Prok.
Prok.
Sebuah tepukan membuyarkan suasana yang sempat hening selesai Ainun berbicara. Danis yang baru saja tampak membisu, berkali menelan ludah dan menghela nafas, kontan melirik ke arah datang nya suara tepukan.
"Mama?"
"Kenapa kamu bingung Danis? Dia minta dicerai, ikuti saja."
Kalimat Mama sinis
"Ainun sedang mengandung." Danis menjawab pelan. Sepertinya ada sekelumit rasa iba dan kemanusiaan yang tersisa di lubuk hatinya untuk perempuan yang berdiri di depannya dengan tatapan datar.
"Dia juga masih istriku," lanjutnya sedikit lirih.
"Mengandung atau tidak, cinta tidak bisa dipaksakan." Mama menukas, entah terbuat dari apa hati perempuan di hadapan Ainun.
"Setuju, Ma." Anita yang muncul tiba-tiba, dari kamar tertawa kegirangan.
"Ayolah, Danis. Apa yang membuat begitu berat menceraikan perempuan katrok itu?"
Danis menghela nafas. Entah mengapa, ada perasaan asing yang tiba-tiba dia rasakan akhir-akhir ini. Perasaan kasihan pada sosok Ainun.
Perasaan peduli dan...entah perasaan apa lagi.
"Mas, tidak bahagia bersamaku?" Ainun menatap ke arah pria yang bertahun jadi imam tapi tidak pernah mencintainya.
Sekian lama Ainun bertahan, menjalankan semua permintaan ayah mertua dan juga wasiat almarhum ibunya untuk berjuang menjadi istri yang baik buat Danis. Tapi kini Ainun lelah. Ainun menyerah dan ingin mengakhiri segala sakit hati yang dia pendan selama ini.
"Mas ingin melepaskan ku?" Kembali Ainun bertanya lirih
"Kalau iya, lakukan Mas. Biarkan ikatan ini berakhir dengan sempurna."
"Biarkan, Mama mengganti istrimu dgn yang lebih sempurna. Jangan hiraukan aku, jangan pedulikan kehamilanku. Insyaa Allah tanpamu pun aku sanggup membesarkan anak kita."
Danis menyeka peluh yang kini meraja di pelipisnya. Belum pernah dia melihat Ainun begitu ingin pergi dari hidupnya. Belum pernah dia melihat perempuan itu begitu lelah dan menyerah.
"Ainun..."
"Cukup Danis, jangan cengeng. Biarkan dia pergi." Mama mendengus.
Danis menggeleng, sepertinya dia ingin membantah, saat Mama menunjuk pintu rumah yang terbuka
"Pergilah, Ainun. Pergi...." Suara Mama tegas.
Ainun menelan ludah. Suara Mama mertua terasa begitu keras dan sinis, tapi entah mengapa hatinya begitu hampa.
Bahkan untuk menangispun kini dia tidak lagi mampu. Tak ada air mata yang menganak di sudut matanya, hatinya sunyi. Sepi.
"Baik, Mama. Jika ini maumu aku akan pergi. Lagi pula, Bapak sakit keras, aku harus pulang." Ainun tersenyum lirih. Langkahnya tenang meninggalkan ruang keluarga di mana dia bertahun mengabdi sebagai istri.
Meninggalkan rumah yang bertahun telah begitu banyak menggoreskan catatan luka dalam hidupnya.
Ampuni aku ya, Allah. Bukan niat hamba melarikan diri, dari takdir pernikahanku, tapi sungguh hamba tak lagi sanggup dengan pria yang tidak setitik pun menyimpan rasa cinta dan mengharapkan kehadirannya.
Hamba tak kuat lagi, Ya Allah. Bertahan dalam mahligai tanpa warna dan rasa, hamba menyerah...Hati Ainun merintih.
"Mas, maaf aku harus pergi. Bukan maksud hati melarikan diri sebagai istri. Tapi aku tak sanggup terus bertahan dalam mahligai yang kau bangun di atas dusta dan kemuafikan.'
Perlahan Ainun mendekati Danis, meraih tangan pria yang masih bergelar suami, menciumnya untuk yang terakhir kali. Danis matung, merasakan bibir Ainun menyentuh punggung tangannya dengan sendu.
Selesai berpamitan, Ainun berjalan perlahan menuju garasi rumahnya, mengambil motor matic yang dulu biasa gunakan.
"Mas, aku pamit...jika kau berat mengucap talak detik ini, demi kebahagiaanmu, aku menunggunya di rumahku."
Ainun tersenyum samar. Tak lagi menoleh dan berharap jawaban, dengan langkah pasti membawa tubuhnya pergi, menghilang di jalanan yang terasa sunyi
Senja baru saja turun dan langit kemerahan, saat tubuh Ainun perlahan hilang di kejauhan, membawa bongkahan hatinya yang terluka.
Danis menghela nafas berat, entah mengapa hatinya terasa sunyi saat menyadari lembaran kisah rumah tangganya dengan perempuan sederhana dengan cinta seluas samudra itu kini hanya menunggu waktu untuk kandas dan karam.