Keesokan paginya, suara mesin mobil Andri terdengar di halaman rumah. Laras yang baru saja selesai menyiapkan sarapan langsung berjalan menuju pintu, berharap akhirnya bisa melihat suaminya pulang.
Begitu pintu terbuka, Andri muncul dengan wajah yang tampak lelah dan kantung mata yang jelas terlihat. Meski demikian, Laras tetap menyambutnya dengan senyum hangat, seperti biasa.
"Mas, kamu baru pulang?" tanyanya lembut, meski ada sedikit kekhawatiran dalam nada suaranya.
Andri mengangguk pelan sambil melangkah masuk. "Maaf, aku nggak sempat ngabarin semalam. Ada kerjaan mendadak yang harus aku selesaikan," jawabnya singkat, mencoba menghindari tatapan Laras.
Laras mengangguk pelan, meskipun ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Andri. "Nggak apa-apa, Mas. Yang penting kamu sudah pulang. Aku sudah siapkan sarapan. Kamu mau makan sekarang atau istirahat dulu?"
Andri berhenti sejenak, memandang wajah Laras yang tetap ramah meski ia tahu istrinya pasti khawatir semalaman. "Aku mandi dulu, ya," jawabnya sambil berjalan menuju kamar tanpa menunggu respons Laras.
Laras memandang punggung suaminya yang semakin menjauh, rasa cemas yang ia pendam sejak malam tadi kembali muncul. Namun, ia memilih untuk tidak banyak bertanya, berharap semuanya akan kembali normal seperti biasa.
Laras memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan membuat sarapan dan minuman hangat untuk Andri. Ia melangkah ke dapur, mengambil bahan-bahan sederhana, dan mulai memasak dengan penuh perhatian.
Di atas meja, ia menyajikan nasi goreng kesukaan Andri, lengkap dengan telur mata sapi dan kerupuk yang renyah. Di sampingnya, secangkir teh hangat beruap lembut sudah menunggu. Laras menata semuanya dengan rapi di atas nampan, memastikan setiap detailnya sempurna.
Selesai menyiapkan sarapan, Laras membawa nampan itu ke ruang makan. Ia menata meja dengan penuh kesabaran, lalu berdiri sejenak sambil memandang hasil kerjanya. Senyumnya tipis, meski hatinya masih sedikit khawatir.
Beberapa menit kemudian, Andri keluar dari kamar dengan rambut yang masih basah usai mandi. Wajahnya terlihat lebih segar, meski kelelahan masih tersirat di matanya.
Laras menyambutnya dengan suara lembut, "Mas, aku sudah siapkan sarapan. Yuk, makan dulu biar energinya balik."
Andri mengangguk pelan, kemudian duduk di meja makan tanpa banyak bicara. Laras duduk di seberangnya, memperhatikan Andri yang mulai menyantap makanan.
"Enak?" tanyanya dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Andri mengangguk sambil tersenyum tipis. "Seperti biasa, enak. Terima kasih, ya," jawabnya singkat, tanpa menatap Laras.
Meski respons Andri terasa dingin, Laras mencoba tetap berpikir positif. Ia yakin, waktu dan perhatian tulusnya suatu saat akan bisa melembutkan hati Andri sepenuhnya.
Setelah beberapa saat duduk menemani Andri yang sedang sarapan, Laras merasa sudah waktunya mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Ia berdiri perlahan, lalu berkata dengan lembut, "Mas, aku ke kamar dulu, ya. Mau ambil pakaian kotor buat dicuci."
Andri hanya mengangguk sambil terus melanjutkan makanannya tanpa banyak bicara.
Laras melangkah menuju kamar mereka. Sesampainya di sana, ia mulai mengumpulkan pakaian kotor yang ada di keranjang dan sudut kamar. Saat sedang merapikan pakaian, ia tanpa sengaja menemukan sebuah tiket parkir kecil yang terjatuh dari saku kemeja Andri.
Laras memungut tiket itu dan memandangnya sesaat. Di tiket itu tercetak nama sebuah tempat yang tidak ia kenal. Hatinya berdegup sedikit lebih cepat, tetapi ia mencoba mengabaikan pikirannya yang mulai bertanya-tanya.
Saat Laras sedang merapikan pakaian, tangannya tanpa sengaja menyentuh lengan baju Andri yang terlipat di dalam keranjang. Ketika ia menarik baju itu, matanya langsung tertuju pada sebuah noda merah muda yang mencolok di bagian kerah.
Laras terdiam sejenak, matanya terfokus pada noda tersebut. Ragu-ragu, ia mendekatkan wajahnya dan menyadari bahwa itu adalah noda lipstik. Hatinya terasa sesak seketika, dan pertanyaan yang semula hanya samar kini semakin jelas menghantui pikirannya.
Dengan tangan yang mulai gemetar, Laras memeriksa lebih dekat baju tersebut. Noda lipstik itu tampak baru, bahkan belum sempat terhapus dengan sempurna. Ia pun melihat kembali tiket parkir yang tadi ia temukan di saku kemeja Andri. Kini kedua barang itu, tiket dan noda lipstik, terasa seperti petunjuk yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Laras berjalan dengan langkah yang terasa lebih berat menuju ruang cuci, setiap detik pikirannya dipenuhi oleh kegelisahan. Ia tidak bisa mengabaikan noda lipstik yang baru saja ditemukannya di baju Andri, serta tiket parkir yang ia temukan di saku. Semua itu mengarah pada satu pertanyaan yang semakin membebani pikirannya: Apa yang sebenarnya terjadi antara Andri dan Rina semalam?
Setelah meletakkan pakaian di tempat cuci, Laras berusaha untuk menenangkan diri dan kembali ke ruang makan. Ia melihat Bagas yang masih duduk di meja makan, menikmati sarapannya dengan tenang. Laras melangkah perlahan menuju Bagas, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman tipis.
"Mas, apakah kamu sudah sarapan?" tanya Laras dengan suara lembut, berusaha menjaga suasana tetap tenang.
Bagas menoleh ke arahnya dan mengangguk. "Iya, sudah. Terima kasih, sayang. Kalau kamu?" jawabnya sambil menyusun peralatan makan.
Laras duduk di kursi di seberang meja, merasa canggung meski mencoba untuk tetap terlihat santai. Ia menatap Bagas sebentar, berpikir apakah ia bisa mengungkapkan perasaannya tentang ketegangan yang ia rasakan akhir-akhir ini. Namun, ragu itu membuatnya terdiam. Ia tidak ingin membebani Bagas dengan masalah yang masih terlalu berat untuk diungkapkan.
"Ada yang ingin dibicarakan?" tanya Bagas, menyadari perubahan sikap Laras yang terlihat agak gelisah.
Laras memandang Andri yang baru saja selesai dengan pekerjaannya di rumah dan duduk di meja makan. Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya Laras memutuskan untuk bertanya, mencoba memecah ketegangan yang ada di antara mereka.
"Mas, kemarin setelah mengantar Dafa dan Rina pulang, kamu langsung ke kantor, ‘kan?" tanya Laras, dengan suara yang lembut meskipun ada kegelisahan di dalam hatinya.
Andri mengangguk, tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Iya, aku langsung ke kantor setelah mengantar mereka," jawabnya singkat, seolah tidak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut.
Laras menatap Andri, berusaha untuk membaca ekspresi wajahnya, tetapi Andri terlihat biasa saja, seolah tidak ada yang berbeda. Namun, rasa curiga masih mengganggu hati Laras. Ia merasa ada sesuatu yang tidak terbuka, sesuatu yang tidak sepenuhnya dijelaskan. Meskipun begitu, ia tidak ingin langsung melontarkan tuduhan, khawatir jika itu hanya perasaannya saja.
Andri menatap Laras dengan sedikit kebingungan, merasa ada sesuatu yang aneh dengan pertanyaan yang baru saja diajukan. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sayang?" tanyanya, mencoba mencari penjelasan.
Laras hanya tersenyum tipis, menggelengkan kepala pelan seolah ingin menghindari percakapan lebih lanjut tentang hal itu. "Nggak apa-apa, Mas. Aku hanya penasaran," jawabnya dengan nada ringan, meskipun hatinya sedang penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Andri mengangguk, meskipun terlihat masih sedikit ragu. "Baiklah, aku berangkat sekarang," katanya, lalu berdiri dari kursinya dan mulai merapikan jasnya.
Laras mengikutinya dengan pandangan mata, berusaha untuk tetap terlihat santai. "Hati-hati di jalan," ucapnya, meskipun di dalam hatinya, perasaan cemas itu semakin besar.
Andri memberi senyuman kecil sebelum akhirnya keluar dari rumah, meninggalkan Laras yang masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Setelah pintu ditutup, Laras kembali ke ruang tamu, berusaha menenangkan diri, tetapi perasaan tak tenang itu tetap membayangi pikirannya.