"Boss, mau makan siang apa?" tanya Andi pada Irawan yang sedang mengamati tabletnya.
"Nasi padang di resto depan itu enak deh, itu aja. Lado ijo sama rendangnya banyakin," jawab Irawan langsung dicatat oleh sang asisten.
"Kalau Mas Arya?" Andi beralih menatap Arya yang menghela napas kasar setelah mempelajari banyak berkas penting di depannya. Meski usia Arya dua tahun di bawahnya namun sebagai asisten Andi tentu saja tetap harus menghormatinya. Terlebih lagi ini masih dalam lingkungan kantor.
"Hmm, nggak usah deh, Mas. Nanti aku turun aja mau cari sendiri."
"Jaga kesehatan, Nja. Jangan sampai kesibukan lo yang baru bikin lo ngedrop. Gue nggak punya waktu buat handle di sini kalau elo tepar. Gue sibuk di Batam," sela Irawan melirik tajam pada adik bungsunya.
"Bukannya kerjaan di Batam udah kelar ya, Mas?"
"Udah, tap—"
"Tapi kerjaan sampingannya belum," sela Andi lantas terkekeh geli.
Arya yang tak paham hanya malah mengerutkan keningnya. "Sampingan apaan?"
"Pedekate sama janda kinyis-kinyis," potong Andi lagi makin terkikik.
"Bangke lo, Ndi." Irawan melempar pulpen ke arah sahabat sekaligus asistennya itu.
Mendengar penjelasan Andi, membuat Arya hanya menggeleng samar dan tak terpengaruh dengan gelak tawa Andi yang beberapa bulan ke depan akan menjadi asistenn sampai ia mendapatkan asisten yang baru.
"Nja, inget apa gue tadi. Gue sibuk, jangan sampe gue ditarik ke sini lagi karena kerjaan lo nggak becus."
Arya mendengkus sesaat. "Gue di sini kerja, Mas. Bukan main-main, lagian nggak mungkin bokap ngirim gue kuliah plus jadi kacungnya Mr. Yacob kalau balik ke indo nggak bisa ngapa-ngapain."
Arya memang banyak berubah, terutama ketika ia kembali untuk kedua kalinya ke New York setelah mendapat sangsi dari ayahnya. Sangsi karena Arya sudah mengecewakan kedua orang tuanya, serat membawa aib untuk keluarga besarnya.
"Terserah lo sih, pokoknya papa tau beres."
"Udah, kantor tempatnya kerja bukan buat debat saudara." Andi yangmerasa jengah akhirnya menengahi. "Gue cabut dulu cari makan siang dulu deh, kalian akur dikit di sini."
"Gue ikut turun, Mas," sela Arya setelah menutup map terakhirnya. "Biar gue tau tempat makan enak sekitar sini."
Andi hanya memberi isyarat dengan tangannya lantas Arya langsung berjalan mengekor di belakangnya.
"Mas Awan kecantol janda mana?" tanya Arya ketika keduanya turun ke lantai dasar menggunakan lift khusus direksi.
"Ada, incerannya sejak dulu. Cuma kalah ketikung aja, nanti lo juga tau. Gue nggak mau jadi bigos meski kalian berdua bersaudara." Andi terkekeh sembari mengamati angka lift yang mulai berubah-ubah di depannya.
Arya berdecih sesaat. Memang tak penting mengorek siapa yang sedang dekat dengan kakaknya saat ini. Tapi tetap saja rasa penasaran tentu ada. Karena ia tak menyangka Irawan justru tertarik dengan seorang janda dibandingkan dengan gadis-gadis model seperti mantan kekasihnya terdahulu.
"By the way, asisten baru lo besok udah masuk. Namanya Danu, umurnya nggak beda jauh dari lo, tapi hasil kerjanya nggak main-main. Udah di acc sama Pak Adi juga." Andi memberi informasi lagi. "Jadi gue stay sebentar di sini buat gembleng kalian berdua biar nggak kagok banget ketemu direksi. Kalau Danu udah bisa dilepas, gue balik ke Worley, kerja sama Awan."
"Atur aja sih, Mas." Arya memasukkan ponselnya lantas ikut mengamati angka yang bergerak di lift mereka.
"Lo mau makan di mana? mau bareng?"
Arya menggeleng. "Dari kemaren gue makan nasi Padang mulu bosen. Gue mau cari tomyam sea food deh, barusan liat di maps ada di mall sebelah."
"Niyom Thai?"
Arya mengangguk. "Ada di lantai 4. Perlu ditemenin?"
Kali ini Arya menggeleng. "Gue bukan anak TK yang bakalan nyasar, Mas."
Mendengar jawaban Arya, Andi tak merasa tersinggung sama sekali. "Nyasar sih nggak mungkin, dikerubungin cewek aja kali."
"Ngaco!"
Arya terkekeh pelan. Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka. Baru beberapa langkah, senyumnya langsung lesap saat netranya menangkap sosok yang lebih dari dua tahun ini menghiasi mimpi malamnya.
Hanya beberapa meter di depan Arya, berdiri sesosok perempuan muda yang tengah tersenyum ceria bersama dengan beberapa rekannya. Mereka tiga orang perempuan dengan kaos seragam berwarna biru tua dengan kerah berwarna hitam. Sedangm mengantre di depan lift tanpa dengan orang-orang yang lain sesama pekerja di gedung ini. Meski kini tak lagi berhias rambut panjang yang dulu ia banggakan, Arya sangat yakin itu adalah sosok yang sama. Alisha.
"Gue duluan, Mas." Arya ingin memastikan kalau yang dilihatnya barusan bukanlah halusinasi belaka. Jadi yang bisa ia lakukan sekarang hanya berlarian kecil menuju penyebab rindunya selama ini.
Sayang semesta tak mendukung sama sekali. Belum sempat bersemuka, rombongan perempuan itu sudah masuk lift yang pintunya sudah tertutup rapat saat Arya sampai dan mendekat.
"s**t!" umpat Arya lirih lantas menekan-nekan tombol lift berharap pintu besi itu masih mau terbuka untuknya.
"Ngejar siapa sih? sampai pucat gitu?" Ternyata Andi sudah ada di belakang Arya saat menepuk punggung pemuda itu.
"Kenalan," jawab Arya dengan napas tersengal.
"Kayaknya bukan kenalan biasa."
Arya bungkam enggan menjawab, ia hanya mengendik pelan sebagai respon. Dengan gesit ia lantas mengeluarkan ponselnya lagi untuk menghubungi seseorang.
Paham kalau Arya sedang tak mau diganggu, Andi memilih berlalu setelah menepuk punfak boss barunya itu dua kali.
"Mas, gue pesen makan siang sama lo juga deh, menunya samain aja kayak punya Mas Awan," pesan Arya setengah berteriak karena Andi sudah meninggalkannya agak jauh.
"Oke," jawab Andi tanpa menoleh. Pria berkacamata itu hanya mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi ke udara.
Setelah Andi menghilang dari pandangan, Arya lantas mendekati meja resepsionis di sebelah utara. Dua orang gadis front liner dengan penampilan menarik berdiri memberi senyum terbaik sambil membungkuk singkat. Keduanya sudah mengenali Arya karena wajib bagi mereka untuk mengetahui siapa petinggi di Galeea Tower ini.
"Selamat siang, Pak Arya. Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya mau tanya," Tentu saja Arya akan menanyakan hal yang baru saja memancing ingatan masa lalunya. Daripada harus bertanya pada Irawan dan memancing kecurigaan, lebih baik Arya bertanya pada orang lain saja. "Staf yang pakai seragam warna biru tua dengan logo huruf G besar di bagian d**a dan gambar monster lucu di bagian punggung, hmm... itu kerja di kantor apa ya? lantai berapa?" sambung Arya menggambarkan seragam yang dipakai perempuan mirip Alisha tadi.
"Oh, itu staff dari Less Giant, Pak. Perusahaan animasi gitu, Pak. Mereka kerja sama dengan stasiun TV Sunny Shine."
Arya mengangguk-anggukan kepala. Meski jarang melihat televisi, ia tahu kalau Sunny Shine merupakan penyiar tayangan khusus untuk anak-anak dan balita.
"Kantor mereka di lantai berapa?"
"Lantai 9 dan 10, Pak."
"CEO atau petinggi yang bisa ditemui siapa?" Arya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya. Siapa tahu ia taka sing dengan petinggi perusahaan tersebut.
Front liner di depannya membuka layar komputer untuk sesaat. "Pak Arya bisa bertemu dengan Pak Gilang Atau Bu Monic di lantai 10."
"Oke terima kasih banyak ya," seru Arya lantas berbalik dari meja resepsionis.
Meninggalkan sosok front liner yang masih mengembangkan senyum manis saat ia mengangguk singkat. Bahkan saat berbalik, Arya sempat mendengar kasak kusuk front liner tersebut membicarakan dirinya.
"Gilak ya, anak bungsu Pak Adiyatma ternyata gantengnya nggak kaleng-kaleng. Pantesan disembunyiin di luar negeri ya, biar aman dari jangkaukan gadis jelata pemuja cowok halu kayak kata."
"Lo aja kali, gue bukan pemuja cowok halu ya," balas salah satunya masih terjaring telinga Arya.
Tak menghiraukan suara-suara tersebut, Arya bergegas menuju lift dan menekan angka sembilan. Tak mau dibunuh rasa penasaran, apa yang dipertanyakan hatinya harus segera ia tuntaskan.
"Siang, Mas, cari siapa?" tanya seorang pemuda yang melihat Arya mengedarkan pandangan ke segala penjuru kantor yang banyak dihiasi gambar-gambar ilustrasi yang memanjakan mata.
"Alisha. Alisha Gauri. Ada staff yang bernama Alisha kerja di sini?" tanya Arya masih belum melepaskan tatapan dari kubikel yang berderet di depannya.
Pemuda dengan lesung pipi tersebut menautkan alisnya beberapa detik sebelum akhirnya berseru dengan suara lantang. "Saaaa... Sasaaaa!! ada yang nyariin elo nih!"
Arya membasahi bibirnya dengan gugup. Tak menyangka suara pemuda di depannya ini bisa memacu detak jantungnya tak tahu malu.
"Apaan sih, gue masih makan si—"
Suara yang begitu dirindukan Arya terdengar dari ruangan sebelah kanan. Arya langsung menoleh lantas yakin seratus persen kalau pemilik suara itu adalah perempuan pemilik hatinya tahunan lalu.
"Alisha," sapa Arya lantas termangu.
"Kamu..." lirih Alisha kemudian sama-sama terdiam tak mampu menyerukan kalimat apapun karena lidahnya terlanjur kelu.
***