Rina berdiri dari sofa dengan senyum tipis. "Baiklah, aku harus pulang sekarang. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kami hari ini, Mas," katanya sambil mengambil tasnya. Namun, sebelum ia melangkah keluar, Dafa tiba-tiba berdiri dan memeluk lengan Andri.
"Ayah, tolong antar aku dan Mama pulang. Aku ingin Ayah ikut ke rumah," rengek Dafa dengan nada manja, matanya penuh harapan.
Andri terdiam sejenak, menatap Dafa yang terlihat sangat menginginkan kehadirannya. Di satu sisi, ia tidak ingin mengecewakan putranya, tetapi di sisi lain, ia merasa keberadaan Rina semakin mengancam keharmonisan rumah tangganya dengan Laras.
Laras, yang melihat situasi itu, mencoba tersenyum meski hatinya mulai terasa perih. Ia tahu betapa pentingnya Dafa bagi Andri, tetapi keinginannya untuk memiliki waktu bersama suaminya mulai tergerus oleh keberadaan Rina yang terus mendekat.
"Papa, please ... hanya kali ini," lanjut Dafa, menarik lengan Andri lebih erat.
Andri menghela napas panjang, lalu menatap Laras sejenak dengan ekspresi bersalah. "Baiklah, Papa antar kalian pulang. Tapi hanya sebentar, ya?" ujarnya sambil mengusap kepala Dafa.
Rina tersenyum puas, meskipun berusaha menyembunyikannya. "Terima kasih, Mas. Aku tahu Dafa akan sangat senang jika kamu mengantar kami," katanya dengan nada lembut.
Laras hanya mengangguk pelan, tidak ingin memperpanjang situasi. "Hati-hati di jalan, Mas," katanya sambil memaksakan senyum, meskipun di dalam hatinya ia merasa semakin terpinggirkan.
Andri mengangguk, lalu menggandeng Dafa menuju pintu. Sebelum pergi, ia menoleh ke Laras. "Aku nggak akan lama, Sayang," ujarnya, mencoba meyakinkan Laras.
"Ya, aku tahu," jawab Laras singkat, mencoba menahan emosi yang mulai muncul.
Ketiganya kemudian pergi, meninggalkan Laras yang hanya bisa menatap kepergian mereka dengan hati yang penuh rasa cemas dan kecewa.
Di dalam mobil, suasana terasa tenang. Dafa duduk di kursi belakang sambil bernyanyi dengan ceria, lagu anak-anak favoritnya terdengar memenuhi ruang sempit itu. Andri yang duduk di kursi pengemudi sesekali melirik Dafa melalui kaca spion tengah, mencoba tersenyum meskipun pikirannya terasa berat.
Rina, yang duduk di samping Andri, tampak menikmati momen itu. Sesekali ia menoleh ke arah Dafa dengan senyum lembut. Namun, tatapannya kembali ke Andri, memperhatikan wajah mantan suaminya yang tampak lelah namun tetap memancarkan aura yang membuatnya selalu terpesona.
"Kamu kelihatan capek, Mas. Apa kamu tidur cukup tadi malam?" tanya Rina tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
Andri tidak segera menjawab. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab singkat, "Aku baik-baik saja."
Rina tersenyum kecil. "Kalau begitu, terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk mengantar kami. Aku tahu kamu sibuk."
Andri hanya mengangguk, pandangannya tetap fokus ke jalan. Ia tidak ingin percakapan ini berlanjut terlalu jauh, apalagi di depan Dafa.
Di belakang, Dafa tiba-tiba menghentikan nyanyiannya dan berseru, "Papa, kita bisa liburan ke puncak kapan? Aku sudah enggak sabar!"
Andri tersenyum kecil, menoleh sekilas ke Dafa melalui kaca spion. "Papa masih harus lihat jadwal dulu, Nak. Tapi Papa janji kita akan pergi, oke?"
"Yay! Aku mau bawa layangan! Mama juga ikut, kan?" seru Dafa penuh semangat, menatap ke arah Rina.
Rina langsung mengangguk dengan senyum lebar. "Tentu, Sayang. Kita semua akan bersenang-senang di sana," jawabnya, sengaja menambahkan tekanan pada kata semua sambil melirik Andri.
Andri tidak merespons. Ia hanya fokus mengemudi, meskipun dalam hati ia merasa semakin terjebak dalam situasi yang rumit ini.
Rina tiba-tiba memecah keheningan dengan suara penuh semangat. "Dafa, bagaimana kalau kita pergi ke taman bermain hari ini? Mumpung Papa sedang bersama kita," usulnya sambil
menoleh ke arah Andri.
Dafa langsung berseru kegirangan dari kursi belakang. "Benar, Ma? Kita bisa main roller coaster dan naik bianglala?"
Andri, yang sedang fokus menyetir, mengerutkan dahi mendengar usulan itu. "Rina, aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Lagipula, aku sudah bilang ke Laras kalau aku nggak akan lama," ucapnya dengan nada tegas, meskipun mencoba tetap tenang.
Rina menatap Andri dengan senyum kecil, seolah tidak peduli dengan keberatan Andri. "Ayolah, Andri. Ini hanya sebentar. Lagi pula, Dafa jarang sekali mendapatkan waktu seperti ini bersama kamu. Lagipula, Laras pasti mengerti," balasnya dengan nada lembut tetapi penuh tekanan.
Dafa, yang tidak menyadari ketegangan di antara kedua orang tuanya, terus merengek dengan nada manja. "Papa, please ... Aku ingin main! Ayo, Pa. Aku janji enggak akan rewel!"
Andri terdiam sejenak, bingung harus bagaimana. Di satu sisi, ia tidak ingin mengecewakan Dafa, tetapi di sisi lain, ia tahu Laras akan merasa tidak nyaman jika ia menghabiskan waktu lebih lama dengan Rina.
"Rina, mungkin lain kali saja. Hari ini aku benar-benar harus pulang lebih cepat," jawab Andri akhirnya, mencoba memberi alasan yang masuk akal.
Namun, Rina tidak menyerah. "Hanya satu atau dua jam, Mas. Aku yang akan mengantar kalian pulang setelahnya. Toh, kamu juga perlu refreshing, kan?" ujarnya dengan nada lembut, tetapi tatapannya penuh keyakinan bahwa Andri tidak akan mampu menolak.
Andri menghela napas panjang. Melihat ekspresi penuh harap di wajah Dafa, ia akhirnya menyerah. "Baiklah, tapi hanya sebentar. Setelah itu aku harus pulang," katanya dengan nada yang lebih tegas.
"Yay! Terima kasih, Papa! Aku sayang Papa!" seru Dafa sambil bertepuk tangan kegirangan, membuat suasana kembali ceria.
Sementara itu, Rina tersenyum puas, merasa berhasil membawa Andri sedikit lebih jauh dari Laras. Taman bermain ini mungkin hanya awal, pikirnya dalam hati.
***
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, namun Andri belum juga pulang. Berkali-kali ia mencoba menghubungi ponsel suaminya, tetapi panggilan itu hanya berakhir dengan nada sambung tanpa jawaban.
Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Mas Andri, kamu di mana?" gumamnya lirih, tangannya menggenggam erat ponsel di pangkuannya.
Laras berdiri, melangkah mondar-mandir di ruang tamu, sesekali melirik ke luar jendela, berharap melihat mobil Andri masuk ke halaman rumah. Namun, yang ia lihat hanyalah gelap malam yang sunyi.
Setelah beberapa menit berlalu, Laras kembali mencoba menghubungi Andri. Kali ini, ia meninggalkan pesan suara dengan nada yang bergetar.
"Mas, ini aku. Kamu di mana? Aku khawatir ... tolong hubungi aku kalau kamu dengar ini, ya," katanya sebelum menutup panggilan.
Laras kemudian duduk kembali di sofa, memeluk bantal dengan erat. Dalam hatinya, ia terus mencoba berpikir positif, tetapi kekhawatiran dan rasa tidak tenang semakin menguasai dirinya. Apakah Andri baik-baik saja? Ataukah ada sesuatu yang tidak ia ketahui sedang terjadi?
Di tengah malam yang sunyi itu, Laras hanya bisa berdoa agar suaminya segera pulang dengan selamat.