wajah datarnya. "Naik angkot aja." Menurut Abel lebih baik dia berdesak-desakan dengan berbagai macam jenis orang ataupun mencium bau ikan dari pasar yang tak ia sukai daripada harus satu mobil dengan Aya yang sedikit bicara. Bisa-bisa ia mati karena bosan, cukup berlebihan. Setidaknya di angkot ia bisa mendengar gosip atau berita baru yang belum ia ketahui. "Naik. Kita satu arah, sayang uangnya." "Astaga," ujar Abel lemas dengan bahu lunglai yang ditatap aneh oleh Aya. Abel menarik ucapannya yang mengatakan Aya memiliki kepedulian nyatanya wanita itu lebih menyayangi uangnya. Mobil milik Aya sudah berhenti didepan Sekolah Dasar Abel. Wanita itu menatap ke arah depan. Dimana ada seorang anak berseragam putih-merah tengah digandeng seorang wanita yang ia yakini sebagai ibunya. Keduanya nampak sangat dekat, terlihat dari senyum bahagia dari keduanya yang tak pernah ilang. Aya menghela nafasnya, semakin ia ingin membuang ingatan itu semakin kuat pula ingatan itu menari-nari di kepalanya. "Ibu." Andai semua itu tak terjadi mungkin sekarang Aya masih bisa merasakan itu semua. "Ibu!" Aya terlonjak kaget saat mendengar pekikan dari arah sebelahnya. Ditatapnya anak laki-laki dengan seragam merah putih yang kini tengah menekukkan bibirnya. "Apa?" Bukannya menjawab Abel malah menjulurkan tangannya. Membuat Aya mengangkat sebuah alisnya bingung. "Salim." Aya diam membuat Abel gemas setengah mati. Anak itu langsung menarik tangan Aya dan segera mengecup punggung tangan itu. Sedangkan Aya sekarang terkejut karena merasakan sengatan kecil pada tempat dimana Abel mencium tangannya. "Abel pergi. Assalamualaikum!" "Walaikumsalam!" Abel segera keluar dari Mobil Aya ketika mendapat jawaban salam dari Aya. Anak itu langsung berlari menuju deretan kelas yang berada di lantai dua. Disana ternyata sudah ramai dengan anak-anak yang mengerubungi pintu kelas. Mencari dimana kelas mereka berada. Abel menatap gerembunan itu dan memilih untuk menunggu dipinggirin pembatas lantai dua. Ia sangat tidak suka berdesak-desakan. Bajunya bisa kusut, ia bisa berkeringat dan yang paling penting Abel sangat malas bergerak sekarang. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya kerumunan itu mulai berkurang. Ada sebagian yang sudah masuk kedalam kelasnya ada juga yang masih mencari-cari. Abel mendesah lega saat menemukan namanya di kelas 2.1 tanpa menunggu lagi Ia masuk kedalam kelas. Abel masuk kedalam kelas dan sudah mendapat tatapan tajam dari anak-anak di kelas itu. Ia tidak tahu mengapa dan tidak mau peduli. Karena saat ini ia merasa sedang tidak enak badan. Perutnya sedari tadi merasa dililit oleh tali, pedih.  Namun bukan karena ingin membuang air besar. Tapi, memang benar sakit secara harfiah. "Kamu sakit? Mukanya pucat?" tanya seorang anak perempuan pada Abel yang kini hanya terduduk lemas di bangkunya. Abel menggeleng, ia sudah sering seperti ini. Cara ampuh untuk menghilangkan sakit ini hanya mengisi perutnya dengan sedikit makanan. Setelah perutnya kenyang maka rasa sakit itu akan hilang. Saat sedang merogoh kantongnya, Abel mendesah lupa bahwa ia tidak memiliki uang sepeser pun. Ia menggigit bibir bawahnya, mungkin ia harus menahan ini semua hingga pulang sekolah. Semua kegiatan Abel terlihat jelas oleh anak perempuan berbando merah muda itu. Dari gerakan yang merogoh kantong ia yakin bahwa Abel tidak mempunyai uang. "Ikut aku ke kantin, yuk? Aku traktir di kantin. Anggap aja sebagai hadiah dari Aku.” "Hadiah untuk apa?" "Hadiah karena kamu sekarang udah jadi teman aku. Nanti kalo kamu ada duit, gantian traktirnya ya, heheh." Anak perempuan itu memamerkan senyum lebarnya. Lalu menjulurkan tangannya kepada Abel. "Nama aku Katya. Nama kamu Abel 'kan?" Abel mengangguk. "Ayo! Kita ke kantin!" Abel tidak tahu apa yang terjadi antara Arga dan Aya. Yang ia tahu, Ayahnya itu menjemputnya di depan gerbang sekolah lalu menyuruhnya masuk ke dalam mobil dengan wajah yang tak seperti biasanyanya, datar. Ketika mobil yang mereka kendarai hendak memasuki gerbang rumah, Abel bergerak mendekat ke arah jendela mobil untuk melihat rumah Arga dan Aya. Padahal Abel sudah pernah masuk bahkan tidur didalam rumah bertingkat dua namun sampai sekarang pun Abel tidak percaya bahwa ia pernah merasakan itu semua. Rumah itu sangat mewah dan megah. Ada dua lantai. Di lantai kedua rumah itu ada sebagain dindingnya yang diganti dengan kaca tebal, sehingga bisa melihat pemandangan di luar sana. Hingga akhirnya mobil pun berhenti di carport Abel belum berhenti berdecak. Abel mengelus dadanya saat Aya membanting pintu mobil dengan kuat dan langsung keluar begitu saja. Sedangkan Arga hanya menghela nafasnya berat lalu mengajak masuk Abel ke dalam. "Abel." Anak itu menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan dari Arga. "Apa, Yah?" "Duduk sini dulu." Abel meneguk ludahnya pelan saat Arga menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. Arga nampak berbeda dari malam kemaren yang terlihat ceria. Abel duduk di sofa yang sedikit berjauhan dengan Arga. Lalu menatap Ayahnya itu dengan kening berkerut. "Abel tadi sakit perut di sekolah?" tanya Arga. "Kata siapa?" Abel menggigit bibir bahwanya, jangan-jangan Arga memiliki orang suruhan untuk mengikuti dan mengamatinyq?! "Katya. Dia keponakan Ayah." Abel membulatkan mulutnya, ternyata anak perempuan yang berbaik hati mentraktirnya itu adalah keponakan dari Ayah angkatnya. "Kenapa bisa sakit perutnya?” tanya pria itu cemas. Abel menggeleng lalu mengulas senyum kecilnya. "Sakit perut biasa aja, Yah." "Jujur Abel." Nada bicara Arga terdengar datar dan menakutkan bagi Abel. Anak laki-laki itu menundukan kapalanya, nampaknya Arga mengetahui bahwa ia berbohong. "Abel sering sakit perut kalo belum makan." "Tadi pagi sarapan?" Abel menggeleng dan Arga sudah menebaknya bahwa jawaban berupa gelengan. Pria itu menarik nafasnya gusar sebelum melanjutkan pertanyaannya. “Ibu kasih uang jajan?" tanyanya lagi dan dijawab kembali dengan gelengan kepala. “Ibu lupa, kayaknya.” Abel tidak masalah jika ia memang nanti tidak akan diberi uang jajan. Ia sudah sangat bersyukur tentang Panti Asuhan yang tak jadi digusur. Walaupun di dalam hatinya, Abel ingin sekali merasakan apa itu kasih sayang?  Bahkan Abel memiliki beberapa to do list—hal yang ingin kerjakan jika memiliki keluarga, salah satunya Abel ingin sekali dibuatkan bekal oleh Ibunya. Rasanya pasti sangat menyenangkan. Abel tahu itu melihat teman-temannya berkumpul saat jam istirahat di suatu meja sambil memarkan bekalnya masing-masing dengan bahagia.  Arga mengusap wajahnya kasar. Ingin marah sebenarnya pada Aya, wanita itu yang ingin mengadopsi Abel namun tidak sama sekai menampakan kepeduliannya pada Abel. Arga menyerahkan sebuah paperbag toko ponsel terkenal pada Abel yang disambut tatapan aneh oleh anak itu. "Itu untuk Abel."  Anak itu menerimanya dan menemukan sebuah kotak ponsel yang Abel ketahui harganya sangat mahal. "Ini ponsel untuk Abel, Yah?" tanya Abel dengan mata berbinar disambut kekehan dari Arga. "Iya, untuk Abel," ujar Arga lalu mendekat ke arah Abel. "Tapi, Abel gak tahu cara gunainnya, Yah," ujar Abel pasrah, ia hanya pandai menggunakan ponsel yang masih memiliki tombol tidak seperti ini yang semuanya layar dan bisa disentuh. "Masa anak Ayah yang keren ini gak bisa pake ponsel?" tanya Arga sambil tertawa membuat Abel mengerutkan bibirnya. "Sini dekat sama Ayah, biar di ajarin." Abel patuh dan duduk semakin dekat dengan Arga. Keduanya nampak serius dan sesekali tertawa karena keseruan menggunakan ponsel terbaru. "Kita foto yuk, Yah?" ajak Abel dengan senyuman lebar yang diangguki semangat oleh Arga. "Ayo!" "Satu... Dua... Tiga... Cisss!" Cekrek! Cekrek! Cekrek! Cekrek! "Coba sekarang Abel telepon Ibu. Ayah mau ke dapur sebentar." Arga menyerahkan ponselnya yang terdapat nomor Aya. Lalu lelaki itu pergi meninggalkan Abel yang sedang menyalin nomor Aya pada ponselnya. Dan langsung menekan tombol telepon pada ponselnya. "Ayah sim 1 atau sim 2?" tanya Abel sambil berteriak. "Sim 1, Bel. Sim 2 gak ada pulsanya." Abel mengangguk lalu menekan tombol panggil pada ponselnya. Terdengar beberapa kali bunyi tut--tutt-tuut dari ponsel itu hingga suara Aya terdengar dari ponselnya. "Hallo? Ini siapa?" "Halo Ibu." Abel kira Aya sudah mematikan sambungan teleponnya saat suara mendengar suara Abel, karena ia tak mendengar suara apapun lagi. Baru saja Abel hendak meletakan ponselnya di atas meja. Suara Aya yang terdengar antusias terdengar. "Adek?! Halllo? Ini adek 'kan?" Abel mengerutkan keningnya. Siapa itu Adek? "Em, ini Abel, Bu. Tadi Ayah kasih Abel ponsel dan di ajarin sama Ayah. Seru bang--" Tut... Abel mengerutkan keningnya saat sambungan telepon terputus. Ia tidak tahu, Aya yang memutuskan atau karena pulsa Abel yang sudah habis. Entalah, nanti ia tanyakan saja pada Arga. Sekarang tangannya perlahan bergerak di atas layar ponsel untuk menyimpan nomor Aya. Lalu ia terkekeh saat berhasil menamai kontak Aya. My Ice mother. Baru saja Abel hendak memanggil Arga, laki-laki itu datang dengan sepiring nasi berserta lauk dan segelas jus jeruk. Abel sudah hendak kabur, namun suara dari Ayahnya membuat kembali duduk. "Abel makan dulu, jangan kabur." "Udah kenyang Ayah," rengek Abel sambil menggelengkan kepalanya. Ia bahkan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Makan apa bisa kenyang?" tanya Arga. "Nanti muntah, Ayah." "Gimana mau muntah kalo diperut gak ada isinya." Abel memanyunkan bibirnya, pasrah saja saat Arga menarik tangannya agar mendekat dan mulai menyuapkannya makanan. Laki-laki itu nampak luwes menyuapi Abel, bahkan sesekali membersihkan sisa nasi di bibir Abel yang tertinggal. "Ayah," panggil Abel setelah menelan nasinya. Arga berdehem menjawab pertanyaan Abel karena saat ini ia sedang sibuk memotong sayuran agar lebih kecil. "Makasih udah peduli sama Abel."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD