Boleh Ikut Gabung?

1249 Words
Dimas memandangku yang sedari tadi makan dalam diam, kulihat Dimas sudah melahap habis makan siangnya. Seperti biasa siang ini kami makan di kantin kantor, sesekali saja saat ingin makan sesuatu aku memutuskan makan di luar kantor. “Kenapa, sih?” tanyaku padanya. Lama-lama aku risih juga dipandangi begini. “Kamu kepikiran foto tadi?” Sudah aku duga Dimas pasti mengkhawatirkan perasaanku saat Rita menunjukkan foto direktur kami yang tengah makan malam bersama keluarga kecilnya. Rita bilang dia dapat foto itu dari group fanbase direktur muda itu, lagi-lagi aku tak habis pikir terbentuknya group itu. “Please, sebelum lihat foto itu aku ‘kan sudah tahu, menyaksikan secara langsung juga pernah. I’m not surprised anymore, bahkan aku ada di sana kalau kamu penasaran.” Memang benar, aku tak terkejut lagi pasalnya foto yang menjadi berita hangat pagi ini adalah kejadian yang aku lihat sendiri kemarin malam, Pak Damar bersama keluarga kecilnya. “Ah, bener ini? Itu Pak Bos lagi sama Bini dan anaknya?” “Valid, gak?” “Patah hati Adek, Bang.” “Gak nampak wajahnya, pasti cantik deh.” “Mau daftar jadi istri keduanya, eh.” Deretan percakapan yang aku baca sekilas saat memegang ponsel Rita tadi pagi. Boleh saja men-judge-ku munafik, silahkan, bukan hanya mereka yang patah hati, sejujurnya saat melihat langsung kala itu hatiku terluka, sakit, sakit yang tak berdarah. Apa benar Kak Damar sudah menikah? Apa dia bahagia? “Terus, kenapa diam saja?” lanjut Dimas memecah lamunanku. “Ya, orang lagi makan, to, mesti gimana, koprol?” jawabku memeletkan lidah padanya. “Sebenarnya aku kesal tiap kali melihatnya, aku teringat masa-masa kelammu kala itu.” “Bukannya kamu yang memintaku untuk berdamai dengan masa lalu? I did.” “Iya, iya.” Dimas mengacak rambutku. *** Weekend kali ini aku sengaja menawarkan diri menjemput Ganda di rumah sakit dan dia setuju, kami sudah janjian akan nonton hari ini. Aku sudah tiba di rumah sakit lima menit yang lalu, duduk di bangku taman memainkan game di ponselku. Aku merasakan sebuah usapan lembut di kepalaku, aku mendongak untuk melihat siapa pelakunya. “Sudah lama?” tanya si pelaku. Tangannya masih betah mengelus lembut puncak kepalaku. “Nggak, baru lima menitan, jalan sekarang? Aku segera berdiri menyelesaikan acara elus-elusan ini. Aku lihat Ganda juga sudah berganti pakaian, kami menelusuri lorong rumah sakit menuju parkiran. “Dokter Ganda,” panggil seorang wanita yang aku tebak perawat di rumah sakit ini. “Iya, Mei, ada apa?” sahut Ganda. “Mama Dokter sedang menunggu di lobby.” “Oh, ya, terima kasih, Mei.” Aku melihat raut wajah Ganda berubah seketika atau ini hanya perasaanku saja. Aku mengusap bahunya dan dia menoleh ke arahku lalu tersenyum mengangguk pelan, sepertinya dia tahu maksudku. “Kalau begitu saya permisi, Dok. Oh, ya, Dok satu lagi—” Perawat itu menggantung kalimatnya, dia tersenyum ke arahku, tentu saja aku menyambutnya dengan ramah, aku memang seramah itu, loh, ya. “Mbaknya kekasih Dokter, ya? Maaf kalau saya lancang, soalnya anak-anak di nurse station pada kepo, sih, Dok.” Ganda menoleh ke arahku terkekeh geli. “Iya, kamu doakan saja semoga dia mau jadi kekasih saya.” Aku mencubit pinggangnya hingga dia sakit dan geli bersamaan. “Ya, pasti mau, atuh, ya, kan mbak? Yang ngantri jadi kekasihnya Dokter Ganda banyak mbak, sekedar informasi.” Perawat itu terkekeh sendiri. “Wow!” Aku melirik Ganda melipat kedua tangan di d**a dan dia menggeleng seraya mengacak rambutku. “Saya kabur dulu, ya, Dok.” Perawat itu terkekeh dan segera meninggalkan kami. “Kita ke lobby sebentar, ya,” ujarnya. “Aku tunggu kamu di mobil aja, ya,” pintaku. Bukankah lebih baik begitu, aku segan jika harus menemui mamanya. Akhirnya aku mengalah, aku ikut menemani Ganda menemui mamanya. Sejujurnya aku merasa sedikit janggal sebab wajahnya saat ini seperti enggan bertemu dengan wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa dengan seorang anak lelaki yang aku tebak usianya kurang dari lima belas tahun. “Aa’ ….” Anak lelaki itu lebih dahulu menghampiri Ganda memeluknya yang bahkan belum mendekat. “Hei, jagoan.” Ganda memeluknya erat, juga menarik tanganku. Ganda langsung duduk di sofa seberang mamanya, sedangkan aku mendekati wanita paruh baya itu dan menyalaminya sekalian saja aku menyebutkan namaku. Dia tersenyum ramah, bahkan memelukku cukup lama. “Jingga, kamu kerja di sini juga,” tanyanya. “Oh, bukan tante—” “Ada perlu apa?” ucap Ganda memotong kalimatku membuat aku membelalakkan mata ke arahnya. “Kamu ini, Mama itu mau mengenal Jingga, loh,” jawab Mama Ganda. “Langsung saja, Aa’ sudah ada janji,” lanjut Ganda. “Ayah minta Aa’ pulang.” Rasanya aku tak pantas berada di sini saat ini, aku sudah berinisiatif untuk pergi agar mereka lebih leluasa berbicara tapi Ganda terus menahanku. Aku rasa hubungan Ganda dengan orang tuanya tidak begitu baik. Tak lama aku menjadi saksi perseteruan ibu dan anak ini karena Ganda lebih dulu pamit, sebelum pergi dia sempat memeluk Reza, adiknya, terlihat sekali dia merindukan adik lelakinya itu. “Film yang mau kita tonton tayang jam berapa, Ga?” tanya Ganda, saat ini kami sudah meninggalkan rumah sakit dan berada di jalan menuju salah satu mall. Ganda tampak biasa saja setelah perseteruan dengan mamanya dan aku pun tak berani menyinggungnya. “Sebenarnya masih satu jam lagi, kenapa?” “Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.” Dia menoleh ke arahku dan tersenyum juga mengelus kepalaku lembut. Kami tiba di pemakaman umum, aku tak bertanya hanya mengikutinya. Dia berhenti di salah satu makam yang ditumbuhi rerumputan hijau, asri sekali. “Assalamu’alaikum, Bunda, Aa’ datang. Aya mojang geulis di dieu.” Dia menatapku seraya terkekeh dan aku mencubit pinggangnya lagi. Aku dikenalkan pada Bunda Sisil—ibu kandung Ganda, kami sempat menabur bunga dan berdoa bersama. Ganda membagikan sedikit kisahnya padaku, aku tidak akan bercerita kali ini mungkin lain waktu karena kami tengah diburu waktu, film yang akan kami tonton akan mulai sepuluh menit lagi, kami terlalu asyik bercerita tadi. Aku sudah memesan tiket online jadi tak begitu khawatir, ternyata kami juga masih sempat membeli snack sebelum masuk ke dalam studio. *** “Ih, mau banget sih, dimsum aja, aku suka,” rengekku. “Tapi kita belum makan nasi,” bantah Ganda. “Indonesia banget! aku udah makan onigiri kalau kamu lupa.” Ganda yang membeli snack sebelum kami masuk studio tadi, karena aku memesan tiket yang berdekatan dengan jam makan siang jadilah dia berinisitif membeli makanan dan minuman yang sekiranya aman buatku. Dia tak mau kembali ke rumah sakit merawat pasien dispepsia sindirnya. Kali ini Ganda yang mengalah, kami akhirnya duduk di hadapan berbagai jenis dimsum. Sebelumnya aku sudah memberitahu Ganda tentang alergiku jadi dia hanya memilih jenis yang aman aku makan saja. “Jingga.” Aku menoleh ke arah suara yang menyapaku. Dinda Tubuhku menegang, aku sempat menahan napas hingga Ganda menggenggam sebelah tanganku dengan kedua tangannya, aku sontak menoleh ke arahnya dan dia mengangguk pelan. “Kak Dinda—” “Damar, sini. Ada Jingga,” Aku menoleh ke belakang, benar Pak Damar tengah berjalan ke arah meja kami bersama Arion. Aku dan Ganda menyapa Pak Damar. Arion? Jangan ditanya, dia sudah duduk di pangkuanku. “Ayo, rion, kita duduk di sana.” Tak ada basa-basi Pak Damar hanya mengangguk dan wajahnya datar, dia mengulurkan tangannya ke arah Arion membuat anak lelaki itu cemberut. “Ayo—” dengan cepat Dinda memotong ucapan Pak Damar. “Ehem, kalau kami ikut gabung di sini, boleh?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD