4 : Perempuan Aneh

1200 Words
Di lain tempat, tampak berdiri gedung kokoh yang didalamnya berisi banyak orang yang merupakan pegawai dari tempat itu. Lalu lalang orang-orang dapat membuktikan bahwa pada saat ini dan dijam ini kantor itu benar-benar sibuk, Menilik lebih dalam lagi, sebuah ruang berbentuk persegi dengan meja dan kursi yang berjejer rapi tampak sedang penuh, suara demi suara saling bersahutan seperti sedang mengturakan pendapat masing-masing. Seorang pria yang duduk di kursi paling ujung pun menjadi moderator dari pertemuan kali itu, pria dengan setelan jas rapi, dengan kemeja warna abu-abu dan dipadukan oleh dasi berwarna hitam pekat. Ia sedikit berdehem ketika orang-orang yang tadinya saling melempar pendapat terdiam, melirik ke arah mereka dan menganggukkan kepala pelan. "Saya rasa pendapat kalian semua sangat bagus dan menguntungkan bagi kerjasama kita. Namun, ada beberapa faktor kendala yang mengharuskan saya untuk mengkaji ulang pendapat-pendapat kalian." ujarnya dengan nada yang lugas. "Apa saja kendala yang akan kita alami di lapangan nantinya, Pak?" Sebuah suara menginterupsi. Johan berdiri dari duduknya, ia merapikan kerah kemejanya yang agak kusut. Matanya mengitari seluruh peserta pertemuan, meeting kali ini ia lakukan dengan beberapa orang yang berbeda dengan sebelumnya, karena ini adalah project baru. Johan telah menjalani beberapa meeting antar perusahaan untuk menjalin hubungan kerjasama, tak jarang kepalanya pusing akibat memikirkan materi dan cara untuk meyakinkan klien agar mau menyetujui kerjasama itu. Fisik Johan memang terlihat segar dan bugar, tapi otak dan pikirannya tidak sejalan. Ia merindukan anak-anaknya, selama ini Altair dan Alesha adalah candunya, Johan tidak bisa berada jauh dari mereka selama satu minggu ini, bahkan selama tiga hari berturut-turut ia sempat memimpikan kedua anaknya itu. "Produk yang kita tawarkan kekurangan pemasok, banyak desa-desa dan kota terpencil yang belum dapat kita sentuh. Beberapa lagi terkendala oleh perizinan pemerintah setempat, jadi sebisa mungkin mulai saat ini kita harus membangun komunikasi dan relasi yang baik terhadap mereka yang bersangkutan." Johan menjawab pertanyaan yang diajukan kliennya. Pria berkacamata itu mengangguk pelan, ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Johan. Saat ini produk mereka memang kekurangan seorang pemasok. "Bagaimana jika kita merekrut karyawan baru?" Seorang perempuan yang duduk paling dekat dengan Johan pun mengutarakan pendapatnya, bibirnya terlihat berwarna merah menyala. Siapa lagi jika bukan Eli, ia ada di pertemuan kali ini karena mengajukan kerjasama lagi. Johan menoleh ke arah Eli, sejujurnya ia tidak nyaman dengan tatapan perempuan itu yang seolah-olah sedang menelanjangi dirinya. Ide yang diutarakan Eli memang cukup membantu, Johan pun mengalihkan tatapannya dan mengangguk pelan. Sedangkan Eli, perempuan itu masih terus menatap Johan tanpa rasa malu, membuat sang empunya bergerak gelisah. "Baik, saya akan merekrut karyawan baru, dengan begitu, pendapat kalian mengenai memperluas jaringan pemasaran akan dapat diwujudkan." ucap Johan final. Mendengar keputusan yang dibuat Johan membuat orang-orang yang ada di sana tersenyum senang, termasuk Eli, perempuan itu semakin melebarkan senyumnya. "Saya rasa pertemuan kali ini sudah cukup, untuk selanjutnya yang mewakili perusahaan saya adalah Danial, kalian bisa membahas tentang kelanjutannya bersama beliau." Johan sedikit memberikan informasi sebelum menutup acara meeting itu.  Sontak saja klien yang ada di sana pun mengerutkan keningnya bertanya-tanya. "Anda tidak memimpin jalannya meeting untuk hari selanjutnya?" Seorang pria berkepala plontos mengajukan pertanyaannya, ia sedikit merapikan kacamatanya yang hampir melorot. Johan mengulas senyum sambil menggelengkan kepala, ia tidak bisa. "Saya minta maaf, dengan berat hati saya tidak bisa mengikuti meeting kedepannya, semuanya menjadi tanggungjawab sahabat saya, Danial. Ia yang akan menggantikan saya, kalian tidak perlu mencemaskan kemampuannya, Danial sangat pandai dan bisa diandalkan." Johan berusaha menjelaskan sedetail mungkin, bagaimana pun juga klien-kliennya ini adalah orang yang penting. Johan telah meminta Danial untuk menggantikannya memimpin meeting, pria berwajah sangar itu setuju-setuju saja, toh selama ini Danial memang sering bolak-balik untuk mengurus perusahaan milik sahabatnya itu. Danial adalah pria yang bebas, tidak terikat dengan perempuan manapun, jadi pekerjaan apapun akan ia ambil alih karena tidak sesibuk Johan. Para klien pun mengangguk mengerti, beberapa di antara mereka sudah mengenal siapa itu Danial, sahabat sekaligus merangkap sebagai saudara yang sudah Johan percayai dengan sangat. Terkecuali perempuan yang saat ini melunturkan senyuman yang sedari tadi ia lukis, mendengar perkataan Johan yang akan digantikan oleh orang lain membuatnya langsung diam seribu bahasa. Ada raut tidak senang didalamnya, deru napasnya juga mulai tak beraturan. "Saya kira cukup sekian meeting hari ini, saya sangat mengapresiasi pendapat kalian. Semoga kerjasama kita saling menguntungkan dan lancar, sekian terimakasih." Johan agak membungkukkan badannya, ia tersenyum ramah. Klien yang semula duduk pun mulai berdiri, mereka meninggalkan ruang meeting satu per satu, termasuk Johan. Pria itu berjalan ke luar ruangan, ia sudah tidak sabar lagi untuk mengepak barang-barangnya dan segera pulang. Tadi malam, Alesha lagi-lagi meminta Aleya untuk menghubungi dirinya, sama seperti sebelum-sebelumnya, Alesha ingin agar Johan cepat-cepat pulang. Mendengar pesan suara dari sang anak membuat Johan semakin tertantang semangat untuk segera terbang ke rumah. Johan merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel, ia akan mengabari pada Aleya bahwa detik ini juga ia akan bersiap-siap packing menuju ke rumah. Namun, tiba-tiba saja dari arah belakang ada seorang perempuan yang mengejar langkahnya, Johan mengerutkan keningnya saat sosok itu menepuk pelan bahu kekarnya. Ia sedikit memutar tubuh guna melihat sosok itu, raut kebingungan semakin kentara saat mendapati siapa orang tersebut. "Nona Eli, ada apa?" tanya Johan keheranan. Eli tersenyum canggung, tangannya menelusupkan anak rambut yang jatuh ke arah belakang telinganya. Johan menatap perempuan itu semakin bingung, perempuan aneh! Sebelum mengatakan apa tujuannya menghentikan langkah Johan, Eli berdehem singkat, kaki jenjangnya ia langkahkan ke depan agar semakin mendekat ke arah pria itu. Melihat hal itu sontak saja membuat Johan memundurkan langkahnya, ia tidak suka dengan sikap Eli yang begitu terang-terangan ingin mendekatinya. Mendapati respon Johan yang seakan menolaknya pun membuat Eli terdiam sejenak, ia mengerjapkan mata sambil menghembuskan napas kasar. "Maaf, tidak enak jika dilihat karyawan lain. Ada masalah apa? Apakah penjelasan saya di ruang meeting ada yang belum Anda pahami?" Johan berusaha bersikap profesional, ia merendahkan nada suaranya meski dalam hati ingin menggeram sebal. Eli mengulas senyumnya, ia mencondongkan daadanya, dua kancing teratasnya terbuka seolah sengaja mengundang pandangan pria. Johan mengalihkan tatapan ke arah samping, ia tidak suka situasi ini. Entahlah, seakan sudah hilang respeknya pada perempuan itu. "Saya sudah paham mengenai penjelasan tadi. Namun, ngomong-ngomong, apakah Anda memiliki waktu, saya ingin mentraktir Anda makan siang, setidaknya sebelum Anda meninggalkan kantor ini." Eli berusaha untuk menarik perhatian Johan. Namun, Johan sama sekali tidak tertarik. Mungkin, jika dulu bisa saja ia tertarik, tapi Johan yang sekarang telah berubah, ia tak tertarik dengan urusan perempuan selain keluarganya. "Maaf, tapi anak-anak saya sudah menunggu di rumah, saya harus mengambil penerbangan lebih cepat." Jawaban Johan terdengar biasa saja, tapi nadanya sangat menohok. Untuk sejenak Eli tertegun. "Anda sudah mempunyai anak?" "Ya." Johan menjawab dengan ekspresi datar andalannya. Eli terdiam, lidahnya terasa kelu, ia tak menyangka jika Johan sudah memiliki anak, padahal selama ini ia tak pernah mendengar kabar pernikahannya. Tanpa siapapun sadari, tangan Eli terkepal dengan erat, telinganya panas mendengar fakta itu. Jika Johan telah memiliki anak, maka pria itu pasti sudah memiliki pasangan. "Sekali lagi saya mohon maaf, permisi." Johan berujar dengan cepat, tanpa menunggu jawaban dari Eli, pria itu melenggang pergi begitu saja. Eli menatap punggung Johan yang semakin jauh dari pandangan, tenggorokannya kering, matanya memerah, tubuhnya bergetar dengan samar. Tak terasa, cairan merah menetes dari kepalan tangan perempuan itu, kuku-kuku tajamnya menusuk telapak tangannya hingga berdarah. Eli marah, sangat marah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD