Lepaskan Aku

659 Words
"jangan macam-macam Ainun." Danis membentak Ainun. "Apa mau kamu?" Lanjutnya menatap tajam ke arah istrinya. "Aku mau perempuan ini pergi dari rumahku." Gemetar Ainun mengibas tangan Danis. "Terus kamu memanggil RT buat apa?" Danis membelalak. "Agar engkau mengerti kalau Anita bukan anak kecil yang harus kau lindungi, harus ada yang bisa membuat dia pergi. Aku yakin, Mas, dia bakal jadi racun dalam rumah tangga kita," jawab Ainun panjang lebar, tubuhnya kini mundur ke belakang. Muak rasanya harus berhadapan dengan pria tak berperasaan di depannya dan menyesali bagaimana selama ini dia bisa jatuh cinta padanya? "Jangan mempermalukan aku. Apa kata mereka, jika sampai masalah ini dibawa ke hadapan Pak RT. Dengar, Ainun hubunganku dengan Anita hanya sebatas kakak ipar." "Mas?" Anita mengerling. "Yakin kamu gak ada perasaan apa-apa sama aku?" Anita tersenyum manja. Danis sejenak mengernyitkan kening. "Kamu yakin hubungan kita hanya akan sebatas kakak ipar?" Lanjut Anita, tak tahu malu. "Aku perduli padamu, Anita. Hanya itu." "Hanya itu?" Anita tampak kecewa. Hmmm, Ainun menghela napas pelan. Entah harus lega atau tidak. Perasaannya pada Danis sepertinya mulai pudar. Kalaupun dia bertahan di rumah ini, hanya semata menunggu kondisinya pulih. Ainun mengusap wajahnya. "Dengar, Anita. Aku tahu hatimu busuk, jadi pilihanmu hanya satu pergi dari rumahku! Atau kupanggilkan satpam dan RT buat mengusirmu," ujar Ainun pelan tapi tegas. "Mas?" Anita melirik Danis, minta perlindungan. "Ainun, jangan dibesar-besarkan." "Baiklah. Suruh wanita itu pergi." Ainun tidak memberi pilihan. "Baiklah." Danis menghela napas, bersiap memutuskan. "Tunggu, Danis." Tiba-tiba sebuah suara bentakan membuyarkan suasana. "Mama?" Semua mata melirik ke arah perempuan yang baru datang. Seperti biasa Mama akan masuk ke rumah ini tanpa permisi. "Berani kamu mengusir Anita?"Mama sudah berdiri tegak di hadapan Danis dan Ainun, matanya tajam ke arah putranya. "Iya, Mak. Sepertinya Anita tak cocok tinggal di mari." Danis sedikit gemetar, seperti biasa nyalinya selalu ciut di depan Mamanya. "Bukan Anita yang harus pergi, tapi Ainun lah yang harus pergi." "Ainun?" Suara Danis menggantung. "Usir dia Danis." Entah apa yang merasuki hati perempuan setengah baya itu. Ainun menelan ludah. Bukan masalah dia harus pergi, tapi mendapati perempuan yang selama ini sangat dihormati tega menyuruhnya pergi dalam keadaan hamil dan pendarahan, sungguh luar biasa menyakitkan. Perutnya mulas, keringat dingin mulai bercucuran. Ya Allah, Ainun mendesah lirih dalam hati. Karena tadi begitu emosi membuat dia kehabisan energi, bahkan untuk melangkah ke luar pun sudah tidak mampu. Ainun terduduk di lantai, air mata mulai mengembun tak bisa di tahan. "Astaghfirullah." Ainun merintih. Sakit pisik dan rohani. "Kamu....kamu kenapa Ainun?" Danis terlihat kaget. Betapapun Ainun tidak pernah istimewa dalam hati, tapi melihat wajah perempuan itu pucat pasi tak urung hatinya terenyuh. "Ayo, Ainun." Danis berusaha meraih tangan Ainun. "Gak usah sandiwara, Ainun. Kamu pasti lagi pura-pura." Mama mencebik sinis, menarik tangan putranya dengan kasar, membuat Danis urung menggapai tangan Ainun yang terlihat makin pucat. "Ainun." Danis kembali berusaha menggapai Ainun, saat perempuan berparas sederhana itu tersenyum getir dan menggeleng. "Aku bisa ke kamar sendiri." Katanya pelan, tubuhnya gemetar saat mengibas tangan Danis dan berusaha berjalan menuju kamarnya. Ada luka yang menganga dalam di relung hatinya. *** Ainun berdiri di depan Danis. Empat hari dia berjuang, mengembalikan kondisinya. Tak dihiraukan sindiran Mama dan Anita yang terus mengejeknya, karena Ainun tidak pernah keluar kamar apalagi mengerjakan tugasnya sehari-hari di dalam rumah. Ainun fokus istirahat, makan dan minum obat. Kini Ainun sudah kuat. Tak ada lagi flek, Konsultasi terakhir menyatakan kalau kondisi kandungan dan janin baik-baik saja. Ainun merasa lebih segar. Kini, tak ada alasan untuk bertahan di rumah yang kayak neraka ini. "Mas, aku pergi." Pamit Ainun lirih. Ekspresi wajahnya datar dan dingin, tak ada lagi gelepar cinta pada pandangannya. Jika dia masih berpamitan, hanya karena Danis belum mengucap talak. "Aku masih istrimu, izinkan aku pulang ke rumah orang tuaku, satu hal lagi yang Mas harus tahu...aku sepertinya tidak akan kembali lagi ke rumah ini.' "Ainun?" "Mas, aku tidak memintamu mentalakku, tapi seandainya kau merasakan kehadiran istrimu yang tengah hamil ini sudah tidak berarti, lepaskan ikatan ini, aku ikhlas...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD