"Apa! Tidak. kau tidak boleh pergi. Bibi melarangmu!" Nyonya Magie naik darah, ketika keponakannya mengatakan akan pergi keluar kota bersama teman – temannya. Oliver memang tak separah dulu, kadang penyakit yang dideritaya jarang kambuh. Tapi hal buruk bisa saja terjadi. Bagaimana jika penyakitnya kumat? dan seluruh teman - temannya melihat? nama besarnya akan tercoreng.
"Tidak Oliver, Kau boleh kemana saja, tapi tidak boleh bermalam, bagaimana jika penyakitmu kambuh?" Nyonya Magie sekali lagi menegaskan agar Oliver tidak nekat bermalam di luar.
"Bibi ... aku akan baik - baik saja, Bibi lihat? aku tak pernah kesakitan lagi!" Oliver meyakinkan Nyonya Magie.
"Kau tidak dengar? Bibi bilang tidak, ya tidak!” Nyonya Magie agak kesal. Berkali – kali dia menarik nafas panjang untuk meredam kekesalannya.
“Pokoknya aku akan pergi. Aku sudah berjanji pada Edward!”
“Jangan membantah! dan berhentilah bermain dengan teman - teman bodohmu, kau pikir Bibi tidak tau? Kau bahkan sekarang hobi main wanita, kan?"
"Aku hanya bermain Bi, Aku tidak meniduri mereka, aku tak pernah tidur dengan wanita manapun, kecuali Baekie. Pokoknya aku akan pergi! Titik!"
"Oliver! Andai kau kumat, apa yang akan kau lakukan? Kau tidak boleh pergi!"
"Aku akan bawa Baekie!" Perkataan Oliver membuat Bibinya terbelalak. Beberapa pelayanpun sempat terpaku karena perkataan Oliver. Baekie keluar dari rumah? Sungguh kejadian langka. Bahkan melangkah dari kamarnya saja tidak pernah.
"A-apa! Kau bilang apa? Kau mau bawa si hantu itu?"
"Bibi takut aku kumat, kan? aku akan bawa Baekie bersamaku. Jika memang aku kumat, dia ada di sana, dan semua akan baik - baik saja.”
"Oliver, kau Gila? Hantu itu harus tetap di tempatnya. Jangan berani - beraninya membawa dia keluar!”
“Bibi mau aku bagaimana?”
“Jangan bermalam dan jangan bawa dia. Teman - temanmu akan menatap aneh. Wajahnya tanpa ekspresi dan dia bahkan tak pernah bicara!"
"Aku tak peduli! aku akan bawa Baekie. Bibi mau melarangku? Mau aku mengamuk?"
“Oliver! Dengarkan Bibi ..."
"Cukup! Pèlãyan! empat orang, segera ke kamar Baekie dan persiapkan dia!”
"Baik Tuan Muda!" Para pēlayan berlari ke kamar Baekie. Nyonya Magie tak bisa bicara apapun lagi. Kekuasaan yang sebenarnya ada di tangan Oliver dan apapun perkataannya, itu adalah titah.
***
Para pēlayan melapor bahwa Baekie sudah siap di bawa. Oliver masuk ke kamar Baekie untuk memeriksa. Tampak Baekie berdiri dengan gaun putihnya yang menjuntai selutut, dan sebuah tas di sampingnya. Pipinya merona, bibirnya yang berwarna cherry blossom terlihat begitu indah, sejenak Oliver terpana. Dia memang tak begitu peduli dengan Baekie. Oliver hanya datang saat kesakitan dan setelah merasa baik, dia langsung meninggalkan gadis itu tanpa menoleh lagi. Hari ini pertama kalinya Oliver melihat Baekie dengan keadaanya yang normal. perlahan Oliver mendekat ke arah Baekie lalu menyentuh bibir Baekie dengan ibu jarinya.
"Baekie Rosewood, ternyata kau lumayan juga. hah ..." Oliver menatap wajah Baekie dengan seringainya yang khas, menurunkan tangannya dari bibir Baekie, lalu berbalik.
"Hantu! dengarkan aku. Kau akan ikut aku keluar kota, kau tahu? sebenarnya aku tak ingin membawamu. Tapi ... karena aku mungkin akan butuh tubuhmu, maka kau ikut. Kau tak pernah keluar dari kamar ini, kan? maka berterimakasihlah padaku untuk hari ini. Ah, walaupun kau tak bisa bicara setidaknya tunjukkan ekspresi terimakasih.” Oliver kembali menatap Baekie, "Senyum, ayo senyum sedikit."
Baekie tetap diam, raut wajahnya tak berubah sama sekali. selalu menatap Oliver tanpa ekspresi.
"Aish! aku bilang senyum!" Oliver menarik kedua sudut bibir Baekie dengan tangannya, memaksa agar Baekie tersenyum, tapi Baekie tetap berdiri diam.
"Brèngsēk!” Oliver menurunkan tangannya dengan kesal, lalu menendang tas yang berisi baju Baekie.
"Pèlãyan! segera bawa hantu ini dan barang – barangnya ke mobil!” Perintah Oliver. Para pēlayanpun bergegas melaksanakan tugas mereka.
Di mobil, Baekie yang duduk di kursi belakang, tampak melihat keluar jendela. Oliver memperhatikannya dari kaca depan. Gadis itu seperti merekam semua dengan matanya. mungkin karena dia tak pernah keluar, cahaya matahari agak menyakitinya. Sesekali ia memicingkan mata, karena merasa silau. Itu ekspresi pertama yang Oliver lihat dari wajah Baekie. Entah kenapa ekspresi ringan seperti itu, mampu membuat Oliver terpaku. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Lalu menyibukkan diri dengan ponselnya.
***
Sekitar lima jam perjalanan. Akhirnya mereka tiba di sebuah villa mewah. Lokasi villa tersebut agak terpencil di dalam hutan. Tapi suasananya begitu sejuk dan nyaman. Pèlãyan membukakan pintu mobil untuk Oliver. Oliver keluar merentangkan tangannya. Menghirup nafas dalam-dalam, menikmati sejuknya cuaca di villa itu. Pèlãyan kemudian membukakan pintu untuk Baekie. Baekie mengintip dari dalam mobil. Menatap Oliver yang sedang tersenyum hangat. Dia terdiam, menjejakkan kaki ke tanah, terlalu canggung baginya. Terlebih melihat Oliver dalam keadaan normal dan tersenyum seperti itu. Laki-laki yang selama ini hanya mendatanginya dengan ekspresi kesakitan, Ternyata begitu indah. Baekie sedikit iri dengan pantulan matahari. Cahaya itu menyentuh kulit wajah Oliver, meresap dan menyatu dengan Oliver, membuat wajah laki-laki berambut gelap itu terlihat lebih mempesona.
“Sedang apa kau? Turun!”
Suara Oliver menghentikan lamunan Baekie. Perlahan Baekie menjejakkan kakinya ke tanah. Oliver pergi menuju pintu masuk. Di sana sudah menunggu Edward. Berdandan bak pangeran. Dengan senyum konyolnya.
"Wah! Tuan Muda Oliver, tak kusangka kau datang.” Edward begitu antusias menyambut kedangan Oliver. Laki-laki dengan tinggi seratus delapan puluh tujuh senti meter, tiga senti meter lebih rendah dari Oliver tersebut, dengan cepat menyuruh pēlayan mengangkat barang-barang Oliver, dan segera mempersilahkan Oliver masuk ke villa megahnya.
"Welcome Oliver. Wah ... siapa yang kau bawa? Cantik sekali.”
"Ah, dia pēlayanku. kau harus beri aku dua kamar."
"Serius? tapi kenapa dua kamar?"
"Aku akan ke kamarnya, jika aku butuh tubuhnya, aku akan di kamarku jika aku tidak butuh."
Baekie hanya diam mendengar ucapan Oliver. Yah, begitulah arti Baekie bagi Oliver. Dia hanya diperlukan pada saat darurat. Oliver hanya butuh tubuhnya, tidak lebih.
"Ck, ck ... kau memang luar biasa, ayo aku tunjukkan kamarmu.”
Edward membawa Oliver berkeliling, di segala sudut villanya dan akhirnya menunjukkan kamar.
"Nah ... ini kamar pèlãyanmu. Ah Nona, siapa namamu?" Edward menatap Baekie sambil tersenyum ramah.
"Kenapa kau tanya namanya segala? kau tak perlu tau!" Oliver terlihat kesal.
"Ok ... aku tak kan tanya." Edward mengangkat tangannya, lalu menunjuk kamar sebelah, "Itu kamarmu, asal tau saja, aku mengundang banyak gadis malam ini.” Edward menepuk nepuk pundak Oliver, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Baekie, masuk ke kamar dan jangan keluar!" Perintah Oliver. Baekie segera masuk ke kamar, namun langkah Baekie terhenti ketika melihat seorang wanita berjalan kearah Oliver.
"Sayang ... sudah lama datang? kenapa tidak langsung cari aku?"
Seorang wanita setengah tēlãnjang menghampiri Oliver, dan mencium bibir Oliver.
"Ah, Nancy, kau sudah di sini?"
"Iya, aku merindukanmu, hmm ... hmm ...." Wanita bernama Nancy itu, merãba rabã dàdã Oliver. Oliver membalas dengan beberapa kecupan di bibir Nancy.
"Sayang itu siapa? kenapa dia melihat kita dengan ekspresi itu?"
"Aish ... Baekie sudah ku bilang masuk kamar! Kau tidak dengar?"
Baekie menatap Oliver tajam. Sejenak Oliver tersentak, tak pernah dia melihat tatapan Baekie yang seperti itu sebelumnya. Dum! Baekie memasuki kamar sambil membanting pintu. Oliver makin terperangah.
"Hantu itu kenapa? apa sekarang dia belajar emosi dari orang orang yang dia temui di jalan? Dasar.”
To Be Continue