Tiga

1711 Words
Tiga Tahun Kemudian. *Lian POV* Aku menguncir rambutku dengan model hair bun style. Ku tengok lagi jam tangan yang melekat di tanganku. Sudah hampir jam dua belas siang. Padahal aku berjanji akan bertemu di mall dengan Laurel dan Tania jam sebelas tadi. Tapi tampaknya mereka berdua juga telat. Gak ada tanda-tanda spam chat protes atau bunyi ponsel berdering tiada henti. Aku segera bergegas turun untuk menghampiri Papa agar mau mengantarku ke mall. Kalau gak mau, aku berharap ada sopir yang stand by hari ini untuk mengantarku. Aku gak terbiasa untuk naik kendaraan umum. Maaf, bukan aku manja. Tapi Papa memang gak ngizinin Hatinya ini pergi sendiri. Lebay sekali ya panggilannya?, Hatinya. Aku memang Hatinya lho! Jika kalian mengingat, namaku Berlian Hati Adnan. Entahlah, kenapa Papa bisa terpikir memberiku nama Hati. Walaupun artinya sangat cantik, tapi.. yaa.. aku lumayan kewalahan karena beberapa orang mencoba membully ku dengan nama itu. Itu dulu sekali. Sekarang, mana ada yang membully, setelah beberapa kali Papa, Mama, dan Kak Davin tampil di majalah bisnis, mereka hampir tidak pernah mencari gara-gara denganku. Coba aja mereka berani bully aku, akan ku ancam mereka dengan kata-kata andalan. “Mudah buat gue ngancurin lo. Jadi, gak usah macem-macem!” Eits, tenang saja. Aku gak bakalan begitu kalau gak merasa terancam. Aku bukan anak yang sok merasa memiliki segalanya kok. Cuma mekanisme pertahanan diri aja. Ah, aku lupa! Aku harus pergi ke mall sekarang. “Pa! Minta tolong anterin Lian ke Mall.” “Sama siapa Princess?” “Sama Laurel dan Tania , Pa! Ayo Pa. Lian udah telat banget.” “Minta tolongnya yang bener, Sayang. Kamu kayak merintah gitu, sih.” Mama memperingatkanku, tapi maaf, Ma. Aku terburu-terburu. Hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hatiku saat ini. Hanya kubalas dengan senyum lebar memperlihatkan gigi rapi ku. “Oke, Papa Ambil kunci mobil dulu.” “Thanks Papaku!” Aku mencium pipi kanannya dan segera menghampiri Mamaku. “Ma, Lian pergi dulu.” Kucium kedua pipinya dan beliau membalas mengecup keningku. Aku memeluknya dengan sayang. Kecupannya selalu menenangkanku. Papa sepertinya sudah menemukan kunci mobilnya karena sudah kembali ke hadapan kami. Beliau menghampiri Mama dan mencium pipi kanan, pipi kiri, kening, dan ya.. yang terakhir pasti kecupan manis di bibir Mama. Aku cuma bisa manggut-manggut saja dan berlalu pergi. Mau iri, tapi ya gimana? Kata Papa aku masih bayi, gak boleh cium-cium sama sembarang orang. Aku jadi kangen Kakak sok sibukku itu. Dia biasanya akan menutup mataku dan mengajakku pergi sambil menggerutu atas kelakukan Mama dan Papa. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Aku tidak pernah tau kabarnya. Jangan tanya apakah dia sering menelponku atau tidak? Bagaimana aku bisa tidak tahu? Ya, gimana dong, dia aja udah jarang mengirimkan pesan, apalagi menelponku! sebel banget rasanya. Kalau kalian juga bertanya, apakah aku gak ketemuan sama dia selama tiga tahun ini? Jawabannya, NGGAK! Aku memilih untuk gak ke Amerika tiga tahun ini karena berpikir aku gak akan mau pisah lagi sama Kakak ku itu kalau nemuin dia saat itu dan tau apa yang sangat menyebalkan? Dia juga membalasku dengan gak pernah pulang ke Indonesia sama sekali selama tiga tahun ini. Dari aku masih SMP sampai sekarang aku sudah menjadi anak SMA. Dasar anak kurang ajar! Karena gak pernah pulang, otomatis dia gak pernah pergi ke makam Papa Dave dan Mama Rana. Aku yang jadi sering sekali kesana kalau aku sedang sebal dengan siapapun termasuk Mama, Papa, ataupun anak mereka yang menyebalkan itu. Aku akan curhat dan menangis disana selama berjam-jam. Entahlah, aku gak pernah menemui mereka secara langsung, tapi hatiku sepertinya sayang sekali pada mereka. Mungkin mendengar cerita Mama dan Papa membuatku jadi berempati dengan Kak Davino. Jadi menyayangi keduanya seperti bagaimana Kak Davino menyayangi keduanya. Hah, yaa.. sepertinya sepanjang perjalanan ini aku hanya memikirkan Kak Davino. Aku juga jadi teringat ciuman kening Kak Davino tiga tahun lalu. Ah, itu membekas sampai sekarang. Perasaan hangat itu masih terasa sampai sekarang. Aku merasa pipi ku menghangat. Sial aku dari ngelamun sampai lupa kalau aku lagi di mobil sama Papa. “Hati? Kenapa? Wajah kamu merah banget. Apa kurang dingin ACnya?” “Emh.. Mungkin, Pa. Biar aku atur suhunya.” Aku memencet tombol AC. Untung Papa ngasih aku ide bohong. Aku terkekeh dalam hati. Saat aku akan turun dan mencium tangan Papa, Papa malah turun terlebih dahulu. Aku jadi mengekor. Ternyata Papa meminta parkir valet kepada petugas disana. “Kok Papa ikutan turun?” omelku sambil mencebik. “Orang Papa ada urusan! Ya kamu pergi aja sama temen-temen kamu. Nanti kalau mau pulang tinggal kirim pesan ke Papa.” “Awas ya, Papa ikutin aku!” “Emang kamu mau ngapain sih? kok Papa gak boleh ikut.” “Ya jalan sama temen-temen aku. Masa Papa ngikutin aku. Malu tau, Pa!” “Ya kalau gak ngapa-ngapain, kamu gak perlu malu lah.” “Papa! Aku kayak anak bayi tau!” “Kamu emang masih bayi tau, Li. Jangan macem-macem kamu.” “Pa! Aku udah menstruasi. Udah bisa bikin Bayi. Jadi aku udah gak bayi lagi!” Aku masih berusaha mendebat Papaku yang agak menyebalkan hari ini. Tapi sepertinya kata-kata yang ku keluarkan salah. Aku melihat papaku yang tampan ini mengetatkan rahangnya dan menatapku tidak suka. O..ow.. “Jangan bercanda Berlian! Papa tunggu di tempat ngopi biasanya. Selesai dari sini langsung pulang!” Papa berkata dengan dingin dan meninggalkanku di pintu masuk. aku jadi merasa tidak enak. Argh! Kesal. Masa jalan-jalan dengan mood sehancur ini. Sudahlah, salahku juga. Aku segera berlalu ketempat kedua temanku berada. Mereka berdua sudah memulai permainan dance mereka di dalam tempat bermain. Keduanya bergerak lincah dengan lagu Twice – What is love. Tentu saja keduanya mengundang orang-orang untuk menyaksikan keduanya. Laurel dengan wajah khas Eropa, rambut blonde, mata hijau dan badan mungil seperti Mama. Sedangkan Tania wajah khas koreanya yang lebih mirip seperti Jihyo Twice. Apa Tania ada darah Korea? Sedikit. Namanya sudah tidak korea lagi karena sudah keturunan ketiga yang tinggal di Indonesia. Gerakan mereka tentu mengundang banyak mata menyaksikan mereka. Keduanya mengenakan tanktop berwarna putih dan hotpant jeans berwarna biru serta sepatu berwarna putih. Aku terpaku dengan gerakan mereka. Setelah mereka selesai aku bertepuk tangan paling meriah. Kedua sahabatku langsung turun dari mesin game itu dan memelukku. Aku yang gampang jijik ingin rasanya berteriak. Tubuh mereka berkeringat dan menempel padaku! Argh! “Iiih! Jorok tau!” protesku. Keduanya langsung terkekeh geli melihatku. “Kemana aja sih? Kok lama. Kita udah berkali-kali tau. Sampe capek banget!” omel Tania. “Maafin, gue telat. Biasa, kudu nyari baju dulu yang aman biar boleh pergi ama bokap. Kudu dianter pula gue.” Mereka berdua memperhatikanku dari ujung kaki ke kepala. Aku memang tidak terlihat se-hot mereka. Tapi penampilanku cukup oke kok. Aku cukup tinggi untuk ukuran anak kelas satu SMA karena tinggiku seratus tujuh puluh sentimeter. Aku tentu percaya diri dengan memakai kaos putih pas di badan dengan lengan pendek dan jeans legging berwarna biru yang melekat pas di kaki jenjangku. Aku mengikat rambutku dengan model messy hair bun. Kulitku yang berwarna putih pucat dan gampang terbakar matahari dengan hidung mancung dan mata bulat ala Mamaku. Aku cukup cantik kan jika disandingkan dengan dua teman imutku ini. “Selalu cantik Princess, Hati. Bokap lo dimana?” ucap si imut Laurel. “Biasa, di kopi bawah.” “Mau ngedance apa?” tanya Tania. “Gashina, yuk temenin.” “Gue capek!” tolak Laurel. “Yaudah, sama gue aja. Lagu gini mah pemanasan buat dia.” Kata Tania. “Biasa, pamer body goals sista!” Ejek Laurel. Aku segera menarik tangan Tania. Malas menanggapi ejekan Laurel. Badanku sudah bersemangat untuk melakukan dance. Setelah memilih lagu, kami bersiap dengan posisi kami. Musik mulai terdengar dan kami mulai menari mengikuti arah panah di layar. Rasanya semangatku terbakar. Dengan lincah kami mengikuti arahan sampai dengan lagu menuju reff, terdengar teriakan orang di sekitar kami. Bukan malu, aku malah ingin menunjukkan kemampuanku. Aku menggerakkan tangan dan bahuku mengikuti arah langkah kakiku. Sesekali aku tergelak saat menatap Tania. Menyenangkan sekali. Lagu berakhir dan tepukan menggema di ruangan itu. Saat aku berbalik akan beranjak, aku melihat Papa tampanku yang sudah berdiri di samping Laurel dengan muka angkernya dan aku lihat juga Laurel yang nyengir kuda menatapku. Matanya seperti menyiratkan permintaan maaf. Aku mendekati Papa dengan takut-takut. Kulihat Papa menghembuskan nafasnya kasar. Setelah di dekat Papa, kulihat Papa menyodorkan air mineral untuk ku dan Tania. “Kamu masih mau ngedance lagi?” tanya Papa. “Bolehkah, Pa?” “Boleh. Sekali saja ya. Gak boleh yang gerak-gerak centil.” Aku mengerutkan kening ku mencoba mencerna kata-kata Papa soal gerak-gerak centil. Oh, mungkin maksudnya gak boleh yang banyak menggerakkan p****t. Emh oke. Aku cari yang energik. Aku kini menarik tangan Laurel untuk bersamaku. Aku memilih lagu Everglow – Adios. Tapi baru beberapa gerakan aku tersadar. Lagu ini banyak sekali goyangnya. Ah, aku di jebak Papa! mana ada kayak begini gak goyang p****t! Ya Sudahlah, bodo amat. Ku gerakkan lagi tubuhku dengan lincah. Beberapa orang mulai bersiul dan bertepuk tangan. Hingga lagu selesai aku melakukan tos tangan dengan Laurel. Saat aku berjalan menuju tempat Tania dan Papa ku, kulihat sepertinya Papa menerima telpon dan membelakangi kami. Sedangkan Tania sudah menggigit bibir bawahnya dengan menunjukkan raut muka yang kuanggap sebagai tanda bahaya. “Oh, s**t! Ada apa?” aku berkata dengan hanya menggerakkan bibirku tanpa suara. Laurel yang tahu ini bukan pertanda baik, ikut panik. Sedangkan Tania hanya menggeleng. “Udah belum, Pa! Seret pulang, Pa! Gimana sih Papa? Kok kasih ijin!” samar ku dengar suara yang sepertinya ku kenal dari ponsel Papa. “Ini sama Papa, Dav. Tenang aja, pasti Papa jagain.” Papa menoleh ke arah ku dan menghembuskan nafasnya kasar. Oh, beneran si nyebelin itu. Aku bete sih sama dia, tapi takut juga kalau dia mengomel dan marah-marah. Ah, aku bener-bener kayak bayi deh. “Apa kamu mau ngomong sama dia?” Suara hening lama terdengar. Aku juga jadi menunggunya mau bilang apa sama Papa. Aku rindu tau Kak, tapi aku juga benci sama Kakak. Bisa-bisanya tahan gak kirim pesan berminggu-minggu, sudah gak telpon beberapa bulan ini. Bahkan gak video call kalo gak bareng Mama dan Papa. Aku bingung juga kenapa aku gak rebut aja ponsel Papa, supaya bisa tahu kayak apa wajahnya sekarang. “Yaudah.. mana, Pa?” Deg.. Eh jantungku, kenapa berdebar? -***-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD