3

2167 Words
"BABANG KAKAK BANGUN UDAH SIANG!" Nara menarik nafasnya panjang, setelah mengeluarkan suara lantang pada kedua anak laki-lakinya. Bukannya bangun, Dariel dan Razka semakin dalam memasuki mimpi. Nyenyak sekali tanpa terganggu sedikitpun, seolah teriakan ibunya barusan adalah lagu penghantar tidur. Tentu saja hal itu membuat Nara frustasi sekaligus gemas. Untung saja saat ini si kecil Raziel sedang berada dengan suaminya. "Kalo lima menit lagi kalian enggak bangun. Jangan harap Babang sama Kakak bisa tidur diatas jam 9 malam lagi." "Engh..." hanya lenguhan dari Razkana yang terdengar di kamar ber-wallpaper lautan plus lengkap dengan hewannya. Bocah laki-laki itu ternyata sedang sibuk mencari gulingnya dengan mata terpejam erat. Padahal saat ini sang guling tengah berada dipelukan Dariel. Melihatnya, Nara hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Lihat saja nanti akan ada pergaduhan akibat perebutan guling itu. Setelah mengatakan ancaman itu Nara bergegas meninggalkan kamar putranya. Masih ada bayi besar dan kecil yang saat ini masih membutuhkannya. Tentu saja si bayi besar adalah Adrian. Suaminya. Senyum di wajah ibu tiga anak itu terbit manakala melihat Adrian nampak baru saja menjemur Raziel di bawah matahari pagi. Entah mengapa, setiap kali Nara melihat Adrian dengan kemeja yang digulung hingga siku dan tengah membawa Raziel menjadi pemandangan terbaik untuk wanita itu. Lelaki itu rela untuk menunda kepergiannya ke kantor hanya untuk membantu Nara. Rasanya ketampanan sang suami bertambah berkali-kali lipat.  Tapi, jika suaminya itu ikut malas-malasan bersama Dariel dan Razkana, ia sungguh tak mengakui lelaki yang sudah memiliki satu anak sebelum menikahinya itu suaminya. "Ayah tambah ganteng 'kan, Bun?" seolah tahu dari sorot mata Nara,  Adrian berujar percaya diri sambil mengerlingkan matanya. Pria itu benar-benar luwes menggendong Raziel. Nara mau tak mau mengangguk. Lalu berjalan cepat menuju Adrian dan mengambil alih Raziel dari gendongan suaminya. "Uluh... Uluh... Anak Bunda harum banget." Bayi kecil itu tertawa saat Nara menciumi lehernya. "Kakak sama Babang udah bangun, Bun?" tanya Adrian sambil berjalan menuju meja makan yang diikuti oleh Nara. Mendengar sang suami bertanya seperti itu, Kinara menatap suaminya kesal. Apa Adrian tidak tahu, jika Dariel dan Razka itu sangat sulit untuk dibangunkan? "Ayah enggak boleh lagi ajak mereka begadang. Kalo kata Bang Roma itu 'Begadang harus ada manfaatnya' nah, kalo manfaatnya bikin anak jadi telat bangun, gimana?" oceh Nara, sedangkan Adrian hanya meringgis. Lupa jika kedua anaknya itu sulit dibangunkan jika tidur terlalu malam. Pria itu lalu melirik jam di tangannya, sebentar lagi ia harus ke kantor. Adrian bangkit dari bangkunya saat setelah menghabiskan setengah cangkir kopi. Pria itu mendekat ke arah isterinya, mencium pipi Nara dan puncak kepala Raziel. "Babang sama Kakak nanti diantar sama Pak Tejo aja, Bun."  Nara mengangguk dan mengucapkan hati-hati pada sang suami, hingga akhirnya tubuh tegap Adrian menghilangan dari pandangannya. Baru saja wanita itu hendak bangkit dari duduknya untuk melihat keadaan Dariel dan Razka. Tangisan Raziel membuat Nara terpaksa menyusui si kecil dulu. Hingga tak terasa jam sudah menunjukan pulul setengah depalan, yang artinya kedua anak laki-laki Nara akan terlambat. Sudah terlambat, lebih tepatnya. "Bundooo...." Nara mengalihkan pandangannya ke arah tangga saat menemukan Razka tengah mengucek matanya. Anak itu masih mengenakan piyama bermotif bis biru kecil. Dan, jangan lupakan panggilan Razkana barusan. Itu semua akibat tetangga baru mereka yang kebetulan orang Minang Asli. Tak lama kemudian, Dariel menyusul dari arah belakang. Penampilannya tak berbeda jauh dengan Razkana, masih mengenakan piyama bermotif garis-garis berwarna biru tua. Hingga akhirnya, keduanya sudah duduk di bangku meja makan. "Bunda kok gak bangunin kami?" tanya Razkana tak bersalah. Nara menahan dirinya untuk tidak mengomeli Dariel dan Raziel. Apa kedua anaknya itu tidak mendengar suara lantangnya? Nara saja sudah merasakan tenggorokannya sedikit serak akibat terlalu banyak menghabiskan suara di kamar anaknya. "Babang sama Kakak gak denger Bunda udah teriak-teriak?" tanya Kinara takjub. Keduanya kompak menggeleng. "Bagus!" decak Nara. "Besok-besok tidurnya jam 10 atau enggak jam 12. Kalo bisa sekalian enggak usah tidur, biar mata kalian kayak panda. Ada item-itemnya." Dariel dan Razka saling pandang, lalu meringgis bersamaan. Ini semua akibat kartun kesukaan mereka pindah jam tayang, untung saja Sang Ayah mau menemani mereka menonton. Jika tidak, mana berani mereka. Karena Nara akan menyuruh mematikan semua lampu yang tak terpakai agar bisa menghemat biaya.  "Jadi, kami gak sekolah kan, Bunda?" tanya Dariel pelan. Sangat lembut malah. Tak mau memacing singa betina bangun. "Seneng 'kan, terus aja begitu." Nara menoleh ke arah Raziel yang belum berhenti menyusu. "Sekali ini aja kok, Bunda." Razka memasang wajah imutnya, diikuti Dariel yang kini telah berpindah posisi di samping Nara. Tangan mungilnya terulur memijit tangan Ibunya. Aisss, anak-anak Adrian ini lihai sekali dalam mengambil hati ibunya. "Hanya kali ini,” final Kinara. Dariel dan Razka sama melebarkan matanya. Keduanya sontak bersorak gembira tanpa bersuara dan tos ria pun juga tanpa suara. Sebab saat ini mereka takut untuk memancing Ibu sihir versi rumahan. Nara mengalihkan pandanganya ke arah Raziel, mengelus pelan pipi temben itu yang masih terus menyusu. Lalu pelan-pelan ia melepas bibir Raziel dari payudaranya. "Udah ya, Dek. Susunya mau habis, mau diisi ulang dulu." Bayi kecil itu nampak tak terima saat sumber makanannya dirampas begitu saja. Bibirnya dicebik membuat bayi itu semakim menggemaskan. Sedangkan Dariel dan Razka hanya tertawa geli melihat adik mereka. "Uluh... Uluh... Anak Bunda udah bisa marah. Jangan nakal kayak Kakak sama Babang kamu ya, Dek." Bibir Dariel dan Razka kompak dimajukan saat mendengar ucapan Bundanya. "Kami gak nakal kok, cuman mau main-main aja." Lalu keduanya tertawa bersama-sama. "Karena hari ini Babang sama Kakak libur. Jadi bisa, dong, jaga Dedek Azi sebentar." Nara berdiri dari duduknya. Menatap bergantian ke arah dua putranya, mereka nampak berpikir. Tapi, setelah Nara menyebutkan makanan kesukaan keduanya. Dariel dan Razkana terpekik gembira. "Bunda mau masakin nasi goreng spesial buat Babang sama Kakak." "Yeayy!" Keduanya bertos ria. Nara menyuruh keduanya untuk menjaga Raziel di ruang televisi saja, agar keduanya tidak bosan nanti. Wanita itu meletakan Raziel diatas bouncer, sedangkan Dariel dan Razka sudah duduk manis diatas karpet sambil menonton televisi. Keduanya sama-sama sedang menghampit Raziel. Untung saja Raziel sedang tenang sekarang, mungkin dikarenakan pasokan makanan di perutnya sudah terisi penuh.  Razka yang sedang menonton televisi sedikit terganggu saat mendengar tawa Dariel. Padahal adegan di film kartun itu sedang bertarung, kenapa Dariel tertawa? Namun saat melihat Dariel ternyata sedang asik dengan benda pipih di tangannya. Razka menghela nafas. Semenjak Dariel diberikan ponsel oleh Ayah mereka di hari ulang tahun ke dua belas tahun, Kakaknya itu nampak berubah. Kadang tertawa sendiri, merenggut sendiri, kadang juga sedih sendiri. Razkana tidak tahu dampak benda itu semenajubkan itu.  Waktu bermain mereka juga semakin menipis. Jarang akhir-akhir ini Dariel bermain bersamanya dan Raziel. Entalah. Razka juga pusing memikirkannya. —————— "Bel, makan dulu." Arga membuka pintu kamar Abel saat ingin mengajak anak itu makan malam. Tapi, saat melihat Abel tengah sibuk diatas meja belajarnya dengan stabillo berwana biru ditangannya membuat Arga tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat pemandangan seperti ini lagi. "Abel, belajarnya nanti dulu. Makan malamnya udah siap." Arga masuk kedalam kamar Abel, berjalan pelan ke arah meja belajar anaknya itu dan membuat Abel mau tak mau mengalihkan pandangannya ke arah pria itu. "Sabar, Ayah. Satu soal lagi." Abel mengucapkan itu dengan bibir mengerucut, tangan kirinya menggaruk-garuk kepalanya gatal memikirkan jawaban.  Ini soal terakhir dan tersulit. "Ayah tunggu." Arga duduk diatas kasur Abel. Sambil memandangi Abel yang sedang mengerjakan tugasnya dengan serius. Melihat Abel nampak fokus dengan tugasnya membuat Arga mengukirkan senyum di bibirnya. Walau Abel bukan anak kandungnya, Arga merasa sudah sangat menyayangi anak itu. Awalanya ia begitu kaget dengan Aya ketika wanita itu membatalkan penggusuran Panti Asuhan, namun yang yang membuat Arga lebih kaget lagi adalah Isterinya yang tiba-tiba meminta mengadopsi seorang anak laki-laki. "Selesai!" Arga mengerutkan keningnya. "Cepet banget. Benar enggak, tuh?" tanya Arga ragu. Abel memutar arah duduknya menjadi menghadap Arga. Senyuman penuh kesombangan itu tunjukan pada Arga. "Benar dong. Abel kan pinter," katanya percaya diri membuat Arga terkekeh. "Udah siap, Yah. Kita ke bawah?" Abel bangkit dari bangkunya. Namun, baru saja hendak berjalan keluar kamar. Tangan mungil Abel ditarik membuatnya kembali menoleh ke belakang. "Ayah boleh peluk Abel?"  tanya Arga tiba-tiba. "Eh, boleh." Abel tidak tahu apa yang terjadi pada Arga. Namun dari bola mata itu menyiratkan kerinduan yang amat besar. Arga memeluk Abel erat. Menciumi puncak kepala anaknya beraroma sampo jeruk. Sesekali pria itu mengelus-elus punggung kecil itu yang mengenakan piyama biru. Membuat Abel yang sedang mengandarkan kepalanya pada d**a Arga semakin merasa nyaman. "Abel," penggil Arga. "Hmm," dehem Abel sebagai jawaban. Pelukan Arga kini menjadi hal yang ia sukai selain, kentang goreng dan minuman bersoda. "Sekarang, Abel udah punya Ayah yang bisa dimintaain bantuan. Sekarang, tubuh Ayah yang kuat bukan hanya bisa jaga Ibu, tapi juga bisa lindungin Abel. Sekarang juga, lengan kokok Ayah bukan hanya untuk meluk Ibu tapi juga bisa memeluk Abel. Jadi, jangan pernah ragu atau sungkan mau cerita sama Ayah atau Ibu." Abel menangguk dipelukan Arga. Air matanya mulai menetes saru per-satu. "Tapi, Yah. Ada yang kurang." Abel berujar dengan suara serak.  "Apa yang kurang?" tanya Arga bingung. "Sekarang duit Ayah bukan hanya untuk belanja ibu tapi juga untuk belanja Abel,” katanya sambil terkikik. "Anak kecil gak boleh belanja banyak-banyak,” balas Arga tak mau kalah. "Boleh banyak-banyak. Beli ciki-ciki.” "Abel suka beli ciki-ciki?" Arga melepaskan pelukan, manarik Abel hingga berdiri dihapadannya. Sedangkan Abel hanya bisa meringgis saat melihat tatapan tajam Arga. "Gak sering kok,” ungkapnya ragu.  "Jangan makan itu lagi ya?" tanya Arga dan Abel mau tak mau mengangguk. Arga tak ingin pencernaan anaknya rusak karena makanan yang tak sehat. Ah. Kapan-kapan Arga akan membawa anaknya untuk pemeriksaan kesehatan. "Ceramahnya udah siap 'kan, Yah? Abel udah laper." Abel tersenyum ke arah Arga sambil mengelus perutnya dengan bibir cemberut. Anak itu langsung bergelayut manja di lengan kekar Arga. "Ayok!" “Hari ini Ibu masak lho,” kata Arga membukan pintu kamar Abel. “Emangnya kenapa ya?” tanya Abel bingung. Bukannya setiap Ibu itu sukanya masak di dapur ya? “Ibu jarang banget masak padahal masakannya enak.” “Woah!” Abel jadi kagum dan panasaran dengan masakan Aya. Mereka menuruni anak tangga dengan sesekali tertawa. Arga yang bersifat datar seperti papan penggilas ketika bertemu seseorang seusianya akan berubah menjadi orang yang cerita ketika bertemu anak-anak. Hingga tak sadar ada sepasang mata yang menatap mereka sendu. Abel yang pertama kali menyadari tatapan Aya. Namun dengan cepat wanita itu mengubah tatapannya menjadi datar. "Ibu, masak apa hari ini?" tanya Abel riang tak memperdulikan wajah datar Aya. "Lihat saja sendiri." Abel menghendikan bahunya. Ia sudah kebal dengan sikap acuh Aya. Tapi, ia berjanji akan membuat Aya menyangnginya nanti. "Woah! Perkedel tahu sama kentang. Cah kangkung. Sayur asem. Ayam goreng. Ikan goreng dan sambal. Ah! Abel jadi lapar."  Abel segera duduk di bangku, menatap semua masakan itu dengan pandangan berbinar. Tapi, ada satu yang membuatnya melebarkan senyuman. Aya mengambilkannya nasi tanpa ia minta ataupun ditegur Arga. Mungkin, di keluarga lain itu hal biasa, tapi bagi Abel itu luar bisa mengingat dia hanya orang asing disini. "Abel baca doa dulu." Peringat Arga ketika Abel sudah ingin menyuapkan makanan ke mulut mungilnya. Abel hanyak menyengir lalu kemudian membaca doa. Abel tidak tahu apa yang membuatnya sangat semangat sekali untuk menghabiskan makan malamnya. Mungkin karena ucapan Arga tadi atau ini adalah masakan pertama Aya yang baru pertama kali ia cicipi. Apalagi wanita itu sendiri yang mengambilkannya nasi. Aya menatap masakan yang terhidang diatas meja. Banyak sekali. Ia sendiri tak sadar sudah memasak itu semua. Tapi, keningnya mengerut saat piring perkedel kentang sudah habis lebih dulu. Sedangkan piring lain masih terisi penuh. Pandangan Aya beralih ke arah piring Abel. Ternyata anak itu yang sudah menhabiskan perkedel kentang. Namun, kenapa hanya perkedel kentang yang ia makan? Apa makanan lain tak enak? Tidak tahu apa, Aya sudah capek-capek pulang dari kantor dan memasak ini semua. Hal itu membuat Aya panas sendiri. Apalagi saat mendenger suara Abel mengunyah makanan membuat Aya tanpa sadar sudah membanting sendok dan garpunya diatas piring sehingga menimbulkan bunyi yang cukup kuat. "Kamu bisa makan dengan benar, tidak? Suara kunyahanmu mengganggu." Abel yang sedang menggigit perkedel kentangnya terhenti. Nafus makannya tiba-tiba hilang entah kemana. Apalagi saat melihat tatapan tajam Aya---yang berbeda dengan tatapan tajam peduli Arga--- membuatnya tidak enak hati. Apa suara kunyahan makan Abel menganggu? Padahal Abel sudah menahan kebiasaannya itu. Tapi, tetap saja menganggu. "Abel udah kenyang." Abel mendorong pelan piringnya lalu bangkit dari bangkunya tanpa peduli pada panggilan Arga yang menyuruhnya untuk menghabiskan makanannya. Tapi, yang semakin membuat d**a Abel sesak adalah saat kata-kata itu muncul dari bibir Aya. "Dia itu tidak tahu diri. Padahal diluar sana masih banyak orang yang kelaparan dan butuh makanan." Abel sudah tidak tahan lagi. Ia segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Menenggelamkan wajahnya diatas bantal, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia sudah tidak peduli jika dibilang anak yang tidak tahu diri atau tidak tahu tata krama, Abel... Abel hanya lelah.  "AYA!" Arga berteriak emosi ketika tubuh mungil Abel menghilang dari pandangannya. Luapan yang ditahan Arga tentang tingkah seenaknya Aya sejak mereka mengadopsi Abel akhirnya meletus, bak gunung berapi yang memuntahkan larvanya. Apa yang dilakukan Aya sungguh membuatnya tidak percaya. "Kamu berlebihan.” Arga memelankan suaranya menjadi nada terendah. "Kamu yang berlebihan, Mas. Kamu terlalu menyayangi anak itu!" Arga tidak tahu apa yang kini dipikirkan isterinya itu. "Kita mengadopisnya, itu berarti dia sudah menjadi anak kita!" "Anak kita? Anak yang akan kita sayang?! Kamu bercanda, Mas? Padahal kamu sendiri yang menyetuji alasan kita untuk mengadopsi Abel!” “Kamuu—-“ “Tampar, Mas! Tampar! Sekarang enggak ada yang perlu kamu takutkan! Anak kita sudah mati!” Arga terdiam. Hatinya tiba-tiba tertohok. Tangannya yang kini menggantung di udara, bergetar. Tidak lebih dari lima centi, maka Arga akan mengulangi perlakukan buruknya yang selalu ingin ia lenyapkan.  "Mami dan Papi sudah tahu kalo kita pulang." Arga juga mengetahui bahwa orang tuanya sudah tahu tentang kepulangan mereka pulang dari luar negeri setelah sekian lamanya. Tapi, ucapan dari Aya yang selanjutnya membuat Arga mati rasa. "Mami Papi ingin melihat cucunya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD