4. Hantu Masa Lalu

1402 Words
Senyum manis di wajah Alisha berangsur menghilang saat bayangan Arya mendadak hingga di benaknya. Iya, mantan kekasihnya yang sempat ia tepikan dua tahun silam itu tadi siang tiba-tiba muncul di kantornya. Memang tak ada adegan lanjutan selain keduanya saling pandang dalam keheningan, karena Alisha mendadak kabur ke lantai sepuluh dengan dalih banyak pekerjaan yang tak bisa ditunda. "A- aku banyak kerjaan numpuk di atas. Nggak bisa diganggu siapa pun sampai seminggu ke depan," ujar Alisha sambil terbata-bata tadi siang. Padahal niatnya memang hanya untuk kabur dari hantu masa lalu bernama Arya Rivan. Namun nyatanya sampai menjelang malam tetap saja hantu itu tak mau pergi dari benaknya sampai-sampai pekerjaan lemburnya hampir tak menunjukkan kemajuan apa-apa. "Pantesan kerjanya lembur terus, kebanyakan ngelamun sih? nggak kelar-kelar kan tuh!" Alisha terperanjat hingga menegakkan posisi duduk. Di depan wajahnya sudah ada satu kotak martabak telur yang sengaja diayun-ayunkan oleh Danesh. "Mas Danesh," ujar Alisha setelah meraup wajahnya beberapa kali. Ia harus segera menghilangkan bayangan Arya di pelupuk mata. Karena hanya itu yang harus ia lakukan agar kenbali pada kehidupan normalnya selama ini. Pria manis yang disapa Alisha sontak menyunggingkan senyum lantas duduk di sofa sebelah Alisha. Ternyata tak hanya membawa martabak telur, tapi Danesh juga membawa dua cup latte dan satu dua kotak burger. "Tadi sama mas-mas yang di depan langsung di suruh masuk. Katanya kamu di sini," seru Danesh mengendik ke arah pintu masuk. Alisha ikut melirik dan mendapati Ali sedang menyantap makan malam sambil ditemani tayangan ulang selak bola semalam. Ali adalah security baru yang dipekerjakan Less Giant setelah petugas security yang terdahulu mengalami kecelakaan kerja. "Iya, ini tinggal finishing aja kok," seru Alisha menunjuk layar laptop yang menampilkan gambar ilustrasi yang sedang ia kerjakan. "Buat iklan kampanye?" Alisha mengangguk mengiyakan. "Clientnya mau nyasar ke kalangan anak muda, Jadi iklan dibikin yang nggak terlalu berat gitu." "Kirain ngerjain kartun lagi." Sambil membuka kotak martabak Danesh kembali menimpali. "Yang itu udah selesai, kemarin sudah masuk pra produksi." “Judul baru?” Alisha mengangguk. “Bulan depan launching, nanti Mas lihat episode pertamanya ya? kasih koreksi gitu buat aku sama tim.” “Tenang aja, pasti aku lihat. Biasanya malah aku promosiin juga ke Alubna,” ucap Danesh dengan bangga. “Harusnya kamu bayar jasaku sebagai promotor loh, Sha.” Alisha terkikik melihat raut wajah Danesh yang sengaja dibuat-buat memelas. “Lulu suka?” tanya Alisha lebih tertarik dengan respon dari keponakan Danesh yang masih batita itu. “Suka, semua animasi buatan maminya dia suka. Katanya lucu,” jawab Danesh membuat Alisha mengulum senyum dengan pipi merona. “Tapi sama Mbak Iin nggak dibolehin lama-lama screen time.” Alisha mendesah napas panjang lantas kembali menatap layar laptopnya. “Ya iyalah, Mas, masih belum dua tahun juga kan umurnya. Masih kecil banget.” "By the way, masih lama lemburnya?" tanya Danesh sambil mengulurkan cup kopi. "Kurang dikit, setengah jam lagi ya, Mas. Nggak apa-apa kan?" Danesh mengangguk tak berniat membuat Alisha tergesa-gesa. "Santai aja, aku temenin sampe jam berapa pun bisa kok," ujar pria berlesung pipi itu lantas mengusap puncak kepala Alisha dengan gerakan lembut. Alisha mencebik tipis lantas tersenyum manis. "Tumben sih, Mas?" lenguh Alisha dengan hati berdentam. Sedikit menyesal karena ia tak bisa menyukai pria penyayang seperti Danesh sejak dulu. Malah sebaliknya, sampai detik ini mau tak mau Alisha harus mengakui kalau hatinya masih berat pada pria masa lalu yang pernah memberinya luka. Arya. "Apanya yang tumben?" Satu alis Danesh menukik naik. "Yaa, perhatian kayak gini. Nemenin lembur di kantor sambil bawa banyak upeti kek gini," jawab Alisha apa adanya. Danesh memang perhatian, tapi entah kenapa malam ini perhatian pria Itu terasa berbeda dari sebelumnya. Danesh tersenyum sambil mengunyah martabak di tangannya. "Perasaan sama aja deh," imbuh pria itu lantas memajukan badan dan menatap lekat tepat ke manik mata Alisha. "Lihatnya biasa aja, nanti aku baper juga sia-sia, karena Mas nggak mau tanggung jawab," dengkus Alisha seraya menggerakkan bibir ke bawah. "Nggak usah mancing deh, aku terlalu tua buat baperin anak orang." Dengan tangannya yang lain Danesh mencubit puncak hidung Alisha. "Eh iya, Sha," sambung Danesh setelah beberapa saat keduanya terjebak keheningan. "Tadi, hmm ... seharian ini, kamu ketemu sama seseorang nggak?" Jemari Alisha yang tadinya sibuk menari diatas keyboard mendadak berhenti bergerak. Menelengkan kepala, perempuan cantik itu menyipitkan mata saat menatap Danesh dengan seksama. "Pantesan mendadak perhatian," gumam Alisha dengan senyum miring. Raut wajah yang awalnya ceria kini mendadak berubah mendung tatkala paham maksud dari pertanyaan Danesh barusan. “Ternyata Mas Danesh udah tau kalau ada Arya di gedung ini? atau jangan-jangan … udah ketemu juga?” sambungnya lirih. Danesh menarik napas berat saat melihat sorot sendu Alisha yang masih belum lepas dari layar laptop. Sebenarnya itu kamuflase belaka, memang tatapan Alisha di balik kacamata memang tertuju ke sana, tapi pikirannya tentu saja bergerak liar pada sosok yang tadi siang mencarinya. "Nggak ketemu langsung, cuma ya ... ketemu sama Irawan. Kakak keduanya Arya." Danesh tak ingin menutupi apapun dari Alisha, jadi ia ceritakan saja semuanya. "Tau nggak kenapa tadi pagi aku nanyain tentang gedung ini ke kamu?" sambung Danesh lagi. Alisha menggeleng pelan. Mencoba fokus pada pekerjaannya namun ternyata tetap saja suara Danesh membuatnya gusar sekaligus penasaran. "Galeea Tower ini... milik Pak Adiyatma," seru Danesh yang kini mendapat tatapan lurus Dari Alisha. "Ayahnya Arya." Memejamkan mata sejenak, Alisha sengaja meraup oksigen banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang mendadak sesak. Ternyata begini cara semesta membuka jalan yang mempertemukannya dengan Arya. Sungguh Alisha tak tahu apa-apa. Saat baru beberapa bulan bekerja di Less Giant, yang ia tahu hanya perusahaan yang bergerak di bidang kreatif itu memang punya tempat baru yang lebih luas dan nyaman di gedung ini. Sebagai karyawan biasa, tentu saja Alisha tak punya kuasa untuk bertanya tentang seluk beluk gedung pencakar langit yang kini menaunginya. "Hasssh, ternyata seperti itu," seru Alisha setelah membuka mata dan menenangkan dentuman jantungnya. Melihat respon Alisha yang tenang dan tak seburuk dugaannya, Danesh patut merasa lega. Jadi ia meraih satu telapak tangan Alisha dan mengusapnya pelan. "Are you okay, hmm? lihat dari respon kamu, kayaknya kamu udah ketemu dia," tebak Danesh lagi. Alisha mengangguk, tak juga ingin mengelak tebakan pria berlesung pipi di depannya. "Tadi siang di ke sini," seru Alisha sembari menaikkan letak kacamata. "Ngapain? terus gimana? dia ngomong apa?" cecar Danesh tanpa sadar mengeratkan genggaman tangannya pada jemari lentik Alisha. "Awww, tangannya ih, sakit, Mas," keluh Alisha memukul punggung tangan Danesh. "Eh, maaf, maaf. Terus gimana?" ulang Danesh kembali mengusap-usap telapak tangan Alisha. "Ya nggak gimana-gimana. Aku shock, terus kabur aja ke lantai atas, nggak turun lagi sampe sore." "Gitu aja?" kejar Danesh belum lega. Alisha mengangguk cepat. "Gitu aja, aku mendadak ngeblank, makanya kerjaanku nggak kelar-kelar sejak tadi siang," jawab Alisha lantas meninggal habis latte yang dibawakan Danesh untuknya. Danesh mendesah panjang. "Kirain..." "Kirain apa?" potong Alisha memberengut dengan wajah masam. "Nggak usah dibahas lah, sana buruan kerja lagi biar cepet aku antar pulang." Danesh mengibaskan tangan ke udara lantas mengendik ke arah layar laptop yang menampilkan pekerjaan Alisha. "Situ yang tanya, situ yang sewot. Gimana sih? Mas Danesh aneh?" Bukannya tak suka jika Alisha dan Arya kembali bertemu. Hanya saja Danesh tak rela jika hidup Alisha yang kini mulai tenang harus jungkir balik dan penuh drama lagi karena kemunculan Arya. "Bukannya sewot, Sha. Cuma khawatir kalau dia bikin kamu sedih lagi." Danesh mengasurkan latte miliknya yang tinggal separuh. Ia tahu kalau itu adalah minuman favorit Alisha, karena itulah ia sigap saat mata Alisha menelisik cinta yang sudah kosong. "Nggak akan, Mas. Aku bukan Alisha si gadis cupu seperti dua tahun lalu. Perjalanan hidup mengajarkan banyak hal. Ketemu mantan aja mah, nggak akan bikin aku mellow." Alisha tersenyum sebelum menerawang menatap langit-langit. "Aku nggak mau Magika sedih karena punya ibu yang menye-menye dan gampang mellow," sambung Alisha lantas terkekeh. Danesh ikut tertawa kecil melihat Alisha yang nampak baik-baik saja. Jauh berbeda dengan Alisha dua tahun lalu yang masih terlihat rapuh. Ternyata benar, perjalanan hidup bisa membuatnya berubah lebih kuat dari sebelumnya. "Aaah, iya. Jadi inget Magika, sejak pulang dari Bukittinggi aku belum sempat nengokin dia." Danesh mengembangkan senyum saat mengingat putri kecil yang begitu dicintai Alisha. Alisha menoleh begitu mendengar kalimat Danesh. Sepertinya tak ada salahnya kalau ia mengajak Danesh bertemu Magika akhir pekan ini. "Sabtu ini setelah beresin gambar di Pilar, aku mau ke Banten nengokin Magika sama ayah. Udah kangen banget sama mereka. Mas Danesh mau ikut?" Danesh menyambutnya dengan senyum. lebar. "Tentu saja mau, Sha. Aku juga kangen sama Magika." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD