Bab 8

1443 Words
POV Winda (Ketemu Mantan Suami) Tidak menyangka. Aku ikut Rani ke tokonya malah ketemu Mas Galang. Entah kenapa, jiwa sombongku muncul begitu saja. Aku ingin menunjukkan padanya, bahwa aku baik-baik saja ditinggal olehnya. "Rani, Mbak dan Ayu masuk duluan ya." Rani terlihat bingung. Namun, sepertinya dia juga mengerti kenapa aku tiba-tiba ingin masuk duluan ke toko. Saat sampai di dalam, ternyata Mas Galang sedang memilih sesuatu. Dia datang bersama anak dan istrinya. Kulihat, istri-nya sekarang nampak kumel. Tidak seperti dulu saat menggoda Mas Galang. Penampilannya sangat cantik. Uhu, dulu kan si pelakor itu kerja di tempat malam, dan Mas Galang mengenalnya di sana. Bagaimana ya, reaksi Mas Galang bila melihatku. "Ehem! Aku berdehem. Kutatap mantan suamiku itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ih, dekil sekali …. "Winda?" sapanya. Si pelakor itu seakan tidak suka melihatku. Terlebih, penampilanku lebih unggul darinya. Ya, dia tidak separonya. Wajahnya kumel, dekil, kusam dan berjerawat. Padahal, dulu dia sangat cantik. Sekarang tubuhnya juga melar. Tidak sepertiku yang masih langsing meski sama-sama telah memiliki anak. "Mas Galang, sedang apa disini?" tanyaku ramah, penuh senyum dan seakan tidak terjadi apapun. "Ayu." Mas Galang langsung memeluk tubuh anakku. Begitupun dengan anakku, dia balas memeluk Ayahnya. Kubiarkan saja. Memang ingin melihat si Pelakor panas. "Eh, Santi. Apa kabar?" tanyaku. Perempuan yang memakai celana kolor dan kaos putih oblong ini seperti terpaksa membalas sapaanku. "Allhamdullillah, kabar baik," ucapnya seraya mengulurkan tangan. "He, ini Desti ya? Cantik sekali seperti Ibu-nya," pujiku. Desti memang cantik, tapi tidak seperti Ibu-nya. Ayu terlihat biasa saja. Tak mau menyapa Desti. Begitupun dengan Desti. "Mbak," Rani datang menyapaku. Dia langsung masuk ke meja kasir. "Ini kuncinya, Bu." Edi memberikan kunci kasir pada Rani. Sedangkan Ayu langsung berlari menyusul Rani tanpa menyapa Ayahnya. "Istri kamu semakin cantik saja, Mas. Semakin segar dilihatnya. Sukses ya kamu jadi suami. Memang beruntung yang bisa nikah sama kamu," ucapku merendah. Padahal di dalam hati aku tertawa jahat menyaksikan mantan suamiku dan istri mudanya jadi seperti ini. "Kamu juga tambah cantik," puji Mas Galang. 'Oh, iya dong. Tentu. Aku 'kan sekarang menjadi wanita karir.' Mas Galang mencuri pandang padaku. Dasar aku yang jahil pun membalas dengan senyum saat matanya terpergok sedang menatapku. Aku berbeda dengan Rani. Kalau Rani memang sangat benci pengkhianatan. Bahkan untuk menyentuh kembali si pengkhianat pun enggan. Berbeda denganku yang lebih suka membuat mantan menyesal dengan cara elegan. Tapi elegan versi Winda. Sudah pasti dengan caraku sendiri. Lelaki, biasanya akan merasa setelah kehilangan. Jika perempuan dikhianati oleh lelaki, pasti lelaki itu akan menyesal di kemudian hari. Apalagi bila menempuh jalan yang tidak benar dengan berselingkuh, sudah pasti penyesalannya tidak berujung. Hanya saja, mereka mampu menutupinya. Kenapa ditutupi? Karena mereka malu untuk mengakuinya. "Vina!!!" teriak perempuan itu girang. Vina menatap Kakaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Mbak! Ini kamu, Mbak?" cetusnya. "Iya, ini Mbak Santi. Kenapa, Vin?" tanya Santi. "Mas, silahkan duduk," tawarku ramah pada Mas Galang. 'Hiyak! Cemburu-cemburu lu pelakor! Hahahaha aku tertawa jahat. Sungguh!' Terutama ketika melihat Santi melirik penuh amarah pada suaminya. Wkwkwkwk aku merasa menang. Tapi bukan berarti aku menginginkan untuk kembali pada Mas Galang. Pantang untukku kembali pada laki-laki yang telah berkhianat, apalagi mencampak-kan begitu saja. Mas Galang pun duduk sembari memberiku sebuah senyum. Senyum yang sungguh menjijikan sebenarnya. Tapi kalau menurut dia sangat manis. "Mbak, duduk dulu," tawar Vina pada Kakaknya. "Kok kamu ada di sini?" tanya Santi. Aku menghampiri Rani ke meja kasir. Sambil mendengarkan obrolan mereka tentunya. "Iya, ini 'kan toko suamiku," jawab Vina. Mendengar itu, ekspresi wajah Santi langsung mengembang penuh senyum. "Berarti dua perempuan ini karyawannya?" Santi bertanya dengan nada suara yang ditinggikan dan seakan ingin menyombong. "Ini toko adik gue." Begitulah kiranya. "Bukan, Mbak. Yang satu istri pertama, suamiku. Dan yang satu Kakaknya. Sepertinya Mbak Santi kenal dengan perempuan yang di samping istri suamiku," ucap Vina lirih. Meski begitu, aku masih mampu mendengar ucapannya. Dia tidak tahu kalau pendengaranku sangat tajam. "Asalamualaikum!" Suara Anton mengagetkan kami. "Itu suami aku, Mbak. Kenalin," ucapnya pada Kakaknya. Anton menghampiri Vina." "Ini siapa, Sayang?" tanya Anton. Masa iya, ipar sendiri tidak mengenalinya? Hem, membuatku bingung. "Kakak aku, Mas. Mbak Santi. Kebetulan kita ketemu disini," jawab Vina. "Bingung ya, Anton? Soalnya, Mbak 'kan nggak datang di pernikahan kalian. Kata Ibu, kalian nikah juga mendadak dan tidak ada mengundang siapapun? Hanya dihadiri beberapa saksi?" Aku dan Rani saling berpandangan. "Kasian amat si, Vina. Diajak nikah diam-diam," bisikku di telinga Rani. "Biar saja, Mbak! Sukurin. Pelakor pikir hidup dari hasil merebut enak! Enak si, Mbak. Tapi cuma sebentar," lirih Rani membalas ucapanku. "Sssttt! Sini!" Ku-dekatkan telingaku. "Kaya si itu! Senangnya cuma sebentar. Hahahaha sukurin!" lanjutnya. "Eh, lupa! Aku mau kasih selamat buat kalian berdua!" teriak Rani. Membuat orang yang tengah berbelanja melirik pada kami. "Selamat untuk apa, Ran?" tanya Anton. "Iya, selamat. Mbak Santi telah merebut, Mas Galang dari, Mbak Winda. Jelas-jelas Mbak Santi tahu kalau, Mas Galang sudah punya istri! Sedangkan, Vina. Vina merebut kamu dari aku. Padahal, Vina tahu kamu sudah punya istri." Rani terdiam sejenak. Ke-empat orang itupun terdiam seakan menahan malu. "Ih, Kakak dan Adik sukanya sama suami orang. Tapi aku tidak menyalakan kalian berdua kok, karena Suami kami juga salah. Sudah tahu telah beristri, masih saja jelalatan. Jadi keduanya salah. Suami kami mau-an, ketemu kalian yang juga kegatelan. Jadilah seperti ini. Alhasil, mendapatkan yang kedua, tapi kehilangan yang pertama," lanjut Rani. Sumpah, kalau aku yang berada di posisi mereka sungguh merasa malu. Penghinaan luar dalam kalau menurutku, karena Rani mengucapkannya dengan nada suara yang sengaja dikencangkan. Sehingga, bisa terdengar oleh karyawan dan para pelanggan. Terbukti ketika mereka diam sesaat. "Ih, Mbak. Ternyata pelakor juga ada keturunannya ya?" sambar salah satu pelanggan. Tidak sopan memang tapi aku suka. Hahahha … lagi dan lagi aku tertawa jahat. "Ada, Mbak!" balas Rani. Contohnya dua pasangan ini. Yang satu suami Kakak saya. Dan yang satu suami saya," lanjutnya. "Mas kita pulang sekarang!" ucap Santi pada Mas Galang. Mas Galang segera bangun dari duduknya. "Ayu, Ayah pulang dulu ya," pamitnya. Mas Galang menghampiriku dan meminta nomor ponselku. Kuberi saja di depan istrinya. "Terimakasih. Nomor ponselmu kusimpan untuk menanyakan kabar, Ayu." ucapnya seraya bergegas menyusul istri dan Anaknya yang sudah lebih dulu keluar. "Nggak jadi beli karpet, Mbak?" tanya Rani. Aku menggeleng karena melihat karpetnya masih utuh di tempatnya. "Kalian itu nggak sopan banget ya sama, Kakakku! Ko tega banget mulut kalian sepedes itu! Nggak punya hati banget!" semprot Vina. Aku dan Rani tidak menjawab sama sekali. Anton terus memijit keningnya. Mungkin saja dia mulai pusing melihat Rani dan Vina terus bertengkar. Tidak di rumah, di toko, kasihan …. "Peduli amat gue sama kakak elu! Najis! Waktu Kakak gue nangis-nangis nggak mau dicerai-in sama Mas Galang, memang Kakak elu mau kasihan sama Kakak gue? Enggak sama sekali! Kakak elu malah ngeracuni suaminya biar lupa sama anaknya! Sadar elu! Sadar!" Rani yang geregetan terus menunjuk-nunjuk wajah Vina. "Ran, sudah malu, ah," lirihku. "Biarin, Mbak. Aku geregetan, Mbak. Emosi aku!" balas Rani. Ya Allah, aku bukan fokus sama pertengkaran mereka, tapi aku fokus sama wajah Anton. Rasanya ingin membuatku tertawa terbahak-bahak. "Ayok, Mas pulang saja!" ketus Vina pada Anton. Air matanya luruh membasahi pipinya yang cantik mulus dan muda. "Pulang kemana lu? Kunci rumah sama gue!" ucap Rani. "Rani, sini kunci rumahnya!" pinta Anton. "Tidak bisa! Di rumah tidak ada orang! Nanti kalian kabur dengan membawa barang-barang berharga di rumahku lagi!" cibir Rani. "Allahuakbar! Rani! Kelewatan sekali kamu! Kalau saja laki-laki sudah kuajak duel kamu ini!" kesal Anton seraya menggelengkan kepala. "Bisa mati berdiri aku kalau terus-terusan sama kamu! Lebih baik aku keluar dari rumah! Tapi jangan harap aku mau kembali sama kamu, Perempuan Mandul!" tegas Anton. Gelegar! Kenapa hatiku sesakit ini melihat Adikku dihina. "Sok kalau kamu mau keluar dari rumah. Lebih cepat lebih bagus. Supaya aku bisa membersihkannya dengan cairan anti bakteri! Silahkan, Mas kalau mau keluar! Jangan harap aku mau memberikan uang meski hanya seribu rupiah! Tak sudi!" balas Hany. "Aku juga tidak membutuhkan uang kamu, Rani! Akan ku buktikan sama kamu, kalau aku dan Vina akan lebih sukses. Baik! Kupenuhi tantangan untuk bisa sukses dengan, Vina. Kalau aku berhasil, kamu harus segera keluar dari rumah!" tantang Anton. Vina tersenyum jahat penuh keyakinan. "Deal! Sekarang silahkan kamu pergi, Mas!" usir Rani. "Tidak perlu diusir, kami juga akan pergi! Cih!" Anton meludah, setelah itu menyeret tangan Vina dan membawanya keluar. Apakah mungkin Anton, tidak kembali lagi ke rumah Rani malam ini ataupun esok? Kenapa aku yakin, Anton akan menjilat kembali ludah yang sudah dibuang olehnya? Kalau iya, sungguh laki-laki tak punya malu. Sudah sesumbar, tahu-tahu kembali lagi …. Deeerrrttttt .... Dering ponselku bergetar, bola mataku membulat sempurna ketika melihat pesan sepanjang jalan Pantura. Ada perasaan senang bercampur puas .... "Asyik, bisa ku-screenshot pesan ini dan ku-tunjukan padanya. Yesss....?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD