Bab 3

1079 Words
"Ran, mana kunci mobilnya. Aku mau ajak Vina pulang. Kasihan ini pingsan." "Heleh, enak saja kamu ngomong. Tidak bisa! Kalau mau mobil, beli saja sendiri. Tapi ingat, belinya pakai uang hasil kalian berdua!" ucap Rani. Halah! Mau pakai mobil saja banyak cingcong ini perempuan. Lihat saja nanti di rumah. "Kohar!!!!!" teriakku. "Iya, Pak." Kohar langsung berlari menghampiri. "Kamu ikut saya pulang. Jaga Vina! Pegangi Vina, kita naik motor bertiga," suruhku. Malu sekali rasanya. Tapi mau bagaimana lagi. "Kita bonceng bertiga, Pak? Nanti kalau ada polisi kita ditilang bagaimana, Pak?" tanyanya. Iya juga si. Benar juga ucapan Kohar. "Eh, Mas! Lagi pula, sekalipun tidak ada polisi, aku tidak mengijinkan Kohar ikut bersama kamu!" ucap Rani ketus. "Nasi Padang datang!" teriak Edi. Membuatku semkain kesal saja. Fokus Kohar pun teralihkan pada nasi Padang yang dibawa Edi. Terpaksa aku pergi ke warung sebelah untuk membeli minyak angin. Vina merepotkan saja. Baru dengar seperti ini saja sudah pingsan. Bagaimana kalau kuajak hidup miskin beneran? Apa iya dia mau bertahan? Ah, setidaknya kalau pun dia tak mau bertahan ya sudah. Aku cari perempuan lain. Aku 'kan laki-laki tampan. Sangat mudah mendapatkan perempuan. **** "Maya! Beli minyak angin ya," ucapku yang memang sudah akrab dengan janda si Dendi ini. "Kenapa kamu, Mas Anton? Suntuk banget," tanyanya. "Tidak apa-apa. Cepetan minyak angin-nya mana? Saya sedang tidak mood untuk bercanda," ketuaku. Bahkan orang lain pun menjadi sasaran. "Ini, Mas!" Maya menyerahkan minyak angin-nya. Aku meraih minyak angin itu tanpa membayar. "Catet saja, May! Masukan bon minta sama, Rani!" teriakku sambil berlalu. Saat sampai lagi toko, wajahku kembali masam. Aku menyaksikan semua karyawan dan Rani sedang makan bersama. Akrab sekali kelihatanya. Jujur saja aku benci melihat itu semua. Bukan apa, aku juga ingin ikut menikmati kebersamaan ini. Namun, apa daya tidak ada yang mau mengajakku. Seperti tidak ada harganya keberadaan-ku dengan Vina di sini. Sangat memalukan. Rani …! Rani…! Sungguh, kelakuanmu mampu membuatku mengelus d**a. "Istri tua merajuk! Pindah ke rumah istri muda! Kalau dua-dua merajuk, Anton kawin tiga!" Sengaja aku menyanyikan lagu itu sambil berteriak supaya membuat Rani tertawa. Namun, bukan Rani yang tertawa melainkan para karyawan. Terutama Edi dan Kohar karyawan lama yang terkenal paling somplak. Maklum, mereka berdua yang mengatur letak barang toko. Kalau tidak ada mereka amburadul semuanya. "Emang masih punya duit, buat kawin lagi, Pak?" timpal Edi. Sedangkan yang lain tertawa renyah. Kurang ajar mereka! Kompak sekali. Benar-benar membuatku geram. "Berisik kamu!" Aku melempar botol minyak angin ke wajahnya. "Vin, bangun! Pingsan awet banget," gerutuku. Setelah selesai makan Rani mendekat. Rani membawa air bekas cuci tangan di kantong pelastik. Entah untuk apa air itu. "Masih belum sadar juga sudah diboreh minyak angin, Mas?" tanyanya. "Belum ni, Ma." Kesempatanku untuk mengambil hatinya bukan? Rani mah pasti menyapaku duluan. Mana bisa dia jauh dari suami tampan yang mirip Arjuna begini. "Oh, minggir kamu, Mas. Biar aku saja," ucapnya. Cuuuurrrrrr! Rani mengucurkan air bekas cuci tangan mereka tepat di wajah Vina. Bayangkan saja, seperti air pancuran, dan Vina sebagai embernya. "Hhhuuuuaaaa! Pedas!!!!" teriak Vina. Rani membuang pelastik bekasnya juga ke wajah Vina seperti tempat sampah. "Rani!!!!" teriak Vina segera berdiri tegak. Matanya kepedasan hingga dia berteriak-teriak meminta air untuk mencuci muka. "Kelewatan kamu, Ran! Sakit jiwa tahu kamu!" berangku seraya membawa Vina ke kamar mandi. "Pelakor memang kudu dikasih pelajaran biar nggak ngelunjak, Bu!" ucap Resa dengan suara yang dikencangkan. "Masih mending cuma diguyur air kobokan! Kalau perlu nganunya disumpel cabe biar puas dan tahu rasa, Bu!" teriak Nana seperti sengaja. Geram aku dibuatnya. Setelah Vina sampai di kamar mandi, aku meninggalkannya dan kembali menghampiri Nana serta Resa. Brrakkk! Kugebrak bangku hingga membuat mereka diam ketakutan. "Kalian pikir, selama saya diam, kalian bisa seenaknya memaki saya! Begitu?!" Tidak ada yang menjawab ucapanku termasuk kedua karyawan yang tak tahu diri itu. "Mas!" Tak lama Vina datang dengan memegang tanganku. "Pecat saja mereka, Mas!" "Kamu! Nana! Resa!" Kalian saya berhentikan sebagai karyawan saya," tegasku. Kedua perempuan itu hanya diam menunduk bahkan tak berani menatapku. "Dasar kerupuk! Renyahnya hanya ketika di dalam kaleng saja!" cibirku. Rani maju ke depan lalu mendekatiku. "Atas dasar apa kamu berani pecat karyawanku?!" tanyanya dengan dagu yang ditinggikan. Angkuh! Seperti itu tepatnya. "Aku juga berhak! Karena toko ini modal bersama. Ada hak aku di sini! Kamu jangan lupa itu!" balasku. "Edi! Kohar!" teriak Rani. "Kalian tutup sekarang tokonya!" "Siap, Bu," jawab keduanya serempak. Fokus Rani kembali teralihkan ke arah aku dan Vina. "Benar!" ucapnya tegas. "Benar! Disini memang ada hak kamu! Haruskah aku memikirkan hakmu sedangkan kamu tidak memikirkan hakku? Egois kamu!" tunjuknya tepat di wajahku. Rani tidak pernah seperti ini sebelumnya. Meskipun dia tipikal perempuan mandiri, tapi Rani lembut dan penuh kasih sayang. Hanya saja dia bukan perempuan manja yang suka meminta ataupun merengek. "Bu, kuncinya." Edi menyerahkan kunci pada Rani. Lalu, mereka pun pergi meninggalkan toko. Mungkin saja kami akan menjadi buah bibir di sepanjang jalan pulang. Kini, di toko yang sudah sedikit gelap hanya ada kami bertiga. "Kamu membicarakan soal hak 'kan, Mas? Apa kamu peduli dengan hakku? Apa kamu meminta izin padaku untuk menikahi, Vina? Kamu egois, Mas! Kamu tidak memikirkan bagaimana hati dan perasaanku sebagai wanita harus diduakan oleh suaminya!" Rani terdiam sejenak terlihat menarik nafas. "Kamu tidak memikirkan perasaanku! Apa aku akan sakit hati? Kamu tidak memikirkan itu! Yang ada di kepala kamu, kalau aku akan menerima pernikahan kalian. Begitu? Asal kamu tahu, Mas, aku sakit! Dan sakit hati ini mungkin tak berdarah! Tapi pengkhianatan kamu, selalu membekas abadi di relung hati terdalamku!" "Tolong jangan katakan lagi tentang hak!" ucapnya seakan membuat lidahku menjadi kelu. "Jadi kamu lebih suka jika suamimu itu berbuat dosa dengan berselingkuh, begitu? Tidak ada hak laki-laki menikah lagi harus dengan seizin istrinya! Laki-laki berhak memiliki istri lebih dari satu!" balas Vina. "Kamu, kalau tidak tahu apa-apa, sebaiknya diam saja! Wanita-wanita yang doyan dengan suami orang seperti kamu, baiknya dimusnahkan dari muka bumi ini!" "Tidak habis pikir aku dengan perempuan kasta rendahan seperti kamu! Apa tidak punya hati hingga rela mengambil dan menggoda milik orang lain?" Rani menyeringai seraya menggelengkan kepalanya. Aku seperti kehabisan kata untuk membalas setiap perkataan yang keluar dari mulut Rani. "Ayok pulang!" Kutarik tangan Vina keluar sebelum membalas ucapan Rani. Takut nantinya akan semakin panjang. Baru dua hari pernikahanku dan tinggal bersama rasanya seakan memanas. Sepertinya aku perlu menenangkan diri sebentar. "Vin kita mampir ke danau dulu ya," ucapku. Vina mengangguk. "Ayok, Mas. Pikiranku juga rungsang. Sekalian kita cari cara untuk kedepannya harus gimana," ucap Vina. Aku mengangguk. Segera kupacu motorku meninggalkan toko. Vina memeluk pinggangku erat, seakan memberi kekuatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD