Dua

1563 Words
*Authors POV* Suasana bandara pagi ini cukup lengang. Embun menatap Davino dengan mata berkaca-kaca. Ia menangkup wajah anaknya itu dengan menatap mata Davino lekat. Ia tidak menyangka akan merawat Davino hingga kini. Badannya yang tumbuh tegap menjulang dengan wajah yang sangat mirip Almarhum Papanya, Dave. Kulit putihnya yang mewarisi Rana. Embun memeluk anaknya itu dengan terisak. Rasanya ia tidak rela melepaskan Anak lelakinya pergi tanpanya. “Mama lebay banget. Mama kan nanti bisa kesana kapanpun Mama mau,” ucap Gavin menggoda istrinya agar tidak terlalu sedih. “Mama gak bisa seenaknya kesana ya, Pa! Papa kira deket apa!” protes Embun. Davino memeluk Mamanya erat dan mencium pucuk kepala Mamanya. “Tenang aja, Ma. Davino disana kan juga gak sendiri. Ada asisten Papa. Davino bakal jaga diri sebaik-baiknya disana.” “Beneran ya! Jangan bohong sama Mama! Awas kamu main-main cewek dan gak fokus.” “Mama tenang aja, Promise! I Love You, Ma.” “Love you, too. Dav.” Embun sedikit berjinjit dan mencium pipi kanan dan kiri anaknya itu. tidak lupa kecupan kening yang agak lama dengan bulir air mata mengenai wajah Davino. Davino rasanya sudah ingin menangis juga. Dramatis banget Mama ini. Padahal dia bisa susulin aku kapanpun dia mau. Batin Davino dengan kekehan kecil. Setelah Embun memeluknya, Gavin merengkuh tubuh anak laki-laki yang mengingatkannya dengan Dave saat berumur delapan belas tahun. Sangat mirip sekali. Tubuh jangkungnya dengan senyuman manis dan wajah Asia yang menawan. Pantas Rana yang menjadi mantan tunangan Gavin menyukai Dave saat itu. Semua sifat baik Dave dan Rana juga menurun pada putra semata wayang mereka. Rasanya matanya juga memanas. sepertinya hormon karena pertambahan umur sudah mempengaruhinya menjadi lelaki agak sensitif akhir-akhir ini. Begitulah pikir Gavin. “Papa susul kamu bulan depan. Take care, Boy!” Gavin mengakhiri pelukannya dengan bersalaman menautkan tangannya dan menabrakkan lengannya pada lengan Davino. Mereka berdua terkekeh. Giliran Samudra yang mendekap kakaknya dengan erat. Membuat Davino agak terhuyung kebelakang dan tertawa keras. “Gila, Sam. Tenaganya makin gede aja!” Samudra menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca dan mencebik. Davino gemas dan segera memeluk erat adiknya itu. “Laki-laki kudu kuat Sam. Kakak titip Kak Lian ya. Kamu harus jagain Kak Lian selama Kakak gak ada. Kamu juga harus ingat, harus bisa belajar jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Okay?” bisik Davino di telinga Samudera. “Pasti, Kak!” jawab Samudra lantang dengan suara parau dan ekspresi menahan ingus. Semuanya pun tertawa mendengar suara dan ekspresi Samudra. Sejujurnya Gavin dan Embun penasaran dengan apa yang diucapkan oleh Davino kepada Samudra. Namun, mereka tidak ingin ikut campur lebih jauh. Bisa jadi itu hanya kalimat receh Davino untuk membakar semangat Samudra. Setelah pelukan itu terlepas. Davino beranjak dari samping Samudra. Ia memeluk Gadis kecilnya dengan perasaan berdebar. Ia bingung perasaan apa yang sebenarnya dia rasakan. Lian menangis terisak di d**a Davino. Davino mengusap rambut adik perempuannya dengan sayang. “Kalo liburan sekolah, kamu bisa ketemu Kakak, Li. Its okay.” “Gak ada yang jagain aku lagi kak. Gak ada temen curhat.” “Kan ada telpon, bisa chat, video call. Kamu kan anaknya kekinian banget, Li. Jangan sedih, Sayang.” Suara panggilan penumpang untuk pesawat yang akan membawa Davino pergi ke Amerika menggema disana. “Li, Davino sudah waktunya berangkat. Seperti kata Kakakmu, nanti tiap liburan kita kesana, oke?” Gavin menepuk-nepuk pundak anak perempuannya. “Gak mau, Pa! Lian Ikuutt!” rengek Lian. “Mana bisa urus visa dan passport secepat dan segampang itu Li. Nanti sampe sana, Kakak janji akan video call kamu. Ya?” Davino mengeratkan pelukannya dan mencium pucuk kepala Lian. Lian mengendurkan pelukannya. Davino menangkup wajah gadis kecilnya dan mencium kening Lian agak lama. Rasanya aneh bagi Lian. Begitupun Davino yang menutupi keterkejutannya atas sikapnya dengan langsung tersenyum kepada Lian. Ini tidak benar.. Batin Davino. -***- “Davin udah sampe, Ma?” tanya Gavin pada istrinya. “Udah, barusan aja telpon Mama,” ucap Embun sambil membawa nampan berisi kopi dan sepiring pisang goreng. Gavin menyesap kopi yang diberikan Embun . Matanya menatap kosong ke arah tanaman-tanaman yang ada di kebun belakang rumah itu. “Kenapa, Pa?” “Masih kepikiran aja, kemarin di bandara.” “Kenapa emangnya?” Gavin hanya memandangi Embun dengan sorot mata tak terbaca. Embun bukan tidak mengerti apa maksud Gavin. Hanya saja, ia meyakinkan dirinya bahwa itu adalah ciuman kening untuk abang dengan adik yang sudah bersama-sama sekian tahun. Mengingat Davino tidak terpisahkan dengan Lian sejak Lian masih bayi merah. Bahkan putra yang selalu dianggap sulungnya itu yang paling menyayangi Lian sejak masih ada di dalam perutnya. Mungkin itu sebabnya Davino sangat dekat dengan Lian. “Gak usah mikir macem-macem, Pa. kita sudah berjanji di depan makam Mas Dave dan Mbak Rana untuk mengurusnya. Lagipula dia sudah besar. Sepertinya dia sudah mulai bisa mengurus dirinya sendiri sekarang.” “Tapi, Lian masih sangat kecil.” “Papa tuh mikir apa sih? Gak usah kejauhan. Memang Lian masih kecil. Selamanya akan jadi gadis kecil Papa.” “Kalau mereka berjodoh?” “Ya, Gak apa-apa. Aku sendiri yang mendidik anak lelaki ku itu. aku percaya sama dia.” “Tapi..” “Apa? Masa lalu?” Gavin terdiam. “Ya Tuhan Pa! Kupikir dengan permintaan maaf Mas Dave dan Mbak Rana bertahun-tahun silam , kamu udah ikhlas. Kamu ternyata jauh lebih pendendam dari aku.” “Sebagai Ayah dari anak perempuan, aku cuma takut anakku di sakiti, Mbun.” “Aku bahkan gak yakin keduanya paham apa yang mereka rasain. Lian masih terlalu kecil buat ngerti, Pa. Jadi stop buat overthinking, Sayang. Tenanglah. Wajar kalo Lian manja dengan Davin. Dari bayi, Davin selalu menjaga Lian. Pasti mereka berdua tau kalau mereka memang kakak beradik yang harus selalu menyayangi dan melindungi.” Embun mengusap pundak suaminya perlahan. Gavin hanya manggut-manggut dan kembali menyesap kopinya. -***- Di negara lain, seorang laki-laki dengan badan atletisnya menyesap kopinya di kondominium sambil menatap pemandangan danau dari jendelanya. Kedatangannya hari ini disambut cuaca cerah dengan awan-awan yang menggantung di langit biru. Sungguh pemandangan di Illinois jauh berbeda dengan pemandangan di Jakarta. Oke, ini jelas berbeda. Beberapa hari lagi akan tiba waktunya ia masuk perkuliahan. Ia sebenarnya sangat senang bisa tinggal di Amerika. Apalagi di kota ini, suasananya lebih tenang dibandingkan di California atau New York. Setidaknya ini bisa menjadi tempat yang menyenangkan sebelum ia benar-benar harus bekerja untuk kantor perwakilan perusahaannya di New York. Kekurangan tempat ini jelas karena ia harus hidup sendiri. Tidak, bukan karena ia manja. Tapi karena ia terbiasa suasana ramai rumah Papa dan Mamanya. Dia anak yang tidak banyak bicara. Namun, Gavin, Lian, dan Sam cukup membuat rumah terasa ramai seperti pasar jika berkumpul bersama. Ia berjalan menuju dapur untuk mengecek kembali apa saja yang perlu ia beli. Belum terlalu siang jika ia ingin membeli bahan makanan. Siapa tau nanti malam ia terlalu malas untuk pergi keluar dari kondominiumnya. Ia bergegas keluar unitnya hanya dengan menggunakan kaos hitam dan celana jeans hitamnya. Baru beberapa meter dia keluar dari kondominiumnya, ia mengumpat karena cuacanya sangat panas dan dia malah menggunakan setelan hitam. Tabahkan hatimu, hanya satu kilo! Ucap Davino dalam hati. Ia mulai berjalan sambil melihat-melihat pemandangan sekitarnya. Tidak terasa ia sudah sampai di sebuah toko yang menjual keperluan sehari-hari. Ia mengambil beberapa bahan makanan dan ia teringat sepertinya sereal akan menjadi sarapan yang mudah dan praktis selama ia menjadi mahasiswa. Ia menghampiri deretan kotak sereal. Mengambil salah satu merk favoritnya yang ternyata ada di toko itu. Ia tidak menyadari ada seseorang dengan tubuh mungilnya mencoba mengambil kotak sereal dengan merek tertentu, tapi sepertinya ia tidak bisa mengambilnya. “Maaf, kau bisa membantuku mendapatkan itu?” tanyanya dengan bahasa Inggris sambil menunjuk sebuah kotak sereal. “Tentu, kau mau rasa apa?” “Bisakah kau mengambilkan aku yang coklat. Maaf sebelumnya karena merepotkanmu.” “Tentu, ini tidak merepotkan sama sekali.” Davino mengambil kotak sereal itu dan menyerahkannya pada gadis itu. Matanya tidak lepas dari gadis itu. ia teringat dengan Mama Embunnya yang sepertinya tingginya sama dengan gadis itu. ia jadi ingat Mamanya akan mengomel jika rak terlalu tinggi dan tidak terjangkau. Ia jadi tersenyum sendiri. “Hei, apa ada yang lucu?” Tanya Gadis itu dengan sorot mata bertanya. “Tidak, kalau begitu aku permisi.” “Ya, terima kasih. Oh, tunggu!” Davino yang hendak membalikkan badannya berhenti dan menatap gadis itu dengan sorot mata bertanya. “Oh, ya, jika tidak salah aksenmu seperti bukan warga di sini. Apa kamu dari Indonesia? Mungkin Asia Tenggara? Malaysia? Singapura?” “Hahaha, Apakah itu terdengar aneh?” “Tidak, hanya saja berbeda. Jadi kamu darimana?” “Kamu benar, aku dari Indonesia. Apa kamu juga dari Indonesia?” “Ah, Papaku dari Indonesia dan Mamaku keturunan Asia-Amerika. Namaku Gienka. Gienka Zelene. Dan namamu?” “Davino Adnan.” “Oh ya, senang bertemu denganmu Dav. Semoga kita bisa bertemu lain waktu.” “Ya, aku duluan ya.” Ucapan Davino hanya dijawab anggukan dan senyuman oleh gadis itu. Davino bergegas membayar belanjaan dan segera menuju ke restoran yang menjual roti lapis dengan berbagai macam isian. Perutnya sudah tidak kuat jika harus menunggu sampai dirumah. Dia masih harus berjalan lagi ke kondominiumnya. Sejujurnya ini agak melelahkan. kalau saja ini di Indonesia, pasti sudah ada bibi yang akan membantu menyiapkan makan. ia menghela nafas kasar. Sambil menunggu pesanannya. Ia memainkan ponselnya dan melihat foto-foto keluarganya. Rasanya ia sudah sangat rindu sekali. -***-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD